In Depth

PERPRES JURNALISME BERKUALITAS JADI KUBURAN BAGI PELAKU KONTEN DIGITAL DAN MEDIA INDIE

Banyak yang bilang kalau ‘Perpres Jurnalisme Berkualitas’ bakal membuat banyak pekerja di bidang digital gulung tikar? Tapi, kira-kira gimana pros dan cons-nya, haruskah wacana ini cepat disahkan?

title

FROYONION.COM – Dewan Pers sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengatur kegiatan pers di Indonesia, telah mengajukan draf usulan Perpres Jurnalisme Berkualitas. Rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas kini sedang menjadi buah bibir di masyarakat.

Pelaku Konten Digital dan Media Indie merasa ketar-ketir karena isi dari Perpres Jurnalisme Berkualitas yang telah diajukan ke Presiden Jokowi pada 17 Februari 2023, kenapa begitu? Yuk kita bahas lebih detail.

Perpres Jurnalisme Berkualitas telah diajukan ke Sekretariat Kabinet setelah membicarakan tiga pokok permasalahan. Fokus pembahasan pertama, yaitu kolaborasi bisnis antar perusahaan (Business to Business/B2B). Kedua, menyoal informasi data. Kemudian yang terakhir, membahas soal keterbukaan algoritma pada platform digital.

Lalu apasih alasan pemerintah kayaknya buru-buru banget untuk mengesahkan aturan ini? Hal ini karena ugal-ugalannya kemajuan platform digital di Indonesia dengan kebutuhan untuk mendukung jurnalisme berkualitas.

Pemerintah ingin meminta tanggung jawab dari platform digital, supaya platform digital bisa mengikuti asas-asas kedaulatan, informasi, keberlanjutan, keseimbangan, kesetaraan, manfaat, transparansi, dan non-diskriminasi.

“Misalnya, di Australia, Facebook hanya mendistribusikan berita-berita dari politisi sayap kanan, mereka memblokir berita yang bernuansa politik sayap kiri. Ini menunjukkan bahwa platform digital tidak hanya berfungsi sebagai distributor, tetapi juga mengontrol akses ke informasi,” tutur Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo Usman Kansong dilansir dari Antara.

Intinya sih, peraturan ini bertujuan untuk memfilter berita-berita hoaks di luar sana. Sebenarnya tujuannya pun sangat baik, sebab seperti yang kita tahu bahwa semakin berkembangkan teknologi digital informasi yang didapat oleh masyarakat pun beragam dan terkadang bagi orang tidak bisa memilih dan memilah mereka akan menjadi mangsa berita hoaks di luar sana.

Contohnya aja kayak kemarin nih, berita hoaks pria berinisial S (50) yang babak belur dihajar warga di Desa Sekotong Tengah, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Minggu 16 Juli 2023 lalu karena diduga mencabuli anaknya.

BACA JUGA: PERSEKUSI CALEG DI LOMBOK, SADARKAN NGERINYA HOAKS DAN HABIT CHECK & RICEK SEPENTING ITU

Nah, mungkin informasi misleading kayak gini nih bisa di hempas sama dewan pers, kalau-kalau nanti draf rancangan ini disetujui oleh pemerintah.

Kalau sampai di sini, kelihatannya sih bagus banget ya niatnya, biar produk jurnalistik di Indonesia kualitasnya tetap terjaga. Nggak asal-asalan memberikan informasi atau sampai menyebar berita bohong.

Hanya saja, ide tentang penerapan regulasi terhadap konten digital melalui sistem Perpres Jurnalisme Berkualitas telah memicu debat yang kompleks. Hal ini karena beberapa pihak menganggap bahwa jika draf ini disahkan akan ada banyak kerugian, khususnya sih bagi para content creator kayak kita gini.

Rancangan ini terasa janggal apabila kita melihat Pasal 7 Ayat 1 poin D mengenai kewajiban perusahaan platform digital, “memberitahukan perubahan algoritma atau sistem internal yang mempengaruhi distribusi konten, referral traffic, dan sistem paywalls pada kurun waktu 28 hari sebelum dilakukan perubahan algoritma”.

Jadi maksud dari peraturan ini, Dewan Pers meminta platform digital seperti Google untuk transparan dengan perubahan algoritma pencarian mereka, maksimal 28 hari sebelum update algoritma dirilis.

Mengapa hal ini sedikit membuat kesal para kreator konten? Hal ini karena content creator yang hidup dari platform digital ini terkadang harus membedah algoritma sendiri serta trial dan eror hingga tahu gimana harus mengemas konten mereka agar bisa punya banyak penonton.

Tapi Dewan Pers dengan peraturan ini, ujuk-ujuk malah minta para platform digital untuk membuka algoritma mereka. Kesannya malah Dewan Pers ingin konten mereka bisa menyesuaikan update algoritma lebih dulu dan mengatur segala konten yang beredar di masyarakat.

