In Depth

'YUNI': KUMPULAN KEBINGUNGAN PEREMPUAN YANG TAK TERJELASKAN

Kamila Andini sukses mengutarakan keresahan sebagian besar perempuan atas pertanyaan dari dalam diri mereka sendiri atas apa-apa saja yang mereka alami.

title

FROYONION.COM - “Penyakit ungu”, adalah julukan yang diberikan kepada sosok Yuni pada film ini. Tentang kebiasaannya yang selalu suka mengoleksi barang-barang berwarna Ungu, mulai dari tas, sepatu, buku, helm, hingga motor. Seolah tergila-gila dengan segala hal berwarna Ungu, Yuni yang diperankan oleh Arawinda Kirana ini juga sering kali ketahuan mencuri barang-barang milik teman sekelasnya yang berwarna Ungu hingga membuatnya acap kali menjadi langganan panggilan guru atas laporan-laporan dari teman-teman sekelasnya yang sering kali kehilangan barang-barang milik mereka yang berwarna Ungu itu. 

REFLEKSI HIDUP

Yuni digambarkan sebagai seorang gadis desa di suatu daerah yang amat sangat polos. Tak mengerti hal-hal apapun mengenai dunia dan hanya menanggapi berbagai macam hal atas apa-apa saja yang terjadi di sekitarnya.

Film bermula dengan Karakter Yuni yang datang ke sebuah ruang Aula di sekolahnya untuk mendengarkan penyuluhan tentang “Tes Keperawanan” yang akan dilakukan oleh salah satu bakal calon wakil bupati di daerah tersebut dengan dalih maraknya kasus bayi yang meninggal karena di Aborsi oleh calon orang tuanya. Wacana tentang “Tes Keperawanan” tersebut tentu saja menjadi bahan bahasan yang mencengangkan antara Yuni dan beberapa teman sejawat lainnya. Belum habis masalah tersebut, Yuni yang pulang ke rumah tiba-tiba mendapatkan sebuah lamaran menikah dari seorang laki-laki tetangga depan rumahnya yang bekerja di sebuah pabrik di sekitar daerah tersebut. 

Dilanda kebingungan atas apa yang dia alami membuatnya membuatnya semakin kalang kabut ketika selama perjalanan atas apa yang ia yakini soal “Bagaimana seharusnya Perempuan hidup” justru dipatahkan dengan stigma, kebudayaan, serta adat yang sama sekali tak memihaknya. Karakter Yuni menjadi kerdil dengan berbagai macam keadaan yang menerpa dirinya, menjadikannya mau tak mau harus bersikap tegas atas apa-apa yang terjadi dengan dirinya melalui keputusan-keputusan besar dari dirinya sendiri tanpa adanya bantuan dari lingkungan keluarga, institusi Pendidikan, maupun teman-teman sekitarnya yang jelas sudah pasrah dan menerima keadaan bahwa mungkin memang begitulah kodrat seorang “Perempuan” seharusnya.

Film ini masih sangat bisa lo tonton dan saksikan di beberapa bioskop di kota-kota kalian Civs, tapi kalo bisa sih segera. Karena hadirnya film-film box office lainnya secara tiba-tiba serta kurangnya minat masyarakat atas film-film Indonesia membuat posisinya sedikit mengkhawatirkan di beberapa layar di Indonesia. Jadi buruan deh nonton sekarang!

GAMBARAN NYATA

Bagi gue, film “YUNI” Garapan sutradara Kamila Andini ini, adalah sebenar-benarnya bentuk penindasan serta diskriminasi atas utopia memuakkan di negara ini atau bahkan di belahan dunia manapun juga. 

Karena film ini jelas amat sangat sukses di kancah dunia. Bersama “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas” karya Edwin, “YUNI”berhasil meraih penghargaan bergengsi di ajang Toronto International Film Festival (TIFF) 2021.

Dalam perhelatan ini Yuni diganjar 'Platform Prize' yang dipersembahkan TIFF untuk film dengan nilai artistik tinggi dan menunjukkan visi penyutradaraan yang kuat. Tak hanya itu baru-baru ini juga Arawinda Karina yang memerankan tokoh Yuni dalam film ini juga berhasil menyabet penghargaan “Silver Yusr Awards” untuk kategori aktris terbaik dari Red Sea International Film Festival 2021 yang digelar di Arab Saudi, pada 6-15 Desember 2021 lalu.

