In Depth

MIRACLE IN CELL NO. 7 DAN BAGAIMANA SEHARUSNYA PENYANDANG DISABILITAS DIPERLAKUKAN

Sudah nonton Miracle in Cell No 7? Menurut kalian, apakah seharusnya seorang penyandang disabilitas intelektual wajib dihukum, atau bisa dilepaskan dari segala tuntutan?

title

FROYONION.COM - Ngomongin perfilman Korea Selatan, salah satu judul yang mungkin langsung terlintas di kepala adalah Miracle in Cell No 7. Nggak hanya karena film yang dibintangi Ryu Seung Ryong ini menjadi film terlaris di 2013 dan mengumpulkan 52 juta penonton dalam kurun waktu 52 hari saja.  

Tapi juga karena banyaknya negara yang membuat versi remakenya, termasuk Indonesia. Bahkan, Indonesia tercatat sebagai negara ketujuh yang me-remake film ini. Sebelumnya ada Turki, Filipina, Arab Saudi, Spanyol, India dan Kanada yang membuat versi mereka.  

Film ini sendiri menceritakan seorang ayah penyandang disabilitas yang berjuang untuk bertemu kembali dengan putri semata wayangnya dari balik jeruji besi. Selain kisahnya yang mengharukan, ada satu pertanyaan yang mungkin terbersit di benak kita.  

Sebenarnya gimana sih seharusnya penyandang disabilitas intelektual diperlakukan di depan hukum? Apakah mereka tetap harus diadili layaknya orang normal atau bisa lepas dari tuntutan? 

BACA JUGA:

DRAKOR TOMORROW AJAK MASYARAKAT BANTU ORANG-ORANG YANG ALAMI MASALAH MENTAL 

ALASAN PEMBENAR DAN ALASAN PEMAAF 

Ilmu hukum pidana di Indonesia sendiri mengenal adanya dua alasan penghapus pertanggungjawaban atas tindak pidana. Pertama ada alasan pembenar, dan kedua ada alasan pemaaf. 

Pertama, alasan pembenar diartikan sebagai alasan yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari tindakan pidana. Alasan ini akan melihat secara objektif sisi perbuatannya. 

Alasan pembenar terdapat dalam KUHP Pasal 48 tentang keadaan darurat, Pasal 49 ayat 1 tentang pembelaan terpaksa, Pasal 50 tentang peraturan perundang-undangan serta Pasal 51 ayat 1 tentang perintah jabatan. 

Kedua, ada alasan pemaaf yang artinya penghapusan kesalahan seorang pelaku tindak pidana, walaupun memang benar perbuatannya tetap dinilai melawan hukum. 

Alasan pemaaf ini bisa ditemukan dalam KUHP pasal 44 tentang ketidakmampuan untuk bertanggungjawab, Pasal 49 ayat 2 tentang bela paksa serta Pasal 51 ayat 2 tentang itikad baik dengan melaksanakan perintah jabatan yang dinilai tidak sah. 

Nah, Pasal 44 KUHP inilah yang mengatur alasan pemaaf secara spesifik yaitu ketidakmampuan untuk bertanggungjawab, sebagaimana tertuang dalam ayat 1 dan 2. 

Ayat 1: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya yang cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit-penyakit tidak dipidana”.

Ayat 2: “Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan”. 

Berdasarkan uraian Pasal 44 ayat 1 dan 2, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa seseorang yang nggak mampu memahami nilai perubahan, nilai resiko dari perbuatannya, nggak menyadari kemauannya dan nggak mampu mengarahkan kemauannya, maka individu tersebut nggak dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. 

Guna menentukan apakah seseorang terganggu jiwanya, diperlukan seorang ahli psikiatri untuk diminta kesaksiannya. Keterangan dari ahli psikiatri di persidangan ini berupa lisan serta surat yang disebut Visum et Repertum Psychiarticum (VeRP). Keduanya akan diperlukan sebagai bukti terkait kondisi jiwa dari si terdakwa serta kemampuannya dalam bertanggungjawab. 

Pembuatan VeRP sendiri adalah upaya untuk memberi bantuan petugas hukum guna menentukan ada atau enggaknya gangguan jiwa serta ada atau enggaknya hubungan gangguan jiwa itu dengan perilaku yang berujung pada peristiwa hukum. Kemampuan tanggung jawab juga akan turut diperiksa. 