Apalagi dilansir Froyonion dari Kompas.com dalam upaya mengawasi pelaksanaan Perpres ini, terdapat wacana mengenai pembentukan Komite Independen. Komposisi komite mencakup sebelas individu, dengan lima berasal dari Dewan Pers, lima dari kalangan ahli yang tidak memiliki afiliasi dengan industri media maupun platform media sosial, serta satu perwakilan dari kementerian.

BACA JUGA: SIBERKREASI SURABAYA: BENTUK DUKUNGAN BAGI PARA KREATOR KONTEN KOTA PAHLAWAN

Komite ini akan menjalankan tugasnya selama periode tiga tahun dan bertanggung jawab untuk mengawasi isi konten. Mengatur konten yang perlu diatur, mereka akan melaporkannya kepada Menteri Komunikasi dan Informatika. Menteri tersebut akan menggunakan berbagai alat yang sudah ada, termasuk aspek hukum dan regulasi, serta memiliki wewenang di bidang Kementerian Komunikasi dan Informatika, seperti filtering atau pencegahan penyebaran konten-konten tertentu.

Nah, sampai disini kok jadi berasa ngerinya ya?

GOOGLE UTARAKAN KEKECEWAAN

Google telah mengidentifikasi minimal dua akibat yang mungkin terjadi apabila ketentuan dalam Peraturan Presiden (Perpres) itu diresmikan. Pertama, Perpres tersebut berpotensi membatasi ketersediaan berita dalam lingkungan digital.

Kedua, peraturan ini menimbulkan ancaman terhadap kelangsungan hidup media dan pembuat konten berita. Skema peraturan ini tampaknya hanya akan menguntungkan sejumlah sedikit penerbit berita, sementara pada saat yang sama, menghambat kemampuan Google untuk menghadirkan berbagai informasi dari banyak penerbit berita lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Ini juga dapat merugikan penerbit berita yang lebih kecil dan tergabung dalam Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).

Efek dari peraturan ini adalah berkurangnya kemampuan masyarakat Indonesia untuk memperoleh berbagai pandangan, karena mereka mungkin hanya menemukan informasi yang kurang netral dan kurang relevan di ruang internet.

“Misi Google adalah membuat informasi mudah diakses dan bermanfaat bagi semua orang. Jika disahkan dalam versi sekarang, peraturan berita yang baru ini dapat secara langsung mempengaruhi kemampuan kami untuk menyediakan sumber informasi online yang relevan, kredibel, dan beragam bagi pengguna produk kami di Indonesia.

Kami tidak percaya bahwa rancangan Perpres di atas akan memberikan kerangka kerja yang ajek untuk industri berita yang tangguh dan ekosistem kreator yang subur di Indonesia,” tulis Google dalam press release terbarunya dilansir oleh Froyonion.com, Kamis 17 Agustus 2023.

Dalam masyarakat Indonesia, media dan pencipta berita memiliki peran penting sebagai sumber utama informasi. Walaupun tujuan awal dari peraturan ini adalah mempromosikan industri berita yang sehat, versi terbaru yang diusulkan justru dapat memiliki dampak negatif pada sejumlah penerbit dan pembuat konten berita yang sedang berusaha bertransformasi dan berinovasi.

BACA JUGA: TREN PENGGUNAAN AI DALAM BRANDING DAN PEMBUATAN KONTEN DI MEDIA SOSIAL

Pemberian wewenang baru kepada sebuah lembaga non-pemerintah yang dibentuk oleh dan terdiri dari perwakilan Dewan Pers tampaknya hanya akan menguntungkan sejumlah penerbit berita tertentu dengan membatasi variasi konten yang dapat ditampilkan di platform Google.

Ancaman nyata terjadi terhadap para kreator independen dan penyedia informasi skala kecil yang berisiko terdampak. Kemungkinan perluasan dampaknya bisa saja melibatkan Pasal 7 Ayat 1 Huruf F, yang berbunyi: "Tidak mengindeks dan/atau menampilkan konten/atau menampilkan konten jurnalistik yang merupakan hasil daur ulang dari konten media lain tanpa izin".

Poin ini menuntut izin untuk memberikan kredit pada sumber informasi. Hal ini dapat menguntungkan lebih terutama bagi media besar yang memiliki sumber daya dan kemampuan untuk memenuhi persyaratan izin ini dengan cepat.

Sedangkan kayak misalnya, para content writer seperti kita, atau content creator di YouTube, TikTok, Instagram dan media digital lainnya bakal susah banget dapat izin dari Dewan Pers. Karena kita siapa? Bukan siapa-siapa, kita bukanlah pemilik media berskala besar.

Lalu, timbullah persepsi bahwa informasi hanya dapat dianggap sah jika berasal dari media besar, sedangkan yang berasal dari sumber independen dianggap sebagai hoaks atau informasi yang meragukan.

Konsekuensinya bisa sangat merugikan, dengan potensi mematikan ruang bagi komunitas kreatif dan penyedia informasi independen yang hanya bergantung pada konektivitas internet.

