In Depth

REVIEW BOMBING DI FILM 'LIKE & SHARE' DAN BAHAYANYA BAGI INDUSTRI MEDIA KREATIF

Film Like & Share kena review bombing di IMDb akibat salah satu talent-nya terlibat kasus perselingkuhan dengan suami orang.

title

FROYONION.COM - Suatu kali, saat masih bekerja sebagai karyawan di gerai fotokopi, gue mendapati seorang pelanggan yang nggak puas dan marah-marah kepada seorang kawan yang melayani keperluannya. Gue lupa tepatnya apa yang bikin pelanggan itu ngamuk, tapi nggak lama kemudian, sebelum ia angkat kaki, ia mengancam akan memberi ulasan buruk di Google. Mendengar itu, gue hanya bisa membatin:

"Nggaplekiii!"

Ulasan buruk itu betulan ia posting di Google. Dan jadilah kami mesti ribet menjelaskan duduk perkaranya pada Pak Bos, bahwa sebetulnya itu hanya kesalahpahaman, bahwa sebetulnya itu nggak sepenuhnya salah kami. Huft, merepotkan.

Fitur feedback yang disediakan oleh Google, juga platform media lainnya, sebetulnya membantu interaksi antara si pelanggan dengan si penjual atau penyedia jasa.

Jika pelayanannya bagus dan memuaskan misal, mereka berhak mendapat ulasan positif. Dan ulasan positif akan berdampak baik pada rating. Rating yang bagus akan menaikkan pamor dan mengundang lebih banyak pelanggan.

Dan jika nyatanya ada yang kurang memuaskan, pelanggan bisa memberi kritik yang membangun. Kritik akan membuat si penjual belajar dan membenahi apa yang kurang dari produknya, dan itu artinya bakal ada perbaikan kualitas.

Namun yang patut disayangkan dari fitur pemberian feedback itu adalah ketika fitur tersebut disalahgunakan untuk memberi ulasan buruk yang nggak berdasar, dengan tujuan semata untuk menurunkan rating. Istilah kerennya untuk perilaku nggak terpuji yang satu ini: review bombing.

Korban teranyar dari perilaku review bombing ini adalah film Like & Share garapan Gina S. Noer. Mendapat ulasan positif dari banyak kritikus dan para pengamat film, rating film Like & Share di IMDb justru merosot di angka 6,7 setelah film ini banjir ulasan bintang satu. Seenggaknya ada 75% dari 578 pemberi review (saat tulisan ini dibuat) yang memberi ulasan bintang satu pada film tersebut.

BACA JUGA: 'YUNI': KUMPULAN KEBINGUNGAN PEREMPUAN YANG TAK TERJELASKAN

Sulit rasanya untuk percaya bahwa penyebab film tersebut mendapat review bombing nggak ada hubungannya dengan kasus yang telah menimpa salah satu talent di film itu, Arawinda Kirana, yang kabarnya terlibat affair dengan suami orang. Dan nyatanya memang itulah penyebab utamanya.

Hukuman berupa cancel culture dari publik sudah dijatuhkan kepada aktor muda yang namanya melejit lewat film Yuni itu. Imbasnya, film terbaru yang dibintanginya pun kena getahnya.

Naskah jempolan yang ditulis oleh Gina S. Noer dengan membawakan isu-isu soal seks dan perempuan jadi percuma belaka. Sinematografi yang indah dengan warna cerah, juga metafora di sana-sini jadi nggak berarti di hadapan pelaku review bombing.

Yang mereka pedulikan hanyalah bagaimana caranya meremukkan karir si pelakor. Dan sialnya, mereka mengambil cara gampangnya, tanpa berpikir bahwa film itu melibatkan banyak orang, bukan cuma si artis yang terlibat skandal.

Review bombing juga pernah menimpa film dari MCU yaitu film Captain Marvel. Menampilkan superhero perempuan, film Captain Marvel justru mendapat review bombing karena dianggap kelewat feminis. Setelah ditelaah, rupanya yang banyak memberi ulasan bintang satu tersebut adalah laki-laki.

Review bombing nggak hanya menimpa film, melainkan juga game. Hal ini pernah menimpa game moba Wild Rift yang mendapat review bombing dari player game moba Mobile Legends, setelah Riot Games menuntut Moonton atas dugaan plagiasi dan membuat game tersebut terancam kena banned.

BACA JUGA: ‘INANG’ DAN ‘QORIN’, DUA FILM HOROR DENGAN ISU KEKINIAN YANG SERBA NANGGUNG

Jika bicara etis atau nggaknya perilaku tersebut, jelas sekali bahwa review bombing nggak etis. Memberikan ulasan sangat buruk untuk sesuatu yang sama sekali nggak berhubungan dengan film atau suatu produk, jelas bukanlah perilaku yang etis.

Bahkan bisa dibilang review bombing akan merusak iklim yang sehat di industri media kreatif. Bayangkan saja, ada orang yang batal menonton sebuah film gara-gara film tersebut punya rating yang buruk. Padahal bisa jadi film itu adalah salah satu film yang akan membuka ruang-ruang diskusi di masyarakat, film yang mungkin akan memberi warna baru di industri perfilman kita.

Sebuah film, apapun itu, sudah seharusnya dinilai berdasarkan apa yang berhubungan dengan film tersebut. Entah dari tema yang diangkat, ketepatan naskah dalam menyampaikan pesan juga sinematografinya. Menilainya berdasarkan apa yang berada di luar film tersebut jelas bukanlah tindakan yang bijak. Itulah kenapa, sebaiknya kita berpikir lebih dulu sebelum bertindak. Sungguh. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan