In Depth

TANTANGAN LITERASI INTERNET GEN Z, DARI HEADLINE READERS SAMPAI REACTIVE COMMENTARY

Makin deras arus informasi, makin banyak tantangannya. Di balik kemudahan yang ada, ternyata banyak tantangan untuk mencerna informasi yang berseliweran di internet.

title

FROYONION.COM - Kalian sudah berapa lama mengonsumsi informasi dari media sosial, Civs? Atau, seberapa sering kalian dengar soal literasi internet? Pastinya udah sering ya, Civs.

Pertama kita harus tau dulu literasi itu artinya apa. Umumnya, literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis agar komunikasi yang dilakukan bisa berjalan mudah. 

Tapi literasi bukan cuma soal baca dan tulis aja loh, Civs. Menurut Kemendikbud, ada enam (6) jenis literasi dasar yang harus dikuasai; literasi baca tulis, literasi digital, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewarganegaraan.

Kita tau sendiri kalo sekarang informasi bisa didapat dari mana aja dan bukan cuma dari media konvensional lagi kaya radio, koran, atau TV. Ada peran yang besar juga dari media sosial sebagai media mendapatkan informasi yang instan dengan pengemasan yang atraktif. Dari Instagram sampai TikTok sekarang banyak menawarkan informasi untuk dikonsumsi sehari-hari. 

BACA JUGA: PUNYA BANYAK AKUN MEDIA SOSIAL, BUAT APA?

1. HEADLINE READING

Tapi pengemasan informasi yang beredar di internet kadang menghadapi keterbatasan yang mengakibatkan sulitnya mencerna informasi tersebut. Bukan cuma pengemasan, “banjir” informasi juga menyulitkan kita untuk memilah.

Kedua hal ini memicu kebiasaan membaca judul tanpa meneliti isinya secara menyeluruh. Kebiasaan satu ini disebut sebagai headline reading. Nah, mungkin kita juga kadang atau sering ngelakuin ini, Civs. Baru baca judul, udah ngetik komen dan share konten yang belum tentu kebenarannya ke temen-temen.

Memang, sih, penulis harus bikin judul yang menarik agar si pembaca bisa tertarik baca tulisannya. Tapi ada juga bahaya yang mengintai akibat kebiasaan headline reading ini loh, Civs. Mulai dari kita bisa terjebak clickbait sampai menjadi korban informasi yang menyesatkan (misleading information). 

Ujung dari efek headline reading yaitu komentar reaktif atau reactive commentary. Komentar yang diberikan cenderung tidak mencerminkan isi informasi yang dibaca dan parahnya lagi beberapa komentar memuat unsur-unsur negatif kayak komentar bernada rasisme atau penistaan.

“Apa hubungannya sama literasi, sih?” mungkin lo nanya gitu, Civs. 

Ya, hubungannya jelas ada sama literasi. Literasi sendiri bukan cuma kemampuan dasar untuk baca aja, tetapi juga mencakup kemampuan untuk mencerna atau memproses informasi yang sudah dibaca

Kita ambil contoh dari artikel nyeleneh punya The Science Post yang berjudul: 70% of Facebook users only read the headline of science stories before commenting. Artikel satir yang isinya cuma Lorem Ipsum tersebut sudah di-share sebanyak kira-kira 194.000 kali dan dikomentari 140 orang. Konyol kan?

Dilansir dari artikel yang ditulis David Kirkpatrick di Marketing Dive, 59% pengguna media sosial membagikan tautan (link) berita atau informasi tanpa membaca dulu apa isinya. Fenomena ini nunjukin ke kita semua kalau mode membaca kita berubah drastis dari membaca secara utuh ke membaca dengan memindai (scanning).

Karena Gen Z dekat dengan dunia maya atau internet, terutama media sosial, dan cenderung mendapatkan informasi dari sana, perkembangan literasi mereka cenderung berputar di internet. 

Kebiasaan mendapatkan informasi cuma dari internet ini bakal mengurangi cara untuk menangkap makna dari informasi karena adanya 2 faktor.

2. DESAIN PLATFORM

Sekarang informasi yang ada di internet bukan cuma dimuat di website aja, tetapi sudah masuk ke media sosial kayak Instagram dan TikTok. Informasi yang dimuat di Instagram dan TikTok didukung oleh media audio visual untuk memperjelas informasi yang mau disampaikan seperti foto dan video. Ini bagus karena bakal mempermudah proses penyampaian dan penyerapan informasi. 

Tapi karena ada batasan untuk setiap post mulai dari jumlah foto yang bisa di-upload di satu post atau durasi video yang cukup singkat, informasi yang disampaikan cenderung ringkas dan belum bisa memuat informasi secara keseluruhan. 

Untuk mengakali batasan itu, para content creators menyiasati ini dengan menaruh informasi tambahan di bagian caption postnya dalam bentuk teks. Untuk konten berupa foto cara tersebut masih bisa digunakan karena pengguna masih diberikan ruang buat baca captions dari fotonya. 

Tapi sayang banget, untuk konten video di TikTok dan Instagram Reels, pengguna cenderung hanya melihat dan mendengarkan video, karena menurut Justin Simon di artikelnya yang berjudul; Why Video is Important: What You Need to Know, otak manusia lebih cepat paham soal informasi menggunakan audio visual karena nantinya bakal disimpan sebagai long-term memory

Kesempatan buat paham soal informasi yang didapat lewat video TikTok atau Instagram Reels tidak cukup banyak karena durasi dari video yang tidak terlalu panjang.

Selain faktor desain, algoritma yang ada di platform-platform tersebut hanya akan memberikan informasi yang kita sukai aja, jadi kemungkinan terburuk dari sistem algoritma tadi bakal terbentuknya polarisasi yang bakal bikin chaos.

3. FITUR MULTITASKING GAWAI

Informasi bisa kita dapat dari mana saja dan kapan saja berkat bantuan gawai (gadget). Canggihnya gawai bisa bikin penggunanya mengerjakan beberapa aktivitas sekaligus (multitasking), misalnya baca e-book di smartphone sambil streaming lagu di Spotify, dan sesekali balas pesan yang masuk dari WhatsApp. 

Tapi sayang, karena multitasking tadi kita jadi gagal mendapatkan inti atau pesan dari yang kita baca. Dan karena multitasking tadi, cara kita membaca berubah jadi memindai (scanning). 

Menurut Sean Illing di tulisannya yang berjudul Why you (probably) won’t finish reading this story, fitur dari gawai dan bahkan konten yang ada di internet banyak yang bikin orang jadi terdistraksi dan gagal fokus.

Supaya Gen Z tidak gagal fokus dan dangkal dalam mencerna informasi, yang perlu dilakukan cuma back to basicmembiasakan membaca buku dan aware dengan validitas informasi yang ada. 

Baca buku bakal bantu membentuk kebiasaan untuk membaca secara keseluruhan, dan akhirnya bakal dapat inti dari apa yang dibaca. Kesadaran (awareness) mengenai informasi yang sedang kita baca juga perlu dilakukan supaya nantinya kita tidak tersesat (misled).

Kemudahan mendapatkan informasi itu bagus kok, Civs. Tapi nggak ada salahnya juga untuk lebih bijak dan hati-hati dalam memilih informasi yang ada. Jangan sampai jadi korban clickbait dan netizen yang bikin chaos di internet ya, Civs. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Rifki

Biasa dipanggil ‘Rif.’ Pemula dalam menulis yang kebetulan suka olahraga, baca, dan nonton.