Biaya kuliah yang akan semakin bengkak, diprediksi membuat banyak orang tua yang akan gagal membiayai pendidikan anaknya. Kondisi ini membuat banyak pihak bersuara dan mendapat perhatian kritis dari berbagai kalangan khususnya generasi milenial dan gen Z.
FROYONION.COM - Kamu udah tahu belom, Kompas.id menyebutkan bahwa biaya kuliah akan semakin mencekik dan orang tua diyakini akan kesulitan dalam memenuhi hak pendidikan anaknya di perguruan tinggi? Penyebabnya karena kenaikan upah minimum orang tua tidak berbanding lurus dengan kenaikan biaya kuliah masa depan.
Kompas.id telah ngadain riset untuk membandingkan upah lulusan SMA dan sarjana dari tahun 1995 - 2022 terhadap biaya kuliah dari 30 perguruan tinggi negeri (PTN) maupun swasta (PTS) tahun 2013 – 2022.
Mereka nemuin kalau upah lulusan SMA berada di angka 3,8 persen per tahun, sementara sarjana 2,7 persen per tahun. Sedangkan di sisi yang lain, dalam 10 tahun terakhir pembiayaan kuliah naik sebesar 6,03 persen per tahun.
Bingung? Tenang gua bantu pakai jembatan keledai agar sama-sama mudah kita pahami. Semoga ga salah, bismillah.
Andai kata ortu lu punya gaji di kisaran 4 – 5 jutaan perbulan, maka kenaikan gajinya kira-kira hanya 150 – 190 ribuan per tahun. Beda lagi dengan biaya kuliah, kenaikannya itu bisa menembus 200 hingga 270 ribu per tahunnya.
Dari sini kita temuin kalau ada gap antara pemasukan dan pengeluaran atau dengan kata lain lebih besar pasak daripada tiang.
Lebih lanjut, kompas.id juga membuat asumsi kemampuan pembiayaan kuliah di masa mendatang. Kata mereka, bila seorang anak lahir pada tahun 2022 dan akan berusia 18 tahun pada 2040, maka ortunya hanya akan mampu menyiapkan tabungan pendidikan anaknya sebesar 60%. Lalu bagaimana dengan kekurangannya ?
Menurut gua isu ini menarik untuk kita diskusikan. Karena tidak menutup kemungkinan sobat sekarang sudah ada yang merid atau bahkan entar lagi merit. Sambil ngabisin sebat terus mikir-mikir gimana yah nanti kalau gua udah menikah terus punya anak. Kira-kira sanggup ga yah?
Sekarang umur gua 27 tahun dan masih bekerja sebagai freelancer. Secara hitung-hitungan matematika memang benar bahwa biaya pendidikan akan terus merangkak naik. Ga usah jauh-jauh bahas biaya pendidikan, beras aja yang tiap hari kita konsumsi harganya juga memang akan terus naik.
Fenomena ini sejatinya merupakan siklus kehidupan yang basisnya ekonomi. Dengan beredarnya informasi diatas bukan berarti kita nanti ga bisa membiayai anak kita sekolah, akan tetapi kita harus bisa melihat perspektif pendidikan dari sisi yang lain. Selain itu, kita juga dituntut untuk antisipatif dalam meningkatkan literasi keuangan diera gempuran healing dan rewards.
Perspektif Baru Tentang Pendidikan Khususnya Kuliah
Kita semua setuju bahwa pendidikan dasar (SD, SMP, SMA) wajib untuk kita tunaikan. Namun bagaimana dengan kuliah? Dititik ini, gua melihatnya sedikit agak berbeda. Bukan karena Roy yang udah nolak Beasiswanya pak sandi, gak. Tapi kuliah secara formalitas saat ini tidak lagi menjadi primadona untuk membuat manusia melakukannya.
Jadi maksud lu, ga usah kuliah gitu bang? Oopps gak kayak gitu Sob.
Jadi gini, kita baru aja mengalami sebuah transformasi besar setelah pandemi covid. Ada pemanfaatan teknologi besar-besaran yang terjadi di segala sektor termasuk didalamnya adalah pendidikan. Dan yang nampak kepermukaan ternyata kita jauh lebih banyak membutuhkan skill dan soft skill ketimbang secarik kertas bernama ijazah.
