In Depth

MEMBEDAH TREN RAGE-APPLYING DI KALANGAN GEN Z, AKIBAT BANJIR INFORMASI ATAU HASRAT SESAAT?

Kamu tipe orang yang suka agresif kirim lamaran kerja meski masih kerja atau gimana Civs?

title

FROYONION.COM - Beberapa waktu terakhir ini mungkin masalah kehidupan kerja alias work life jadi salah satu hal yang banyak dibahas di sosial media oleh banyak influencer, ya. Isu-isu tentang ketenagakerjaan di seputaran anak muda ini memang sangat kental dan bisa dibilang sebagai salah satu never ending story yang nggak ada habisnya. 

Salah satu pembahasan yang menurut gue menarik dari sosmed adalah tentang gimana anak muda sekarang ini bisa dengan mudahnya cabut atau pergi dari sebuah perusahaan tempat dia bekerja. Tentunya dengan ancang-ancang persiapan yang matang (cari kerja sembari bekerja). 

Loh? Gimana tuh maksudnya? Fenomena ini mungkin sering disebut sebagai rage-applying. Di TikTok mungkin lo sering dengar tentang keluhan-keluhan budak korporat yang merasa nggak dihargai di kantor karena berbagai hal. Bisa mungkin gegara gaji yang nggak kunjung naik, kerjaan yang menumpuk, hingga kurangnya apresiasi dari kantor yang bisa berupa kenaikan pangkat atau jabatan dan posisi. 

Nah, keluhan-keluhan itu kemudian berkembang seolah jadi tren karir baru bagi kalangan Gen Z. Kalau lo ngerasa kantor nggak adil, seolah-olah rage-applying bisa jadi jawaban. Buat lo yang belum tahu, cara ini lazim dilakukan dengan mengirimkan banyak lamaran ke perusahaan lain secara agresif dengan tujuan untuk mendapat pekerjaan baru. 

BACA JUGA: KERJA SEWAJARNYA AJA, JANGAN SAMPAI JADI 'TOXIC PRODUCTIVITY'

Survei yang dilakukan sama platform tenaga kerja Lattice sebenarnya sudah melihat tren ini sejak 2022 lalu. Melalui penelitian yang mereka buat, dilaporkan kalau hal tersebut ternyata nggak cuma terjadi di satu negara (Inggris sebutkanlah) tapi sudah menjadi fenomena global. Artinya, hal serupa juga dilaporkan oleh biro tenaga kerja dari Eropa, Asia ataupun Amerika. 

Secara statistik, studi Lattice ini menemukan kalau 66% Gen Z di Amerika Serikat dan 69% di Inggris secara aktif mencari pekerjaan baru. Justru hal ini berkebalikan dari generasi boomer, sebanyak 55% yang mereka tidak secara aktif mencari atau terbuka untuk pekerjaan baru. 

Hal yang menjadi populer adalah, setelah dua tahun bekerja dari jarak jauh (akibat pandemi) banyak para pekerja kini yang menjadi lebih luwes dalam mencari kerja. Begini, mereka sebagai tenaga profesional cenderung lebih tertarik untuk bergabung dengan perusahaan yang menawarkan fleksibilitas dan work life balance sehingga selalu mencari yang terbaik meski sudah memiliki pekerjaan.

Simpelnya gini, lo bakal terus ngeliat kalau rumput tetangga itu lebih hijau. Kalau dipikir sebenarnya, bakal ada banyak hal yang bisa jadi alasan buat lo cabut dari kantor lo sekarang ini. 

Tapi memang itu cuma salah satu indikator yang dicatat oleh Lattice dalam survei mereka. Belum tentu hal tersebut menjadi pendorong utama dibalik fenomena yang terjadi. 

BACA JUGA: JANGAN CUMA KERJA KERAS, MARI MULAI BEKERJA LEBIH CERDAS TAHUN INI

GIMANA PSIKOLOGI MELIHAT FENOMENA RAGE-APPLYING

Bisa dibilang sebenarnya kalau fenomena ini muncul karena ada keresahan yang timbul diantara kalangan anak-anak muda sekarang ini. Tapi, mungkin ada pengaruhnya juga dengan kondisi psikologi di generasi sekarang ini yang bisa diakibatkan oleh banyak faktor kemajuan dunia. 