Hal ini tentu saja menjadi sebuah hal yang menakjubkan, membawa suara “Perempuan” yang tak terdengar atau sering kali diacuhkan. Soal bagaimana Perempuan harus bersikap dan bertindak, adanya patriarki terselebung dalam bermasyarakat melalui kata-kata anggapan usang yang selalu sama soal bahwa perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi karena kelak nantinya hanya akan mengurusi soal “Dapur, Sumur, Kasur”. Klasifikasi memuakkan serta kuno yang di beberapa daerah di Indonesia masih selalu diagung-agungkan. Kamila Andini dan “YUNI” sukses menyindir dan mengulas semuanya dalam film ini. Permasalahan-permasalahan Perempuan (yang menurut gue jelas di rasakan oleh semua Perempuan di seluruh belahan dunia manapun) sukses tersampaikan melalui satu sosok gadis desa bernama Yuni. 

Melalui rasa penasaran “YUNI” atas mengapa dunia memperlakukan Perempuan dengan sangat tidak adil, membuat banyak sekali penonton (khususnya Perempuan) menitikkan air mata kesedihan sekaligus kegembiraan yang tak terjelaskan karena merasa dekat dan intim dengan sosok Yuni.

SAAT PENDIDIKAN TAK MEMBANTU 

Ada satu adegan memorable yang masih gue ingat sampe sekarang ketika menonton film ini di salah satu bioskop di kota gue, Semarang dan membuat gue tersadar bahwa perlakuan banyak sekali hal kepada Perempuan benar-benar terasa kejam.

Sosok Yuni digambarkan hanya tinggal berdua dengan Neneknya di Desa, sementara kedua orang tua Yuni adalah seorang TKW dan TKI yang melancong ke Negeri seberang untuk mencari nafkah. Ada satu momen saat kedua orangtua Yuni akhirnya pulang kerumah setelah sekian lama dan Yuni tentu saja melampiaskan kerinduan yang mendalam akan keduanya dengan bercengkrama dan bermanja-manja selayaknya anak perempuan kepada orangtuanya. 

Long story-short, Yuni yang tengah makan bersama ibunya, meminta disuapi dan bermanja-manjaan, tiba-tiba mengungkapkan soal keadaannya yang berkali-kali dilamar oleh laki-laki dan selalu ia tolak  kepada ibunya. Yuni berkata bahwa ia masih sangat ingin sekali meneruskan pendidikannya setelah lulus SMA ke bangku perguruan tinggi. Akan tetapi, di tengah-tengah obrolan soal Pendidikan itu tiba-tiba listrik di rumah mereka padam, menjadikan keadaannya gelap gulita, meski itu dirasa tak begitu mengusik dan keduanya kembali melanjutkan obrolan soal Pendidikan itu seolah kondisi gelap gulita sama sekali tak mengganggu mereka.

Tak berhenti sampai di situ, kondisi pemadaman listrik kedua kalinya terjadi justru ketika keluarga kecil ini tengah melakukan ibadah berjamaah. Ketika adegan di bagian sujud, listrik lagi-lagi padam. Bagi gue ini adalah unsur simbolik paling bias serta paling gila dalam film Indonesia. Bagaimana tidak, masa depan soal pendidikan perempuan berada pada kondisi gelap gulita bahkan ketika beberapa perempuan berusaha mewujudkan impiannya dalam melanjutkan pendidikan mereka dan kejadian kedua kalinya pemadaman listrik justru terjadi ketika mereka beribadah, memberikan penekanan yang lain soal bahwa Tuhan pun nampaknya enggan membantu kondisi Perempuan di manapun.

Seolah harus Perempuan itu sendiri yang bersikap, bertindak, dan bersatu untuk berusaha merubah nasib mereka ditengah lautan ketidakpedulian kepada masing-masing dari mereka. 

Yuni menjadi sebuah utopia serta air segar bagi dahaga atas asupan sebuah film yang penting ditonton dan disaksikan. Membawa isu yang sebenarnya besar, tetapi seolah tak terlihat meski jelas nampak di pelupuk mata kita semua. Jadi Civs, sudahkah anda menonton “YUNI”karya Sutradara Kamila Andini ini? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Naya Rasendrya

Naya Rasendrya Movie Enthusiast, Produser Film Pendek dan fans berat film-film Wong Kar-Wai. Kata-kata Mutiara “Sombonglah jika memang ada yang bisa kamu sombongkan”.