In Depth

MENGULIK OMONG KOSONG LOVE LANGUAGE, TAPI KOK BANYAK YANG PERCAYA?

Kalian pasti pernah mencoba tes love language. Namun, peneliti bilang bahwa penerapan love language dalam hubungan adalah hal yang sia-sia. Kok bisa? Yuk kita kulik lebih dalam!

title

FROYONION.COM – Pernahkah kamu mendengar tentang konsep “Love Language”? Teori ini dipercaya sebagai bentuk penggambaran cara orang menyatakan dan menerima cinta.

Orang yang memperkenalkan istilah ini adalah Dr. Gary Chapman, penulis buku “Five Love Language dari Amerika, memperkenalkan konsep Love Language sebagai cara untuk menyampaikan rasa cinta dalam berbagai jenis hubungan, tidak hanya yang romantis. 

Pentingnya Love Language adalah untuk memastikan seseorang merasa dicintai dengan baik, karena itu berlaku dalam segala aspek hubungan.

Love Language sendiri dikategorikan sebagai ke beberapa poin, yaitu, Words of Affirmation (kata-kata penguatan), Acts of Service (tindakan pelayanan), Receiving Gifts (pemberian hadiah), Quality Time (waktu berkualitas) dan Physical Touch (sentuhan fisik).

Chapman mengatakan bahwa untuk membuat seseorang merasa dicintai, Anda harus “berbicara” kepadanya dalam bahasa utama mereka. Jadi misalnya, Dio memiliki Love Language Receiving Gifts, maka yang harus dilakukan oleh pasangan Gio harus memberikan Love Language tersebut ke Gio sebagai bentuk ungkapan cintanya ke Gio.

DIPERTANYAKAN KEILMIAHANNYA TAPI BANYAK YANG PERCAYA

Dibalik popularitasnya, belakangan ini muncul kritik bahwa love language yang menyatakan bahwa konsep ini mungkin tidak seefektif yang digambarkan dan bahkan dapat memiliki dampak negatif pada hubungan.

Yuk kita bahas dan telaah lebih lanjut…

Bulan lalu muncul penelitian mengejutkan dari Emily A. Impett, Haeyoung Gideon Park dan Amy Muise dalam jurnal yang mereka terbitkan dalam jurnal Current Directions in Psychological Science

Literatur ilmiah ini mencoba menggali lebih jauh tentang asumsi Love Language pada dasar tidak didukung oleh bukti empiris.

BACA JUGA: MENGENAL TANDA TOXIC SELF-LOVE, AKIBAT MENCINTAI DIRI SENDIRI SECARA BERLEBIHAN

“Saya merasa akademisi belum menanggapi hal ini dengan serius,” kata Emily Impett, seorang psikolog dan direktur Laboratorium Hubungan dan Kesejahteraan di Universitas Toronto yang merupakan salah satu penulis jurnal tersebut.

Sementara itu, menanggapi tinjauan ilmiah baru ini, Chapman mengatakan bahwa kesuksesan bukunya sudah membuktikan sendiri.

“Saya pikir fakta bahwa begitu banyak jutaan orang telah membaca buku ini, begitu banyak orang yang merasa manfaatnya dalam hubungan mereka, membuat saya yakin bahwa buku ini dapat memiliki dampak positif yang besar pada pernikahan,” kata Chapman.

Penelitian yang dilakukan oleh Emily Impett dan rekan-rekan telah menyoroti beberapa kekeliruan dalam konsep Love Language. Setidaknya ada tiga poin yang disoroti oleh Emily Impett dkk.

1. SETIAP ORANG NYATANYA GAK MESTI PUNYA LOVE LANGUAGE UTAMA

Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa saat ditanya oleh peneliti untuk menilai Love Language pada skala kontinu 5 poin, orang cenderung memberi penilaian yang sangat tinggi pada kelima Love Language tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan orang terhubung dengan sebagian besar atau seluruh kelima Love Language tersebut.

2. TAK MENUTUP KEMUNGKINAN HANYA ADA 5 LOVE LANGUAGE SAJA, BISA LEBIH

Penelitian ini juga menemukan bahwa orang cenderung tidak mau membatasi diri pada satu Love Language utama. Ketika diminta untuk menilai pentingnya setiap Love Language, orang cenderung memberikan penilaian yang tinggi untuk semua kategori. 

Ini menunjukkan bahwa kebanyakan orang merasa terhubung dengan beberapa atau semua jenis ekspresi cinta yang dijelaskan dalam konsep Love Language.

Pakar hubungan ada banyak perilaku penting yang tidak ada dalam buku Chapman.

“Ada ratusan cara untuk menunjukkan cinta. Mulai dari sikap baik dengan ibu mertua, sampai tepat waktu saat nonton opera, atau sekedar membuat rencana bersama, belajar bersama-sama, atau mungkin mencoba hal baru. Tak hanya sekadar habisin waktu bersama,” Helen Fisher, ahli antropologi di Kinsey Institute dan penulis Anatomy of Love.

3. BERBAGI LOVE LANGUAGE YANG SAMA MUNGKIN TIDAK MEMPERBAIKI HUBUNGAN ANDA

Meskipun diasumsikan bahwa berbagi Love Language yang sama dengan pasangan adalah kunci keberhasilan hubungan, penelitian menunjukkan bahwa pasangan dengan Love Language utama yang cocok tidak merasa ada rasa kepuasan hubungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan dengan Love Language yang berbeda.

John Gottman, salah satu pionir penelitian hubungan ilmiah, juga skeptis bahwa mempelajari Love Language pasangan adalah kunci kebahagiaan suatu hubungan.

