In Depth

MESKI PUNYA KEPEDULIAN TINGGI TERHADAP ISU-ISU KEKINIAN, GEN Z JUSTRU RENTAN GOLPUT?

Gen Z adalah generasi yang punya kepedulian tinggi terhadap isu-isu kekinian. Namun benarkah pemilu 2024 tidak menarik bagi golongan pemilih muda ini?

title

FROYONION.COM - Salah satu film garapan David Fincher berjudul Se7en ditutup lewat sebuah monolog dari karakternya bernama detektif Somerset yang mengatakan, "Hemingway once wrote, 'The world’s a fine place and worth fighting for.' I agree with the second part."

Secara tak langsung, ungkapan itu menyindir soal kondisi dunia yang sedang tidak baik-baik saja, penuh dengan keputusasaan, dan nyaris sulit diselamatkan bahkan sekadar diperbaiki. Gambaran dunia yang muram inilah yang agaknya ada dalam kepala sebagian besar anak muda Gen Z dan menjadi sumber stres pada mereka.

Generasi paling muda ini memang menghadapi beragam isu yang sangat serius. Mulai dari kerusakan lingkungan yang ikut menyumbang menipisnya bahan pangan, maraknya pelecehan seksual, hingga berkurangnya ketersediaan lapangan kerja. Mereka dapat mengakses semua sumber stress tersebut lewat gawai di genggaman mereka. Tiap harinya, media membagikan berita-berita buruk tersebut karena bagaimanapun berita buruk selalu lebih menjual.

Gen Z adalah istilah yang digunakan untuk menyebut mereka yang lahir di tahun 1997 hingga 2012. Mereka lahir dan tumbuh ketika teknologi digital berkembang secara masif tanpa bisa dibendung lajunya. Karena kemajuan teknologi digital, generasi ini dibanjiri dengan informasi tanpa benar-benar tahu mana informasi yang berguna bagi mereka.

Anak-anak muda Gen Z juga disebut sebagai generasi yang paling aware dengan isu kesehatan mental juga isu-isu kekinian lainnya seperti kerusakan lingkungan dan pelecehan seksual misalnya. Namun, meski punya kepedulian terhadap isu-isu kekinian, Gen Z tak melihat berpartisipasi dalam pemilu sebagai sebuah solusi. Mereka tidak melihat terpilihnya pemimpin yang baru akan membawa perubahan baik bahkan bisa jadi malah memperburuknya. Tak heran jika kebanyakan Gen Z memilih untuk golput atau netral saat pemilu mendatang.

DOMINASI GEN Z DAN MILENIAL DI PEMILU 2024

Pada pemilu tahun 2024 mendatang, sebagian besar Gen Z sudah memiliki hak untuk memberikan suaranya demi menentukan presiden yang baru. Bahkan bisa dibilang, pemilu mendatang akan didominasi pemilih muda dari kalangan Gen Z dan Millennial.

Mengutip laporan dari Centre for Strategic & International Studies (CSIS) yang terbit pada September 2022 lalu, diperkirakan bahwa jumlah pemilih muda di rentang usia tahun 17 hingga 39 tahun pada pemilu mendatang akan mencapai nyaris 60% dari total penduduk pemilik hak suara.

Perhitungan ini diambil berdasarkan catatan Sensus Penduduk tahun 2020 milik Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut bahwa total jumlah pemilih pada pemilu 2019 lalu mencapai 190 juta jiwa. Melalui laporan ini, CSIS menilai jumlah pemilih muda di pemilu 2024 mendatang akan meningkat hingga kisaran 58% dari total keseluruhan pemilik hak suara yang jumlahnya akan mencapai 193 juta orang.

Itu artinya Gen Z dan Milenial akan sangat menentukan hasil pemilu 2024. Sebab suara terbanyak berasal dari dua golongan generasi ini. Namun melihat iklim perpolitikan Indonesia belakangan ini, potensi golput dari para pemilih muda dikhawatirkan bakal meningkat.

BACA JUGA: JELANG PEMILU 2024, INI TIPS BUAT ANAK MUDA YANG BAKAL MENCOBLOS PERTAMA KALI

PESTA DEMOKRASI TAK LAGI MENARIK BAGI GEN Z?

Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang akan mengadakan pesta demokrasi pada tahun 2024 mendatang. Amerika Serikat juga akan menggelar pemilihan presiden pada tahun tersebut.

Sama halnya di Indonesia, Gen Z dan Milenial bakal mendominasi pada pemilu 2024 di Amerika Serikat. Kekhawatiran yang mereka hadapi pun serupa, yaitu menurunnya tingkat partisipasi dua golongan ini dalam memberikan hak suara alias golput. Terlebih lagi banyak anak muda di Amerika cukup skeptis dengan masa depan bangsa.