Buat dapat jawabannya, gue pun coba ngobrol dengan psikolog klinis dan forensik, Kasandra Putranto tentang apa yang terjadi dibalik fenomena ini. Menurut doi, isu ini bisa diidentifikasi dengan teori planned behavior dalam dunia psikologi. 

Asumsi dasar dari teori ini mengatakan kalau manusia berperilaku secara sadar dengan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Artinya banjir informasi dan kemudahan mencari informasi di kalangan masyarakat itu sangat berpengaruh terhadap setiap perilaku yang secara sadar diambil oleh setiap individu.

Gue pun membuka tulisan ini dengan ngungkapin soal fenomena yang ramai di sosial media tentang rage-applying itu sendiri. Makin viral fenomena itu dibahas, maka setiap orang akan punya sudut pandang baru tentang kerjaan yang sedang mereka lakoni. Nggak jarang juga akhirnya mereka tahu soal rage-applying dan ter-influence oleh sudut pandang tersebut untuk melakukannya (padahal mungkin selama ini nggak ada pikiran buat pindah kantor). 

“Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan dengan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia,” kata Kasandra saat berbincang, Jumat (3/6). 

Hal apa saja yang memengaruhi terbentuknya perilaku itu? Setidaknya ada tiga faktor yang disebutkan doi, nih! 

Pertama, rasa tidak puas dan segala perasaan negatif yang timbul selama bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini nantinya menjadi salah satu latar belakang paling kuat dari pengambilan sikap seseorang buat melakukan rage-applying. 

Kedua, faktor norma subjektif yang muncul secara lalu lalang di sosial media tentang bagaimana rage-applying itu bekerja dalam hidup mereka. Perlu jadi catatan nih, kalau testimoni yang tersebar di media sosial itu adalah hal subjektif yang dibuat oleh content creator itu sendiri. Jadinya, cara tersebut belum tentu juga match dengan kondisi yang lo hadapi sekarang ini. 

Bisa diingat kalau tren untuk melamar pekerjaan secara masif ini sedang populer di sosial media, artinya dorongan informasi akan hal tersebut juga terjadi secara membabi buta. Artinya filterisasi perlu banget lo lakukan nih supaya nggak salah ambil jalan. 

Terakhir, aksesibilitas bagi seorang karyawan melakukan rage-applying makin mudah dewasa ini. Banyak kanal-kanal daring yang kini bisa digunakan buat melamar kerja. Beda cerita mungkin dengan 10 atau 20 tahun yang lalu, lo harus bekerja ekstra keras buat ngirim lamaran kerja ke perusahaan-perusahaan secara langsung. 

Mobilitas dari sana ke sini diperlukan dulu sehingga orang nggak akan bisa dengan mudah mengirim lamaran kerja dengan cepat dalam satu waktu. Mungkin mereka harus mempersiapkan waktu satu hari sendiri buat kirim 3-5 surat lamaran secara langsung ke kantor perusahaan yang dituju. 

Jadi sebenarnya, fenomena ini nggak berlaku buat Gen Z ataupun millennial doang sih. Kalau dibedah dari latar belakang munculnya hal ini medium penyebaran informasi yang begitu masif jadi salah satu faktor pendorongnya. Oleh sebab itu, generasi yang lebih tua pun bisa juga jadi bagian dari fenomena ini.

BACA JUGA: 5 KEBIASAAN BURUK YANG PERLU DITINGGAL DI DUNIA KERJA 2023

Meskipun, kalau kata Kasandra, orang-orang yang lebih mapan secara umur biasanya berpikir lebih matang sebelum mengambil keputusan untuk meninggalkan suatu pekerjaan. 

"Pada dasarnya (rage-applying) dipengaruhi kecerdasan intelektual, emosi dan sosial. Apalagi situasi ekonomi dan kemudahan teknologi mendorong perkembangan informasi yang tersedia jadi makin banyak," tandas dia.

Menurut lo gimana Civs? Apakah tren rage-applying ini juga jadi salah satu career path yang lo rancang atau sebenarnya hal ini jadi tindakan impulsif yang bisa diambil kapan saja? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Michael Josua

Cuma mantan wartawan yang sekarang hijrah jadi pekerja kantoran, suka motret sama nulis. Udah itu aja, sih!