Mengapa banyak orang menolak industri “fast fashion”? Benarkah “fast fashion” membunuh lingkungan secara perlahan?
FROYONION.COM - FOMO, atau “Fear Of Missing Out” menjadi salah satu alasan mengapa begitu banyak sampah pakaian belakangan ini. Jika dahulu orang membeli pakaian karena kebutuhan, namun sekarang menjadi sekedar hobi mengumpulkan barang trendy.
Bergerak cepat, diam-diam merusak. Begitu kira-kira hal yang menggambarkan industri fast fashion. Apa itu yang dimaksud dengan “Fast Fashion” dan mengapa begitu banyak gerakan yang berusaha menghentikannya?
Fast Fashion merupakan sebuah konsep bisnis yang memiliki laju cepat. Selain biaya produksinya murah karena dibuat secara besar-besaran, produk fast fashion juga memiliki kualitas yang biasa saja jika dibandingkan dengan barang buatan tangan.
Fast fashion juga memanfaatkan trend yang ada dipasaran sehingga cenderung menjiplak brand fashion kelas atas agar dapat dibeli oleh banyak orang berbagai kelas. Target industri ini yaitu untuk mendapatkan keuntungan secepat dan sebanyak-banyaknya sehingga barang yang diproduksi berganti secara cepat, menyebabkan orang-orang membeli secara impulsif karena takut tertinggal trend.
Begitu cepatnya pergantian barang yang masuk keluar, menyebabkan terjadinya penumpukan barang lama yang tidak terbeli dan akhirnya menjadi sampah.
Belum lagi masalah pencemaran air yang diakibatkan oleh limbah pewarna tekstil berbahan kimia yang mencemari sungai atau sumber air di sekitar pabrik. Begitu banyak pabrik fast fashion yang tidak memikirkan pengolahan limbah mereka sendiri.
Dikutip dari Dailymail.co.uk, di Kenya terdapat tumpukan sampah baju murah hasil pabrik fast fashion. Bahkan, terlalu banyak baju yang terlalu rusak dan kotor sehingga sudah tidak bisa untuk digunakan kembali, seperti budaya “thrifting” yang kita kenal. Hal itu telah menimbulkan masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan serius di daerah tersebut.
Fast fashion banyak menggunakan bahan polyester sebagai bahan utama dalam pembuatan produknya, sementara polyester merupakan bahan dengan pelepasan emisi karbon lebih banyak daripada kapas karena mengandung plastik. Plastik merupakan bahan yang sangat sulit terurai. Di Indonesia sendiri produksi sampah tekstil menyentuh angka satu juta ton setiap tahunnya.
Sudah banyak gerakan yang menyuarakan hentikan berbelanja secara impulsif. Banyak fashion designer menyelenggarakan acara fashion show dengan tema mengkritik fast fashion sehingga terbentuk sebuah konsep baru, yaitu Ethical Fashion.
Ethical Fashion sangat berbeda dengan fast fashion. Ethical fashion berfokus kepada sikap etis suatu perusahaan fashion, seperti bagaimana sikap perusahaan itu terhadap pekerjanya, bagaimana mereka memperlakukan buruh mereka, dan hak-hak pekerjanya, serta berfokus terhadap kualitas produk serta proses pembuatan agar tidak merusak lingkungan. Konsep ini juga sangat memilih dengan teliti soal bahan pewarna, motif, serta pengrajin dengan designer.
Konsep ini merupakan konsep bagi kedua pihak, baik pembeli dan perusahaan. Bagi pembeli, jika menerapkan konsep ethical fashion, biasanya mereka akan membeli barang-barang preloved agar tidak menjadi sampah, atau bahkan memodifikasi barang preloved tersebut agar menjadi barang yang lebih unik dan memiliki nilai trendy. Sementara bagi perusahaan, mereka akan memperhatikan dampak lingkungan, kelayakan produk dan hak-hak pekerja.
Mengurangi sampah pakaian tidak hanya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, sebagai konsumen juga perlu ikut membantu dengan memiliki gaya hidup yang sederhana dan memikirkan dampak lingkungan. Misalnya dengan membeli barang dengan kualitas tinggi sehingga bisa digunakan dalam jangka waktu yang lama dan mendaur ulang pakaian yang layak dipakai. (*/)