Zaman sekarang gampang banget ya untuk mendiagnosis penyakit tertentu alias self-diagnosis. Padahal bisa berbahaya untuk kesehatan mental lo. Baca selengkapnya di sini, Civs!
FROYONION.COM - Sungguh beruntungnya kita hidup di zaman sekarang saat arus informasi terjadi begitu cepat, lebih cepat dibandingkan 10 atau 20 tahun sebelumnya. Semua ini berkat kehadiran internet dan turunannya, media sosial. Terlebih, jika melihat tren anak muda Indonesia sebagai generasi milenial atau generasi Z, saat ini sudah mulai melek kesehatan mental.
Kabar baik ini tentu ada sisi nggak enaknya, Civs. Seperti halnya, ketika ada informasi atau konten tertentu yang membahas tentang suatu gangguan atau penyakit mental dan ternyata ciri-ciri yang disampaikan mirip dengan yang lo rasakan.
Enggak ada angin, nggak ada hujan, lo langsung bilang, “waduh, fix nih gue kena gangguan ini.” Padahal belum tentu apa yang lo baca itu memang sama seperti yang lo alami. Menurut pakar psikologi, kondisi ini disebut self-diagnosis.
Bicara soal tren self-diagnosis, mungkin lo bertanya kenapa sih orang-orang pada percaya dengan hasil self-diagnosis?
Berdasarkan hasil survei dari Millenial Mindset: The Worried Well yang dilakukan pada tahun 2014, menunjukkan bahwa 37% dari total responden Gen Y cenderung untuk melakukan self-diagnosis yang justru dipicu dari masalah kesehatan mental yang sebenarnya nggak mereka miliki.
Di samping itu, menurut Dr. Srini Pillay, M.D, seorang asisten profesor dari Harvard University seperti dilansir dari situs psychologytoday.com menyebutkan jika self-diagnosis atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai upaya mendiagnosis diri sendiri mengidap sebuah gangguan atau penyakit tertentu berdasarkan pengetahuan diri atau informasi yang didapatkan secara mandiri.
Ketika lo melakukan self-diagnosis sebenarnya yang lo rasakan adalah suatu asumsi seolah-olah lo mengetahui sendiri masalah kesehatan, khususnya gangguan mental yang lo alami. Penyebabnya juga macam-macam, tapi yang paling umum berawal dari perasaan was-was yang berlebihan sehingga membuat lo melakukan self-diagnosis
Beberapa dari lo yang kerap memutuskan untuk self-diagnosis biasanya timbul dari masalah pribadi yang menurut lo sangat berat untuk dipikul. Dan pada akhirnya lo mengalami stres, merasa tertekan, merasa sangat lemah, nggak berdaya dan ujung-ujungnya membandingkan diri dengan orang lain yang belum tentu orang tersebut ternyata punya beban yang lebih berat dari lo rasakan. Kalau kata orang Jawa, sih sawang sinawang.
BACA JUGA: KUNCI KESEHATAN MENTAL: BELAJAR MENERIMA ‘HEALTHY NEGATIVITY'
Sebenarnya kalau kita cermat dalam menyikapi fenomena dan tren anak muda Indonesia tentang self-diagnosis, semestinya hal ini bisa memberikan gambaran mengenai diri sendiri. Namun, ada tapinya nih, Civs. Kalau lo baru saja memutuskan untuk self-diagnosis yang nggak dibarengi untuk menghubungi ahlinya, itu sama aja lo membahayakan diri sendiri. Padahal, sudah banyak profesional maupun praktisi yang menanggapi hal ini dan menyarankan lo untuk mencari bantuan yang pasti.
Seperti yang dikatakan oleh Dr. Srini Pillay, M.D bahwa ada beberapa bahaya yang malah lo dapatkan karena melakukan self-diagnosis, alih-alih menyadarkan diri untuk melek dengan kesehatan mental. Apa aja itu?
BACA JUGA: TERNYATA GEN ATAU KETURUNAN BISA MEMPENGARUHI KESEHATAN MENTAL LO
1. MEMILAH INFORMASI YANG LO DAPATKAN DARI INTERNET
Hal yang paling diperhatikan ketika lo menemukan informasi yang disinyalir mirip dengan apa yang lo rasakan yaitu nggak semua informasi tersebut benar apalagi jelas sumbernya. Lo sebagai pengguna internet, mutlak hukumnya untuk nggak cuma pintar tapi kritis dalam memilah informasi yang tersebar di internet. Kemudian, mencari sumber yang valid alias terpercaya juga menjadi jalan lurus yang bisa lo terapkan dalam rangka memilah informasi yang tepat biar nggak terjerumus self-diagnosis lagi.
2. CURHAT DENGAN TEMAN DAN KELUARGA TERDEKAT LO
Ada yang menarik, Civs. Mencurahkan pikiran dan hati lo alias curhat, ternyata menjadi cara ampuh untuk mengatasi stres atau tekanan hidup yang sedang lo alami. Plus, langkah ini kerap dilakukan masyarakat Indonesia untuk bisa lebih dekat dengan teman atau keluarga terdekat lo. Jadi, jangan malu lagi untuk bisa bercerita secara face to face supaya pikiran dan rasa was-was lo bisa berkurang dari lingkaran self-diagnosis.
3. MULAI CARI BANTUAN DENGAN PROFESIONAL
Benar-benar deh, Civs. Nggak ada ruginya kalau lo mencari bantuan dengan menghubungi profesional seperti dokter, psikolog atau psikiater. Justru, langkah ini wajib lo lakukan demi terhindar dari kebiasaan self-diagnosis. Sayangnya, cara ini masih menjadi stigma negatif di masyarakat awam yang sering mengaitkan kalau masalah kejiwaan itu lebih buruk dari masalah kesehatan lainnya. Belum lagi biayanya yang mahal.
Tapi apa salahnya lo mengeluarkan biaya banyak untuk berkonsultasi dengan ahlinya, daripada lo terus-terusan menyalahkan diri sendiri dan tak kunjung dapat informasi yang pasti. Makanya, tren anak muda Indonesia tentang self-diagnosis itu ibarat baik di depan namun punya bahaya di dalamnya.
Jadi, lo masih pilih cara self-diganosis atau mulai sadar untuk tanya ke ahlinya, Civs? (*/)
BACA JUGA: INILAH JUMLAH JAM KERJA IDEAL UNTUK MERAWAT KESEHATAN MENTAL