Pecinta buku bisa datang dari mana saja, termasuk kalangan perokok. Kendati demikian, perpustakaan umum justru masih asing bagi kaum pecandu nikotin ini.
FROYONION.COM - Saat sedang bersantai—tentu dengan kopi dan sebatang rokok kretek—saya tiba-tiba kepikiran tentang nasib perokok di dalam dunia literasi. Meski terdengar dramatis, tapi begitulah yang saya amati belakangan ini.
Sebagai perokok yang baik, saya tentu tidak akan meninggalkan belasan puntung tanpa menghasilkan suatu apa pun. Maka dari itu, wahai para perokok sedunia, izinkan saya untuk membela Anda semua melalui tulisan singkat ini.
Bagi saya, sebatang rokok yang terbakar di atas asbak ditemani sastra ala Seno Gumira Ajidarma atau kumpulan opini satire milik Mahbub Djunaidi sudah lebih dari cukup.
Tapi, cepat atau lambat, para pembaca buku tentu dihinggapi rasa bosan, apalagi jika aktivitas ini dilakukan di tempat yang itu-itu saja: Di kamar, teras rumah, bahkan toilet. Warung kopi (yang murah sampai mahal), halte bus, atau taman kota bisa jadi sudah disambangi, tapi tentu terbatas oleh waktu dan keramaian. Sebab scara hakikat, manusia memerlukan kawan “senasib”, atau semacam comfort zone.
Pada dasarnya, penikmat buku cuma membutuhkan ruang di mana mereka tak merasa “dihakimi” oleh orang sekitar. Misalnya, ketika sedang membaca di smoking area sebuah kafe, semua mata seolah tertuju ke si pembaca buku di sudut pelataran. Ironisnya, membaca buku di tempat umum (malah) cenderung dianggap kuno.
Tak jauh berbeda bila sedang membaca novel di teras rumah. Ada saja hal yang dapat mengusik masa vellichor pembaca buku, entah bunyi pagar yang digeser, knalpot bising, atau sapaan tetangga yang (kadang) nggak perlu-perlu amat.
Niscaya, perokok—yang juga merupakan pembaca buku ulung—membutuhkan tempat paling sakralnya: Ya, perpustakaan umum!
BACA JUGA: DARI ROKOK PINDAH KE VAPE, SAMA SAJA ATAU SEBUAH SOLUSI?
Maka, sebagai upaya awal pembangunan perpustakaan umum khusus perokok, berikut saya jabarkan sejumlah alasannya.
Ketenangan dan kedamaian merupakan kondisi idaman setiap perokok. Dari beberapa pengakuan, nikmat merokok sambil minum kopi berbanding lurus dengan suasana yang sepi. Maka, untuk apa membuat kegaduhan?
Sejatinya, perokok adalah orang yang gampang bergaul dan bukan kepala batu sebagaimana yang dilabeli selama ini. Hanya dengan sebatang rokok, mereka bisa saling berkenalan satu sama lain dan mengakrabkan diri. Suasana perpustakaan pun akan cair.
Lebih jauh, lingkaran perokok adalah lingkaran yang gemar mendiskusikan beragam tema. Bisa soal Perang Dunia I, meningkatnya penggunaan artificial intelligence (AI), atau mengapa Dewa 19 bisa terus laris di belantika musik tanah air. Pokoknya serba bisa!
Fakta bahwa tak sedikit penulis besar merupakan seorang perokok mustahil untuk disangkal. Pramoedya Ananta Toer menghabiskan lebih dari satu bungkus per harinya sambil mengetik. Sastrawan seperti Albert Camus hingga James Joyce juga sering terlihat asyik dengan batang rokok di bibirnya.
Sudah menjadi rahasia umum, bagi industri besar maupun kecil, rokok adalah sebuah pasar yang wajib dilanggengkan. Mengingat jumlahnya yang banyak, para perokok juga bisa membantu para pemilik perpustakaan untuk bersaing. Dilihat dari segi peluang, bisnis ini mampu meraup keuntungan.
Alasan terakhir yang tak kalah penting, perpustakaan umum khusus perokok tidak akan mengganggu para pengunjung non-perokok. Aksi saling hujat dan perdebatan akan hilang dengan sendirinya. Sounds fair enough.
Terlepas dari semua hal di atas, komitmen mesti tetap dipegang. Selain bertanggung jawab atas kesehatan pribadi dan kebersihan lingkungan, perokok harus siap menggantikan buku yang kotor atau rusak akibat tak sengaja terbakar abu.
Saya berharap, semua masyarakat dari berbagai kalangan dapat saling menghargai dan mulai membaca dengan khidmat—kapan pun, di mana pun—demi kehidupan yang lebih baik. Perihal merokok atau tidak, saya kembalikan ke diri masing-masing. (*/)