Kekalahan yang dialami oleh MU ketika melawan Liverpool justru menjadi kemenangan untuk berbagai brand yang ada di Indonesia.
FROYONION.COM - Dalam lanjutan Liga Inggris Minggu lalu. Dua raksasa tim Liga Inggris yaitu Liverpool dan Manchester United bertemu dalam takjub North-West Derby yang mana dalam pertandingan tersebut terjadi sebuah “pembantaian” yang dilakukan oleh Liverpool.
Nggak tanggung-tanggung, Liverpool melibat habis MU dengan skor 7-0 lewat gol yang dicetak oleh Gakpo, Nunez, Salah, dan juga Firmino.
Dan umumnya dalam sepak bola, tim yang kalah pastinya akan mendapat banter dari tim yang menang maupun tim-tim lain yang emang punya keterkaitan dengan hasil pertandingan tersebut, maupun yang sama sekali ga punya kaitan dengan hasil pertandingan tersebut.
Jadi, pastinya selama seminggu ini isi dari timeline media sosial kalian tentunya dipenuhi dengan meme-meme yang membahas kekalahan MU atas Liverpool. Entah meme yang berasal dari individu ataupun meme yang berasal dari akun-akun yang emang fokus membahas sepak bola.
Tapi, nyatanya kekalahan MU atas Liverpool ini nyatanya ga cuma dirayakan oleh publik pecinta sepak bola saja. Nyatanya, berbagai brand yang sebenarnya ga punya kaitannya dengan sepak bola justru ikut serta “membully” MU atas kekalahan yang mereka alami.
Berbagai brand mulai dari brand-brand E-Commerce, Travel, atau brand-brand yang melibatkan sebuah perusahaan, sampai ke brand-brand personal seperti selebgram, selebtwit, dan lainnya. Nyatanya ikut serta memanfaatkan momentum kekalahan MU ini.
Lantas, kenapa sih ini bisa terjadi? Kenapa akhirnya brand-brand yang ga relevan dengan dunia sepak bola justru terkesan “ikut-ikutan” ngomongin sepak bola? Dan sebenarnya, salah nggak sih, buat brand-brand ikut-ikutan suatu tren?
Nyatanya, apa yang dilakukan oleh brand-brand tersebut adalah sebuah bentuk strategi marketing yang dikenal dengan istilah “Riding the wave”.
Seperti namanya, riding the wave adalah sebuah strategi mengikuti arus atau isu yang sedang menjadi sebuah perbincangan. Atau sederhananya, riding the wave adalah cara pelaku usaha untuk memanfaatkan isu yang sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat sebagai bentuk dari strategi pemasaran.
Dalam penerapannya, strategi riding the wave ini sangat membutuhkan kepekaan mengenai suatu isu yang sedang hangat dibahas. Kepekaan ini dalam artian, suatu brand harus bisa membuat isu yang dibicarakan menjadi relevan dengan identitas yang dimiliki oleh brand tersebut, sehingga tidak terlihat hard sell ataupun terlalu memaksakan.
Hal ini bisa kita lihat dari kekalahan 7-0 MU atas Liverpool pekan lalu. Kekalahan ini nyatanya dimanfaatkan oleh beberapa brand guna mempromosikan produknya.
Bagaimana cara brand yang ga relevan dengan dunia sepak bola memanfaatkan isu kekalahan MU sebagai strategi riding the wave mereka?
Tentu dengan melihat hal yang paling ikonik dari kekalahan tersebut, yaitu skor akhir 7-0. Nyatanya, banyak brand-brand yang menggunakan skor akhir 7-0 tersebut sebagai media mereka untuk mempromosikan produk yang mereka miliki.
Sebagai salah satu contoh adalah promosi kebijakan baru dari BCA yang kini mempunyai nilai minimal transfer sebesar Rp 1,- .
Dari unggahan ini, kita bisa melihat bagaimana BCA menggunakan kekalahan Mu atas Liverpool sebagai media mereka mempromosikan kebijakan baru yang mereka miliki. Di sini, kalimat “Bukan, bukan angka 7. Ini angka 1.” adalah sebuah bentuk riding the wave BCA terhadap isu kekalahan MU. BCA menggunakan momen paling ikonik dalam kekalahan tersebut, yaitu skor 7-0 dengan cara membuat angka “1” yang terlihat seperti angka “7” yang secara langsung memiliki keterkaitan dengan skor akhir Liverpool vs MU, yaitu 7-0.