Generasi Post Gen Z nantinya akan diperhadapkan dengan kebutuhan mereka sendiri tentang kuliah. Mau kuliah apa dan pilih jurusan apa? Mau kuliah daring apa luring? Masuk Exacta atau Soshum ataukah fokus bekerja di dunia digital yang skill-nya bisa kita dapatkan di internet.
Saat ini juga sudah banyak kampus yang menyediakan kuliah jarak jauh (S-1) dengan biaya terjangkau namun pilihan prodinya masih terbatas. Belum lagi kita berbicara tentang begitu banyak profesional di berbagai bidang sudah ngadain masterclass-nya masing-masing, baik melalui youtube atau platform tertentu. Ilmu begitu dengan mudahnya kita dapatkan di internet.
Dengan banyaknya alternatif ini maka menurut gua persoalan diatas bisa kita hadapi tentu dengan bantuan teknologi. Biaya perkuliahan seharusnya bisa kita tekan karena teknologi memudahkan kita bisa belajar dari mana saja tanpa harus ke kampus terlebih dahulu. Namun kondisi ini ga berlaku untuk semua jurusan yah sob, misalnya jurusan kedokteran.
Perihal ini sejalan dengan programnya Mas Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Semua anak seyogyanya dituntut untuk menentukan sendiri ilmu apa yang ingin pelajari tanpa mengabaikan regulasi atau aturan yang sudah ada. Lagipula, kini begitu banyak profesi baru yang akan lahir, kita sebagai generasi muda saat ini bisa mewaspadainya dengan memberikan kemerdekaan belajar kepada generasi selanjutnya nanti agar gak ketinggalan lagi sama negara lain. Mereka juga jadi akan semakin melek dengan melihat utuhnya suatu pendidikan.
Literasi Keuangan di Era Gempuran Self Rewards dan Healing.
Bukan lagi sebagai aib, trend healling dan self rewards kini sudah banyak menghantui. Banyak orang yang salah kaprah tentang kedua prilaku diatas. Lu mungkin bisa lihat, ada orang yang baru bekerja dikit namun tiba-tiba nulis di story WA katanya “duh capek butuh healing nih”.
Menurut gua self rewards dan healling itu penting namun kita juga harus bijak dalam melakukannya. Ingat, sebesar apapun pendapatan kita hari ini namun bila gaya hidup tetap boros, maka kantong kita ibarat ban bocor, akan kempes juga pada akhirnya. Sedangkan kehidupan itu terus berjalan maju.
Nah, di sini gua pengen ngiketin kita semua bahwasannya kita harus sadar akan literasi keuangan agar dapur kita terus ngebul dan gak kesusahan di masa depan. Lu yang hari ini udah bekerja gua saranin mulai belajar menabung. Bukan menggurui atau apa, dengan kiat ini maka membuat kita lebih siap menghadapi masa depan walau dalam era gempuran self rewards dan healing.
Berkaca dengan tahun sebelumnya, ketika pandemi covid banyak orang kehilangan pekerjaan. Pesangon ga dapat, memasukkan ga ada, terus mau makan dari mana? Makanya kemarin marak pinjol beredar dimana-mana ngasih pinjaman. Trus pas ditagih, nagihnya galak lagi kayak emak-emak lagi nyari tumbler yang ilang.
Belajar menabung dan berinvestasi di usia muda tentu menjadi harapan agar kelak ketika kita tidak kesusahan. Harga-harga hari ini mungkin ga akan kita temukan lagi nanti. Gua masih ingat, dulu SD jajan bawa duit 100 perak udah banyak, lah sekarang? Boro-boro bawa duit 100 perak, bawa 5 ribu perak aja dicengin ama teman sekelas. Miris gak tuh?
Sebuah Sikap
Oke sebagai penutup, tak bisa kita nafikan bahwa uang kuliah di masa depan memang terus akan semakin naik. Sikap kita tentu harus bersiap dan mampu menjawab tantangan itu dengan memanfaatkan teknologi sebagai medium baru dalam mencari ilmu. Keterampilan dan soft skill akan menjadi daya jual tinggi di masa depan lalu kemudian disusul ijazah dsb.
Meningkatkan kemampuan literasi keuangan juga bisa menjadi solusi dari ancaman ini. Mengelola keuangan dengan bijak dan terampil dalam menggunakannya tentu membutuhkan sebuah proses. Tak ada salahnya jika mulai belajar dari sekarang. Masa depan adalah sebuah misteri yang membutuhkan sikap dan langkah yang cermat agar indah untuk dilalui. (*/)