Selain itu, merujuk pada Pasal 7 poin B, "Menghilangkan berita yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pers".

Bisa saja, digunakan oleh elit pemerintahan yang berkepentingan untuk membredel konten-konten yang mungkin tidak sesuai dengan aturan atau karena pemerintah nggak suka saja.

BACA JUGA: MENYIBAK FAKTA PROFESI CONTENT MODERATOR YANG RENTAN KENA GANGGUAN MENTAL

Padahal sebenarnya para platform digital seperti Facebook, YouTube, Instagram, Twitter atau Google dan sebagainya juga punya kebijakan sendiri kok untuk menangani konten-konten semacam itu, ada pengawas tersendiri yang dibayar oleh perusahaan tersebut untuk memeriksa dan memoderasi konten digital yang tidak bagus. 

Mereka biasa menyewa content moderator, yaitu seorang profesional yang bertanggung jawab untuk meninjau, memoderasi, dan mengelola konten yang diunggah pengguna di platform media sosial, situs web, forum, atau platform online lainnya.

MERUJUK KE PERATURAN PERS DI AUSTRALIA

Sempat disinggung oleh Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo Usman Kansong bahwa hal yang sama juga dilakukan di berbagai negara seperti Australia. Namun, usut punya usut terdapat perbedaan dalam penerapan regulasi di Indonesia jika dibandingkan dengan Australia dan Kanada, yang keduanya telah mengadopsi peraturan serupa.

Di samping kesamaan dengan negara-negara seperti Australia, terdapat aspek kunci yang membedakan pendekatan Indonesia dalam mengatur platform digital.

Salah satu perbedaan mencolok adalah cara penanganan terhadap algoritma. Di Australia dan Kanada, pemerintah tidak melakukan campur tangan dalam pengaturan algoritma yang digunakan oleh platform-platform digital.

Pendekatan ini menunjukkan perlunya keseimbangan antara mengawasi konten yang disajikan kepada pengguna dengan menjaga kebebasan dan fleksibilitas algoritma yang mendorong inovasi dan efisiensi di platform-platform tersebut. Di Indonesia, fokus tampaknya lebih cenderung kepada kebutuhan pengawasan dan pengendalian terhadap konten yang ada.

Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saja sudah banyak yang disalahgunakan, terutama dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia internet. 

Saat semua keputusan melewati penilaian Dewan Pers, hal ini dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip sebelumnya, seperti kesetaraan dan keseimbangan. Karena semua keputusan dan kontrol terpusat pada satu entitas, ada risiko bahwa berbagai sudut pandang dan variasi pendapat mungkin tidak mendapatkan representasi yang seimbang dan adil.

Meskipun tujuan yang diinginkan adalah memberikan perlindungan terhadap kualitas dan keberagaman berita serta informasi yang disajikan kepada masyarakat, perlu dicermati bagaimana implementasi regulasi ini akan mempengaruhi ekosistem digital secara keseluruhan. 

BACA JUGA: CUMA MODAL KAYA DAN TERKENAL BISAKAH KITA NYALEG?

Tantangan muncul dalam menemukan keseimbangan yang tepat antara kontrol dan inovasi, serta memastikan bahwa kebebasan berpendapat dan akses informasi tetap terjaga tanpa mengorbankan transparansi dan integritas informasi.

Meski tampak sangat merugikan, apalagi buat pemilik media kecil-kecilan, tapi kita harus tetap berbaik sangka. Sebab ternyata ada beberapa keuntungan yang mungkin bisa dirasakan kalau wacana ini dilakukan.

Pemberantasan Hoaks, seperti yang udah kita bahas sebelumnya, sistem ini dapat menjadi alat untuk menangkal penyebaran hoaks dan informasi palsu yang merugikan masyarakat.

Meningkatkan Kredibilitas, dengan memaksa penerbit konten digital untuk mematuhi standar jurnalisme yang ketat, sistem ini dapat meningkatkan kualitas dan kredibilitas informasi yang disajikan.

Negosiasi Bagi Hasil yang Adil, manfaat selanjutnya mendorong negosiasi bagi hasil yang adil antara platform digital dan penerbit konten, sistem ini dapat memberi insentif kepada para kreator untuk terus menghasilkan konten berkualitas.

Mengontrol Pemberitaan Tertentu, sistem ini dapat membantu mencegah penyebaran berita yang merugikan atau berbahaya, seperti informasi sensitif atau fitnah.

Maka dari itu, sistem ini sebenarnya memiliki potensi baik dan buruk dalam mengatur konten digital. Namun, penting untuk mencari keseimbangan antara regulasi yang memastikan kualitas dan kebenaran informasi tanpa mengorbankan kebebasan berpendapat serta kesetaraan akses.

Dalam merancang regulasi semacam itu, perlu ada partisipasi aktif dari berbagai pihak termasuk penerbit, platform, dan masyarakat luas untuk mencapai solusi yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan di era digital. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Anandita Marwa Aulia

Hanya gadis yang suka menulis