“Kesimpulan umum saya adalah bahwa dimensi-dimensi ini secara konseptual tidak terlalu berbeda, juga tidak terlalu penting dalam kaitannya dengan variasi dalam kebahagiaan perkawinan dan kepuasan seksual,” kata Gottman dikutip dari Washington Post, seorang psikolog dan salah satu pendiri Gottman bersama istrinya Julie Gottman. Institut di Seattle.

Ini menunjukkan bahwa, meskipun konsep Love Language dapat berguna untuk membuka komunikasi, tidak ada jaminan bahwa pasangan dengan Love Language yang cocok akan memiliki hubungan yang lebih bahagia.

Artinya, daripada menetapkan kategori tertentu untuk menyatakan cinta, penting untuk memahami bahwa setiap individu mungkin memiliki cara yang unik untuk melakukannya.

Sekarang ini, love language tampaknya menjadi pijakan bagi anak-anak muda jaman sekarang untuk mengetahui kecocokan mereka sebelum menjalin sebuah hubungan dengan seseorang.

BACA JUGA: FORBIDDEN LOVE DAN POST-APOCALYPTIC DALAM SUZUME NO TOJIMARI

Misalnya, jika satu pasangan menyukai sentuhan fisik, sementara yang lain tidak, atau jika satu pasangan menghargai pujian, sementara yang lain tidak. Jika ada dua atau satu saja ketidakcocokan Love Language satu sama lain, bisa jadi keduanya memutuskan untuk berpisah.

Meski begitu, minat orang dalam mengenali love language mereka sendiri dan orang lain tetap tinggi.

Padahal, model love language berakar dari pengamatan daripada penelitian yang mendalam. Sedikitnya bukti ilmiah yang tersedia menunjukkan preferensi umum terhadap lima cara ini atau dampaknya pada hubungan belum teruji secara menyeluruh. 

Bahkan, "kuis" yang digunakan untuk menentukan love language kurang dapat diandalkan sebagai tes ilmiah yang valid.

Lantas pertanyaannya mengapa sejauh ini banyak orang percaya soal teori Love Language ini?

Mungkin jawabannya adalah Love Language memiliki kerangka kerja yang mudah dipahami untuk memahami dan mengartikan ekspresi cinta dalam hubungan.

Konsep ini menyediakan bahasa yang dapat digunakan oleh individu untuk berkomunikasi dengan pasangan mereka tentang kebutuhan emosional mereka dengan cara yang konkret dan spesifik.

Selain itu, popularitas buku dan sumber lain yang membahas love language telah memperkuat keyakinan masyarakat akan keefektifannya, meskipun kurangnya dukungan ilmiah yang kuat.

Menyadur dari Washington Post, buku Chapman berjudul “The 5 Love Languages” telah mendapatkan popularitas luar biasa sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1992,1 telah terjual lebih dari 20 juta eksemplar di seluruh dunia dan telah diterjemahkan ke dalam 50 bahasa. 

Love Language juga telah diterapkan dalam konseling hubungan dan inisiatif pemerintah, seperti program pendidikan hubungan dan konseling senilai $20 juta yang disubsidi oleh pemerintah Australia.

PERCAYA LOVE LANGUAGE ADALAH HAL YANG SIA-SIA

Dari ketiga poin tersebut para peneliti setuju bahwa mencoba memasukkan cara orang mencintai ke dalam kategori yang sudah ada merupakan hal yang tidak ada gunanya sama sekali, bisa dibilang hanya sia-sia saja.

Mereka menekankan bahwa pemahaman yang lebih komprehensif tentang cara orang mengomunikasikan cinta membutuhkan pendekatan yang lebih dari itu.

Kritik terhadap Love Language juga menyoroti beberapa kekhawatiran tentang implikasinya dalam hubungan yang sulit atau bahkan berbahaya.

Misalnya, dalam buku Chapman, ada contoh seorang wanita yang dianjurkan untuk lebih sering melakukan hubungan s*ks dengan suaminya, meskipun dia merasa “dimanfaatkan daripada dicintai.” Hal ini disebut sebagai tanda cinta dan rasa menghormati sang suami.

Kritikus menyatakan bahwa nasihat seperti ini dapat mendorong pasangan yang tidak bahagia untuk mengabaikan kebutuhan mereka sendiri dan memprioritaskan kebutuhan pasangan, bahkan dalam situasi yang tidak sehat.

BACA JUGA: LOVE BOMBING: BENTUK MANIPULASI BERBAHAYA YANG SULIT DIKENALI

Sementara itu, dikutip dari Big Think, Chapman menegaskan bahwa ia tidak pernah bersikap dogmatis tentang hanya ada lima Love Language. 

Namun, lima kategori ini menurutnya merupakan cara yang paling efektif untuk mengelompokkan berbagai ekspresi cinta yang dapat ditunjukkan oleh individu

Meskipun selama bertahun-tahun dia menerima saran mengenai Love Language tambahan, semua saran tersebut selalu dapat disatukan dalam salah satu dari lima bahasa tersebut.

Terakhir, Chapman menekankan bahwa ia tidak pernah menyatakan bahwa respons terhadap bahasa yang sama akan menghasilkan hubungan yang lebih kuat. Menurutnya, intinya adalah mengekspresikan cinta kepada pasangan dengan cara yang paling bermakna bagi mereka.

Nah, gimana nih kira-kira kamu masih konsisten nggak nih untuk mencari pasangan sesuai love language?

Tapi yang jelas komunikasi yang jujur, sabar, dan jelas sangat penting dalam hubungan jangka panjang dan penuh kasih. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Anandita Marwa Aulia

Hanya gadis yang suka menulis