In Depth

STUDI: ORANG YANG KESEPIAN ITU ISTIMEWA, KARENA ISTIMEWA MEREKA KESEPIAN

Sebuah studi mengungkapkan kalau orang-orang yang kesepian itu istimewa. Karena istimewa, dia akan tetap kesepian walaupun memiliki banyak teman.

title

FROYONION.COM - Pernahkah kamu merasa kesepian? Sebagian besar dari kita apalagi untuk kamu yang sekarang sudah menginjak usia 20-an dan sedang meniti karier di kota orang, pasti sering mengalami kesepian. Maklum, kita tidak punya banyak teman yang bisa diajak main atau sekedar ngobrol di Cafe.

kesepian
sumber: healthline.com

NEW EPIDEMIC UNLOCK: LONELINESS

Mungkin, bagi kita yang tidak memiliki banyak teman, ketika kita melihat banyak instagram story yang sering membagikan aktivitasnya bersama teman-teman mereka, kita akan merasa hanya kita yang kesepian di dunia ini. Akan tetapi, ternyata kesepian ini sudah merasuki banyak orang di belahan dunia.

Kesepian bahkan sudah menjadi epidemi. Kalo kamu berpikir kesepian ini dampak dari isolasi sosial saat pandemi lalu, itu dipastikan salah. Jauh sebelum adanya Covid-19, setengah dari orang dewasa di Amerika Serikat merasakan kesepian. Lalu pandemi, mempercepat peningkatan kesepian itu.

Kurangnya koneksi sosial digadang-gadang jadi penyebab kesepian seseorang. Siklusnya kemudian tidak berhenti di sana. Kesepian yang semakin buruk akan membawa penyakit kesehatan fisik dan mental lainnya: Demensia, Depresi, Diabetes, dan lain-lain. 

BACA JUGA: LONELY DEATH: FENOMENA KEMATIAN DI TENGAH KESENDIRIAN

KESEPIAN MEMBUAT ORANG ISTIMEWA ATAU KEISTIMEWAANNYA MEMBUAT SESEORANG KESEPIAN?

Sebuah studi menyebutkan bahwa orang-orang yang kesepian itu unik dan istimewa. Mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap dunia. Itu mengapa mereka kurang click atau kurang cocok dengan orang-orang sehingga merasa terisolasi sendiri (kesepian).

Studi yang dilakukan Elisa C. Baek, dkk ini terinspirasi oleh penggalan kalimat pembuka dari novel yang ditulis oleh Anna Karenina, yakni “Happy families are all alike; every unhappy family is unhappy in its own way.” Semua keluarga yang bahagia itu sama, sedangkan setiap keluarga yang tidak bahagia itu tidak bahagia dengan cara mereka masing-masing, begitulah kira-kira.

Baek dkk dalam studinya tersebut memiliki hipotesis bahwa orang-orang yang kesepian memiliki saraf otak yang memproses rangsangan (khususnya video) dengan cara yang berbeda dari mereka yang tidak kesepian. Hal itu kemudian berkontribusi pada kurangnya perasaan “dipahami” yang sering menyertai orang-orang kesepian. 

Studi ini diikuti oleh 66 peserta yakni mahasiswa baru tahun pertama yang sebagian besarnya perempuan. Mereka mengikuti serangkaian uji mulai dari survey untuk menentukan mana saja peserta yang kesepian. Setelahnya, dilakukan wawancara serta penelitian utamanya yang menggunakan neuroimaging untuk melihat fungsi MRI ke-66 peserta tadi sebagai respon ketika dihadapkan dengan 14 video berbeda.

Hasilnya, orang-orang yang kesepian memiliki respon pemrosesan otak yang unik dan berbeda saat melihat video-video tersebut dari pada mereka yang tidak kesepian. Para peneliti menyebut orang-orang kesepian ini dengan sebutan istimewa. Belum ada kepastian khusus apakah keistimewaan respon ini menjadi sebab atau akibat kesepiannya seseorang. Tetapi yang pasti, kurangnya pemahaman bersama menjadi tantangan seseorang dalam mencapai koneksi sosial.

WALAU PUNYA BANYAK TEMAN, MEREKA YANG KESEPIAN TETAP KESEPIAN

Hasil studi tadi tetap bertahan ketika Baek dkk menguji peserta kesepian dengan memasukkan variabel lainnya, yaitu: kesamaan demografis, isolasi sosial yang objektif, dan persahabatan antar individu.

Hal itu kemudian menjadi penemuan yang penting. Bahwa ternyata, meskipun orang-orang kesepian ini memiliki “persahabatan” yang banyak dan konsisten berinteraksi dengan banyak orang, mereka akan tetap memandang sesuatu dengan istimewa atau berbeda dari mereka yang tidak kesepian.

Nah, ketika kita dikelilingi orang-orang yang melihat dunia dengan cara yang berbeda dari diri kita sendiri, itu justru akan meningkatkan faktor risiko kesepian. Bagaimanapun, jika kita tidak merasa click dengan seseorang, kita akan merasa menjadijadi “orang asing” bahkan di circle kita sendiri. 

Dari sini, pelajaran yang bisa kita ambil adalah bertemanlah dengan orang-orang yang sekiranya bisa sama-sama menerima alias se-frekuensi, sehingga koneksi sosial yang terjalin pun akan semakin kukuh. 

Jadi, jika kamu merasa kesepian pun jangan asal mencari teman, ya. Ibaratnya, jika tidak dalam satu halaman yang sama dengan seseorang, bisa saja kita tidak akan bisa masuk dalam cerita di halaman tersebut. 

Kalau konsepnya seperti ini, menurutmu orang-orang yang sering mengunggah kesenangan di media sosial bersama temannya yang banyak, masih merasa kesepian tidak ya? 

Nah, jika kamu merasa kesepian, kamu bisa mulai dengan mencari teman di komunitas mungkin, karena biasanya mereka memiliki kesamaan dengan kita entah itu dari hobi, minat, preferensi, dan lain-lain. Intinya, jangan sampai epidemi kesepian ini menjalar dan ikut merenggut kesehatanmu! (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Lugina Nurul Ihsan

Mahasiswa paruh waktu, menulis untuk menemukan jawaban.