In Depth

TOXIC RELATIONSHIP: HANTU YANG BISA MENGHANTUI SIAPAPUN DAN TAK KENAL USIA

Tak banyak orang yang sadar dan mengakui bahwa di sekitar mereka terjadi “toxic relationship” namun tidak dapat melakukan apapun. Apakah sikap seperti itu salah? Bagaimana cara mengatasinya? Dan apa yang harus kita lakukan kalau kita mengetahui bahwa orang di sekitar kitalah yang menjadi pelaku atau korban toxic relationship?

title

Minggu kemarin menjadi sebuah pengalaman baru yang cukup membuka mata gue. Seorang teman datang ke cafe tempat kita biasa hangout dan menyapa gue tepat sebelum hujan sore yang sudah biasa turun di Kota Tasikmalaya. Kita berdua memesan sebuah minuman hangat, sambil menunggu pesanan dia memulai membuka mulutnya untuk berucap. Teman gue ini bisa dibilang cukup bawel di tongkrongan. Dia yang selalu membuka omongan ketika kita dan teman-teman yang lain bercengkrama. Namun alangkah terkejutnya gue ketika dia mengakui ke gue kalau dia merupakan pelaku Toxic Relationship.

Dr. Lillian Glass, seorang ahli komunikasi dan psikologi yang dalam bukunya berjudul Toxic People (1995) mendefinisikan toxic relationship adalah hubungan yang tidak saling mendukung satu sama lain. Yang mana salah satu pihak berusaha memiliki kontrol yang besar terhadap pihak lain. Namun seperti yang kita semua tahu bahwasanya makna Toxic Relationship ini berkembang semakin luas. 

Kalian mungkin bisa saja cari kriteria tentang toxic relationship yang beredar luas di internet. Begitu pula cara mengatasi toxic relationship yang pada dasarnya secara umum juga bisa kalian cari di internet. Tapi seperti yang kita semua tahu bahwasanya teori tidak akan semudah prakteknya. 

Gue akan mengulas beberapa poin yang teman gue ceritakan di masa itu. Teman gue bilang:

Gue merasa gue udah bertanggung jawab atas dia, jadi pas dia bilang udahan (putus) gue malah ngerasa gue gak bertanggung jawab dan gua mulai self harm di depan dia.”

Seperti yang kita semua juga tahu dan pada dasarnya kekerasan fisik yang entah dilakukan sendiri atau pasangan sudah menjadi bagian dari toxic relationship. Ini pada dasarnya sudah harus menjadi “common sense” dalam menjalin suatu hubungan dan tentu saja sudah seharusnya dihentikan. 

Dalam kasus temen gue ini juga dia menyampaikan beberapa poin menarik seperti:

Gue pernah dimarahin abis-abisan Cuma karena dia mimpi gua selingkuh padahal gue aja baru pulang dari kampus. Semua kontak cewek di hape gue juga dihapus semua sama dia. Emang sih dia minta duluan dan gue iyain karena gue gak mau adu mulut cuma karena hal kayak begitu.”

Di sini gue mungkin bisa juga menyimpulkan bahwasanya pasangan temen gue juga melakukan toxic relationship dengan membatasi hubungan temen gue ini dengan dunia luar. Ternyata toxic relationship bisa saja terjadi dikarenakan kedua belah pihak sama-sama tidak bisa mengerti tentang hubungan yang sehat. Pada akhirnya hubungan teman gue bisa berakhir walaupun dengan sedikit masalah yang mungkin ga seharusnya gue ceritakan disini. 

Cerita temen gue ini menjadi pengingat buat gue akan pentingnya kita semua akan relationship yang sehat. Gue jadi inget cerita lama ketika kenal seseorang lewat aplikasi. Gue berkenalan dengan seorang perempuan berumur 17 tahun. Kita cukup sering berbicara via aplikasi tersebut dan ketika berjalan beberapa bulan dan secara tidak langsung dia bercerita soal hubungannya mengalami toxic relationship. Semua akun sosmednya juga dipegang oleh pasangannya. 

Pasangannya sendiri pernah ngehubungin gue lewat DM dan berkata “jangan pernah hubungi dia (nama cewe kenalan  gue) lagi.” Ketika gue konfirmasi ke orangnya ternyata semua lawan jenis yang menghubungi dia selalu diperlakukan seperti itu oleh cowoknya. Dia semakin terbuka dan dia bilang:

Kita sebenarnya selalu berantem kalo misal ada cowok yang ngechat aku. Terus dia marah selalu menggunakan bahasa binatang. habis itu dia selalu nangis terus minta maaf. Akunya ga tega. Tapi dianya selalu begitu terus”

Wow gue sendiri ga habis pikir kalo ternyata remaja umur 17 tahun aja bisa loh ngelakuin toxic relationship. Bahkan cerita-cerita tentang toxic relationship yang bertebaran di thread twitter maupun Instagram juga kebanyakan dilakukan oleh pasangan yang sudah cukup berumur menjadi bukti bahwa toxic relationship bisa terjadi oleh siapapun.

Lantas apakah kita bisa tau bahwa seseorang mengalami toxic relationship? Tentu saja bisa. Mungkin tidak semua tapi untuk ruang lingkup teman dekat atau keluarga biasanya bisa melihat tanda-tandanya secara langsung atau bahkan dia sampai bercerita. Namun kadang beberapa orang merasa kalo hubungan itu ya urusan mereka, alangkah baiknya kita tidak ikut campur. Namun kita harus berkaca pada kasus band Amigdala ketika mantan personil mereka mengalami toxic relationship

Ketika mereka yang tau dan memilih diam juga sebuah tindakan yang salah. Tentunya ketika orang terdekat kita menjadi korban toxic relationship sudah seharusnya kita menawarkan perlindungan dan memberikan dukungan untuk dia. Terkadang seseorang yang berada dalam toxic relationship tidak menyadari bahwa mereka berada di dalam jurang kegelapan tersebut. 

Pelaku dari toxic relationship juga bisa saja berubah jika dia memiliki kemauan dan harus ada teman yang selalu support dia tidak melakukannya lagi. Komunikasi dan Tindakan merupakan kunci utama dalam menyelesaikan toxic relationship. Kepekaan untuk segera melakukan tindakan kepada orang-orang sekitar kita juga menjadi sebuah jalan keluar ketika toxic relationship itu terjadi kepada orang di sekitar kita. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Prongs

Prongs