In Depth

SEBERAPA BANYAK PENGARUH BARANG BRANDED PADA KARIERMU?

Sebenarnya, seberapa penting sih brand yang kita gunakan di mata klien?

title

FROYONION.COM - Beberapa waktu lalu, muncul sebuah diskursus di internet yang membahas mengenai pengaruh suatu brand terhadap kinerja seorang pekerja. Sebagai konteks, diskursus ini awalnya muncul dari sebuah pertanyaan yang diunggah oleh akun menfess di X yang bertanya mengenai rekomendasi tas dari brand-brand ternama. 

Dari adanya pertanyaan tersebut, muncul berbagai jawaban yang salah satunya menjadi pemantik diskursus yang sudah dijelaskan di awal. Jawaban tersebut mengatakan bahwa, barang dengan brand tertentu (branded) nyatanya lebih menarik perhatian seorang klien untuk bekerja sama dengan kita atau perusahaan yang mempekerjakan kita. 

Dianggap tidak rasional, muncul sebuah argumen yang membalas jawaban tersebut dengan mengatakan hal tersebut hanya akal-akalan orang Jakarta. Menurutnya, hal-hal yang membuat klien mempekerjakan kita pada dasarnya adalah hasil kerja dan skills kita, bukan tas, pakaian, atau jam tangan yang kita kenakan. 

Selayaknya sebuah diskusi, muncul antitesis lain yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan realita sosial yang memang terjadi di dunia pekerjaan. Menurutnya, beberapa klien pada dasarnya ‘memilih’ seseorang berdasarkan apa yang mereka gunakan guna menunjang pekerjaan yang dilakukan dan sebagai ‘bukti’ pencapaian dari orang tersebut. 

Dari adanya diskursus di internet ini, muncul sebuah pertanyaan. Sebenarnya, seberapa penting sih sebuah barang atau tools dengan merk/brand tertentu? Apakah penggunaan brand tertentu memiliki pengaruh terhadap kinerja kita?

REALITA YANG PERLU DIUBAH

Menjawab pernyataan mengenai klien yang melihat seseorang berdasarkan brand yang digunakan sebagai sebuah realita. Rasanya, ‘realita’ tersebut tidak perlu untuk dilanjutkan atau dinormalisasi. Karena, hal tersebut sama saja dengan mendiskreditkan skills dan value seseorang dengan hanya melihat seseorang berdasarkan brand yang mereka gunakan. 

Pada dasarnya, ‘realita’ sosok klien yang menuntut atau menilai seseorang berdasarkan brand yang kita kenakan dapat terjadi karena kita sebagai seorang pekerja menormalisasi hal tersebut. Padahal, sebenarnya kita dapat menjelaskan bahwa brand-brand yang dianggap lebih bagus ini terkadang tidak dapat menjadi tolak ukur akan skills ataupun pencapaian yang kita miliki. Penggunaan brand-brand tertentu ini pada dasarnya merupakan preferensi subjektif/pribadi yang tidak beririsan dengan skill yang kita miliki. 

Dengan demikian, menganggap suatu hal yang tidak harusnya dinormalkan sebagai suatu ‘realita’ kehidupan rasanya kurang tepat untuk dijadikan standar dari suatu pekerjaan. Karena kembali lagi, karena didasari oleh penilaian subjektif, belum tentu semua klien dalam suatu lini pekerjaan memiliki preferensi atau kewajiban penggunaan brand-brand tertentu untuk melancarkan proses kerja sama antara klien dengan kita. 

SALAHKAH PAKAI BRAND TERTENTU?

Pada akhirnya, apapun brand yang kita kenakan, baik branded maupun lokal, mau mahal atau murah, mau bagus atau biasa aja, semuanya kembali ke preferensi pribadi. Namun, akan menjadi sebuah pertanyaan besar apabila penggunaan brand tersebut hanya didasari sebagai cara untuk ‘menarik’ perhatian klien untuk bekerja sama dengan kita. 

Memang hal tersebut tidaklah salah, karena pada dasarnya hal tersebut merupakan cara untuk mencapai suatu kerja sama. Namun, rasanya hal tersebut secara tidak langsung menunjukan insekuritas kita terhadap skill dan value yang ada pada diri kita. 

Dengan kata lain, ketika kita menggunakan suatu brand tertentu dengan alasan agar klien tertarik bekerja sama dengan kita, secara tidak langsung kita tidak merasa percaya diri dengan skills yang kita miliki. Karena, kita merasa masih membutuhkan nama dari suatu brand untuk menunjang penampilan fisik yang dapat dilihat oleh klien guna mendapatkan kesepakatan bersama. 

KEMBALI KE PREFERENSI

Pada akhirnya, dalam diskursus tersebut sebenarnya sudah memberikan jawaban. Jawaban tersebut adalah, semua kembali ke preferensi dan kenyamanan masing-masing. Apabila kita tidak merasa nyaman dengan suatu brand namun karena adanya anggapan bahwa brand tersebut mampu menunjang diri kita, rasanya hal tersebut tidak perlu dipaksakan. Selagi kita punya skills, cara berkomunikasi yang baik, dan attitude yang bagus, rasanya klien pun tidak akan segan-segan untuk menjalin kerja sama dengan kita. 

Di lain sisi, apabila kita merasa brand tersebut mampu meningkatkan skills, dan mampu menunjang pekerjaan dari sisi objektif bukan subjektif, ya kenapa tidak? Pada akhirnya, semuanya kembali ke preferensi masing-masing.

Maka dari itu, jangan memaksakan hal yang tidak membuat kita nyaman hanya untuk mencapai suatu ‘realitas; yang sebenarnya tidak perlu dinormalkan. Selagi, kita memiliki skills yang sepadan dan value. Mau, merk, brand, dan lain sebagainya tidak memiliki arti lagi, karena orang melihat kita berdasarkan skills dan value yang kita miliki, bukan apa yang sedang kita kenakan, dan apa yang kita gunakan untuk menjalankan suatu pekerjaan. (*/) (Photo credit: Rahib Hamidov)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Radhytia Rizal Yusuf

Mahasiswa semester akhir yang hobi menonton anime dan memiliki ketertarikan dalam berbagai budaya populer seperti, anime, J-pop, K-Pop