Hal ini juga dipicu dengan tak terjawabnya isu-isu kekinian yang menjadi perhatian bagi Gen Z dan Millennial. Sebagaimana kita tahu, Gen Z dan Milenial banyak berbagi isu yang sama dan cenderung punya pandangan politik yang serupa. Misalnya, soal tingkat inflasi yang tinggi, lapangan kerja yang berkurang, harga pangan dan bahan bakar yang naik, hingga rasisme.

Sikap skeptis bisa saja muncul pada dua golongan generasi ini jika yang bakal mencalonkan diri menjadi presiden adalah para boomers keras kepala yang gagal membaca kebutuhan para generasi muda ini. Hal ini sudah terbukti misalnya saat Trumph gagal terpilih lagi di pemilu 2020 lalu dan dikalahkan oleh kompetitornya Biden dari partai Demokrat.

Kunci kemenangan dari partai Demokrat ini tak lain karena mereka mau mendengar keresahan para anak muda ini. Sikap Trump yang dianggap keras kepala dan buruk, utamanya dalam menangani masalah pandemi, juga menjadi alasan kekalahan partai Republik dari partai Demokrat.

Namun Amerika Serikat agaknya perlu bisa sedikit lega mengingat partisipasi pemilu dari para pemilih muda ini meningkat. Hal ini dipicu dari kesadaran pihak Gen Z dan Milenial bahwa mereka punya kekuatan dalam menentukan siapa pemenang pemilu ke depannya. Itu artinya, partai yang mampu merangkul keresahan para pemilih muda ini dipastikan bisa mendapatkan suara terbanyak.

BACA JUGA: PEMULA DALAM PEMILU? PILIH PILAH PILIHANMU!

Tak hanya itu, media dalam berkampanye juga memegang peranan penting dalam meraih sebanyak-banyaknya suara. Mengutip dari circle.tufts.edu disebutkan bahwa pendapat keluarga dan kerabat masih menjadi pertimbangan utama bagi para pemilih muda Amerika Serikat dalam mencoblos. Namun yang tak bisa diabaikan adalah bahwa para pemilih muda ini juga mendapatkan referensi dari media sosial kekinian seperti TikTok, Twitter, dan Instagram. Tak heran jika banyak politisi menggunakan media sosial untuk menyuarakan pandangan politik mereka demi menggaet suara pemilih muda ini.

Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Mengutip hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan kepada 1.202 narasumber di awal tahun ini, disebutkan bahwa tingkat golput pada Gen Z dengan rentang usia antara 17 hingga 26 tahun relatif rendah. Itu artinya, kebanyakan para pemilih muda Gen Z dikatakan akan menggunakan hak suara mereka di pemilu nantinya.

Meski begitu, kekhawatiran atas tingginya tingkat golput dari kalangan pemilih muda ini juga perlu diperhatikan pada pemilu 2024 mendatang. Pasalnya pada pemilu 2019 lalu, masalah teknis seperti pemegang hak suara tidak dapat mencoblos karena berada di luar daerah Daftar Pemilih Tetap masih menjadi faktor utama kenapa pemilih muda ini memutuskan untuk golput.

Namun selain itu ada faktor lainnya yang juga dapat memicu tingginya golput dari kalangan pemilih muda ini. Yakni, mereka tidak percaya bahwa pemilu dapat membawa perubahan dan perbaikan pada masalah bangsa ini. Juga mereka memutuskan untuk golput karena kebanyakan visi dan misi yang diusung para capres dan cawapres berseberangan dengan pandangan politik mereka.

Melihat hal ini, para kandidat yang bakal mencalonkan diri sebagai presiden Indonesia di pemilu 2024 nantinya, perlu membaca pandangan politik yang dimiliki golongan pemilih muda. Politik identitas yang kerap menciptakan kubu-kubu tertentu, jelas bukanlah daya tarik bagi Gen Z yang terang-terangan menolak isu rasisme.

Oleh karenanya, para kandidat sangat perlu memiliki visi dan misi yang lebih related dengan ideologi dari kalangan pemilih muda ini. Mengingat suara terbanyak nantinya bersumber dari kalangan Gen Z dan Millennial. Dan agaknya, hal ini dapat dimulai dengan mulai mengurangi kampanye dengan memasang banyak baliho di pinggir jalan. Cara-cara lama sudah selayaknya mulai ditinggalkan, karena perubahan tak dapat dihadapi dengan cara-cara usang seperti itu. (*/) (Photo credit: Cottonbro Studio)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan