In Depth

SUPAYA CANCEL CULTURE DI INDONESIA NGGAK SETENGAH-SETENGAH

Bukan sekali dua kali warganet +62 ngeluh, kenapa sih cancel culture di Indonesia nggak bisa kayak di Korea? Padahal, cancel culture di Indonesia ini bukannya nggak bisa, tapi udah memenuhi syarat dan ketentuan belum?

title

FROYONION.COM - Beberapa waktu lalu, ramai diberitakan seorang influencer dengan jutaan subscriber Youtube mengajak anak bayinya yang masih berusia lima bulan untuk naik jet ski tanpa pengaman sama sekali. Netizen dibuat heboh, nggak sedikit yang mengingatkan bahkan mencibirnya sebagai ibu yang buruk. 

Banyak juga dari netizen yang menyerukan untuk melakukan cancel pada influencer terkait. Walau memang kontennya nggak mendidik, tapi nyatanya influencer tersebut masih nggak jera. 

Akun Instagram dan Youtube-nya terpantau masih aktif mengunggah konten, bahkan salah satunya kembali jadi bahan omongan karena dinilai menyakiti lawan bicaranya. Cancel netizen gagal, nih.

Penasaran nggak sih Civs, kenapa ya cancel culture di Indonesia nggak bisa kayak di Korea Selatan? 

Industri hiburan Negeri Ginseng tuh, kalau udah nge-cancel selebriti ya beneran di-cancel. Semua job si seleb yang bermasalah langsung dibatalkan, dicopot dari brand iklan, batal main drama, bahkan hiatus dari industri hiburan atau malah meninggalkan agensi dan hidup sebagai commoner alias orang biasa non-selebriti. 

Netizen kita kok ngecancelnya nggak separah itu, ya? Paling cuman dihujat seminggu dua minggu di Instagram, abis itu ya udah. Entah apakah orang-orang kita terlalu pemaaf, pelupa, atau perpaduan dari keduanya. 

Sebelum lanjut, mungkin ada dari kalian yang masih awam sama istilah cancel cultureCancel culture, yang secara arti kata berarti budaya membatalkan, awalnya berasal dari sebuah lelucon misoginis yang dilontarkan dalam film lawas rilisan 1991 berjudul New Jack City.

Di salah satu adegan film itu, seorang bos narkoba yang bernama Nino Brown sedang diumpat pacarnya. Merasa marah, Nino lalu menuangkan minuman ke atas kepala pacarnya itu sambil bilang, “cancel that bitch, I’ll buy another one!” Nah, potongan adegan dari film inilah yang dianggap jadi referensi pertama dari cancel culture.  

Singkatnya, cancel culture ini berisi gagasan di mana seseorang seperti tokoh publik, selebritis, sampai politisi bisa “dibatalkan”. 

Cancel culture juga biasanya akan dilakukan secara kolektif dan atas dasar persetujuan bersama karena sebagian besar orang percaya bahwa target yang dicancel itu memang layak diabaikan gegara melakukan hal yang dianggap nggak pantas.

BACA JUGA: SAAT IDOLA LO TERKENA CANCEL CULTURE…

Oke, balik lagi ke cancel culture netizen kita vs netizen Korea Selatan. Tentunya seseorang atau sesuatu yang jadi objek cancel culture ini harus melakukan suatu kesalahan yang sangat besar sampai-sampai banyak orang berusaha membatalkan dia. Entah itu karena melakukan kejahatan atau tindakan nggak pantas lainnya. 

Sebagai contoh, aktor Kim Seon Ho sempat jadi sasaran cancel culture setelah beredar rumor dirinya melakukan gaslighting pada mantan pacarnya dan bahkan menyuruh sang mantan melakukan aborsi. 

Walau pada akhirnya terbukti nggak bersalah, tapi dampak kejadian tersebut pada karirnya luar biasa lho Civs. Sejumlah kontrak iklan dibatalkan, debut filmnya terancam gagal, dan pastinya doi panen hujatan. 

Di Indonesia, jangan harap bakal ada budaya membatalkan sampai taraf seekstrem itu, ya. Mantan terpidana kekerasan seksual pada anak di bawah umur aja masih disambut dengan kalungan bunga dan langsung tampil lagi di TV besoknya. Haduuuuh.

Kalaupun ada cancel culture netizen +62 yang bisa dibilang berhasil, ada syarat dan ketentuan yang berlaku dan harus terpenuhi. Yaitu, sasaran cancel harus melakukan kesalahan yang terkait dengan merendahkan atau bahkan menjatuhkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.  

Contohnya pada Juni 2021 saat drama Korea berjudul Racket Boys tayang. Salah satu episodenya menggambarkan bagaimana staf Indonesia nggak profesional dalam menangani sebuah pertandingan badminton taraf internasional. Staf Indonesia ini bahkan diperlihatkan dengan sengaja memberi fasilitas buruk pada atlet Korea Selatan sehingga terkesan menghalangi kemenangan mereka. 

Netizen Indonesia tentu nggak tinggal diam. Protes dilancarkan dengan memberi ulasan rendah di situs IMDB dan membuat drakor yang awalnya memiliki ratting 7.5/10 ini merosot tajam menjadi 1/10. Ulasan Google Review juga dibuat rendah hingga menyentuh angka 1.7/5. Bahkan, judulnya juga sempat diganti menjadi Racket Racist.

Aksi cancel culture lain yang dilakukan netizen termasuk saat seorang Youtuber asal Korea Selatan yang gemar membuat konten untuk penggemarnya di Indonesia dituding menghina warga lokal dengan sebutan miskin dan bodoh. Selain panen hujatan, jumlah subscribernya juga menurun drastis, demikian juga dengan angka pengikutnya di Instagram.  

Saat perhelatan G20 lalu, seorang reporter asal Inggris sempat mengejek pakaian batik yang dikenakan oleh para petinggi negara yang hadir. Netizen Twitter langsung gas dan balik menertawakan nama belakang reporter itu yang kebetulan dalam bahasa Jawa berarti “adukan semen”.

BACA JUGA: ANGGOTA TIM ‘PENYALIN CAHAYA’ DIHAPUS DARI KREDIT FILM ATAS PELAPORAN KASUS PELECEHAN SEKSUAL: TEGAS ATAU CANCEL CULTURE?

Serius, rasa cinta tanah air kita tuh tinggi banget kalau Indonesia udah dijelek-jelekkin sama pihak luar. Semangat nasionalisme yang dilakukan lewat aktivitas digital ini termasuk aksi bela tanah air lho Civs. Pokoknya kalau udah menyangkut nama baik Indonesia, baru deh netizen +62 sukses ngecancelnya. 

Ini nih yang jadi semacem “syarat dan ketentuan” supaya cancel netizen berhasil. Harus nyenggol Indonesia dulu, baru nggak ada kata maaf buat pelaku. Sebatas ngajak bayi lima bulan naik jet ski sih nggak ada unsur menghina Indonesianya, makanya aman-aman aja. 

Hmm, tapi bahkan aksi cancel yang terbilang berhasil ini nggak sampai 100% sukses juga. Buktinya Youtuber asal Korea Selatan itu sekarang udah balik ngonten seperti biasa setelah rehat beberapa waktu. Pengunjung kontennya juga terpantau tetep rame, tuh.  

Mungkin benar kalau netizen kita itu pemaaf, pelupa, atau perpaduan dari keduanya. Trending topic Twitter itu palingan seminggu dua minggu udah ganti lagi. Ketika ada hal lain yang bikin heboh, kasusnya si A bakal teralihkan dan perlahan terlupakan.

Akhirnya, kita secara alami “memaafkan” dengan dalih kasusnya udah lama dan si A udah merasakan hukuman dari netizen juga. 

Masih ada ruang pemaafan yang diberikan netizen kepada objek cancel, apalagi kalau kejadiannya sudah beberapa waktu berlalu. Lebih-lebih kalau objek cancel itu adalah seorang konten kreator yang punya basis penggemar tinggi, besar kemungkinan kesalahan sebesar apapun akan tetap diterima kembali oleh para penggemarnya. 

Memang susah sih Civs kalau kita mengharapkan cancel culture oleh netizen Indonesia bakal kayak di Korea Selatan. Kualitas netizennya aja beda. Balik lagi kalau semuanya itu butuh proses. Netizen Korea juga pasti nggak tiba-tiba bisa sekejam itu nge-cancel public figurnya yang bermasalah. 

Tapi, kalau ngeliat ada potensi cancel culture di Indonesia bisa lumayan berhasil, sebenernya bukan nggak mungkin juga kalau suatu hari nanti public figure yang kelewat batas beneran bisa di-cancel walau kesalahannya nggak bawa-bawa Indonesia. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Wahyu Tri Utami

Sometimes I write, most of the time I read