Dalam konten ini, BCA melakukan strategi riding the wave dengan cara sempurna, tanpa harus merusak atau menghilangkan identitas brand mereka sebagai brand keuangan. Sehingga, promosinya nggak terkesan memaksa dan justru membuat netizen tertawa dan meningkatkan engagement mereka. Dengan bukti, postingan tersebut mendapatkan likes puluhan ribu.
Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa pada akhirnya kekalahan MU justru menjadi isu yang bisa dinikmati oleh publik secara luas. Kenapa kalau klub-klub sepak bola lain yang kalah, atensi masyarakat dan juga brand-brand ini nggak sebesar atensi mereka terhadap kekalahan MU?
Salah satu alasan kenapa akhirnya isu kekalahan MU ini dapat diangkat sebagai strategi riding the wave oleh berbagai brand adalah pasar penikmat sepak bola yang sangat besar.
Nyatanya, sepak bola memang sudah menjadi olahraga terpopuler di dunia, terlebih di Indonesia. Sehingga, untuk memanfaatkan isu dalam dunia sepak bola sebagai media untuk memasarkan produk suatu brand, rasanya hal tersebut adalah hal yang sangat wajar.
Terlebih MU sendiri memang menjadi salah satu klub sepak bola yang memiliki jumlah fans yang cukup besar di dunia. Mengutip dari Bola.net, MU nyatanya menduduki peringkat ketiga klub sepak bola terpopuler dengan jumlah kepopuleran sebesar 18%.
Dan hal lain yang akhirnya membuat kekalahan MU menjadi isu panas yang akhirnya digunakan sebagai strategi pemasaran adalah, momentum kekalahan yang benar-benar on point untuk “dirayakan”.
Yang akhirnya membuat suatu isu mendapat perhatian lebih dari masyarakat yang kemudian dimanfaatkan oleh brand-brand sebagai media promosi mereka adalah momentum yang benar-benar tepat banget.
MU beberapa belakangan ini sedang tampil luar biasa menjanjikan. Salah satu buktinya adalah rentetan kemenangan beruntun, dan juga trofi Carabao Cup yang mereka raih dalam kurun waktu dua bulan belakangan ini.
Tentunya, rentetan kemenangan ini membuat orang-orang cenderung memilih MU sebagai jagoan mereka pada pertandingan melawan Liverpool kemarin melihat track record Liverpool yang musim ini benar-benar hancur.
Dan hasilnya justru anti-klimaks, MU justru dibantai 7-0 oleh Liverpool. Fans-fans MU yang beberapa belakangan ini keluar “goa” nyatanya harus menahan malu karena kalah melawan rival abadi mereka. Hashtag #TsunamiTrofi yang terus digaungkan justru malah tenggelam terbawa Tsunami yang mereka diharapkan akan datang.
Dan momentum antiklimaks inilah yang akhirnya membuat kekalahan MU terasa lebih spesial. MU yang kembali ke “setelan pabrik”, kekalahan 7-0 yang selamanya akan dikenang, dan juga fans-fans MU yang pada akhirnya kembali terdiam setelah beberapa waktu belakangan terus bersenang-senang.
Momentum inilah yang akhirnya dapat dimanfaatkan oleh brand-brand untuk mempromosikan produk mereka. Mungkin untuk fans MU momentum ini terkesan menyebalkan, tapi untuk non fans MU, dan juga orang awam, momentum ini justru akan terus mereka gunakan untuk mempromosikan produk mereka.
Kembali ke istilah dan penerapan riding the wave ini. Pada dasarnya, riding the wave adalah strategi mengikuti arus pasar. Apa yang sedang pasar senangi, apa yang sedang pasar bicarakan, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, brand-brand tersebut harus membuat isu tersebut menjadi relevan dengan brand voice dan juga produk apa yang mereka jual.
Dalam kasus BCA, BCA sukses menerapkan strategi riding the wave karena mereka sukses mempertahankan identitas brand yang mereka miliki, meskipun menggunakan isu yang ga relevan dengan mereka.
Beda cerita kalau akhirnya, beberapa brand justru menghilangkan identitas mereka hanya karena ingin ikut-ikutan aja. Bukannya produk mereka diterima, justru sebaliknya, orang-orang akan menganggap brand tersebut hanya ikut-ikutan aja tanpa mengerti isu apa yang mereka jadikan materi promosi.
Jadi, selagi identitas brand tetap terjaga, riding the wave ini bisa jadi strategi marketing yang menarik dan efektif banget. Tapi sebaliknya, kalau akhirnya identitas brand tertentu justru hilang karena melakukan strategi ini, yang ada brand tersebut justru mendapatkan backslash dari masyarakat kita. (*/)