VeRP ini dibuat atas dasar dari permintaan. Pemohon VeRP dapat berasal dari penyidik, hakim pengadilan, penuntut hukum, terdakwa atau tersangka, korban hingga pihak penasehat hukum. 

Kasus hukum yang mayoritas dimintakan VeRP ialah kasus pidana. Akan tetapi, ada juga beberapa kasus hukum perdata yang butuh VeRP, di antaranya adalah penganiayaan, penyalahgunaan narkotika, cerai talak hingga penodaan agama. 

Dalam contoh kasus di atas, termohon atau terdakwa nggak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana karena perbuatannya akibat dari gangguan jiwa berat yang diderita. Hakim akan memerintahkan JPU untuk melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. 

Walau demikian, ternyata nggak semua gangguan kejiwaan bisa membuat pelaku lolos dari hukum. Diagnosis kejiwaan pelaku harus dipastikan seakurat mungkin. 

Harus dicek juga sejak kapan gangguan kejiwaan itu mulai diderita. Jika gangguan jiwa baru muncul setelah aksi kejahatan dilakukan, maka seharusnya tetap ada pertanggungjawaban atas aksinya tersebut. 

Orang yang memiliki gangguan skizofrenia juga dikatakan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam melakukan kekerasan dibanding populasi umum. 

Ada dua hal yang harus jadi perhatian, yaitu pelaku bukanlah orang skizofrenia yang dikondisikan untuk menyerang dan polisi harus mencari tahu sosok yang bertanggungjawab menjaga orang dengan gangguan skizofrenia. 

BACA JUGA: MENGENAL ‘COPING MECHANISM’ UNTUK MEMBANTU KESEHATAN MENTAL

CONTOH KASUS POPULER 

Di Indonesia, ada beberapa kasus kriminal yang berakhir dengan tidak adanya hukuman penjara berdasarkan alasan kejiwaan. Akan tetapi, contoh kasus yang jauh lebih menggemparkan berasal dari Amerika Serikat. 

Di Amerika dikenal istilah “not guilty by the reason of insanity”. Artinyapembelaan seorang terdakwa yang mengakui perbuatannya, namun menyatakan mereka memiliki gangguan jiwa saat melakukan kejahatan dan nggak memiliki kemampuan mental untuk bermaksud melakukan kejahatan. Permohonan ini akan mengharuskan pengadilan melakukan persidangan atas masalah kegilaan saja. 

Salah satunya yang cukup bikin geger adalah kasus Ed Gein pada 1957. The Butcher of Plainfield, demikian julukan yang diberikan untuk Gein. Ia mengakui telah melakukan penghilangan nyawa dan pencurian mayat di makam sekitar tempat tinggalnya, kemudian membuat souvenir dari kulit, tulang dan tubuh mayat-mayat yang dicurinya. 

Apa yang dilakukan Gein bahkan telah menginspirasi karakter Leatherface dalam film Texas Chainsaw Massacre. Namun, aksi brutalnya ini nggak mengirim Gein ke penjara melainkan rumah sakit jiwa karena ia dinyatakan nggak waras oleh pengadilan. 

Kasus lain yang cukup menarik perhatian adalah Billy Milligan, seorang pria yang melakukan tindak perampokan dan pemerkosaan pada beberapa mahasiswi Ohio State University pada akhir tahun 1970an. Semua yang dilakukannya nggak diganjar penjara setelah ditemukan adanya 24 kepribadian dalam diri Milligan. 

Pengadilan Milligan disiarkan secara luas dan ia menjadi orang pertama yang mengajukan pembelaan atas dasar gangguan kepribadian ganda. Kisahnya dapat disaksikan dalam dokumenter Netflix Monsters Inside: The 24 Faces of Billy Milligan

Bisa diambil kesimpulan bahwa orang dengan disabilitas intelektual seperti karakter Dodo dalam Miracle in Cell No 7 bisa dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Namun, kebebasan ini harus disertai keterangan dari ahli psikiatri berdasarkan hasil pemeriksaan secara menyeluruh. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Wahyu Tri Utami

Sometimes I write, most of the time I read