Pernahkah kalian memiliki teman yang awalnya easy going dan mudah diajak nongkrong, begitu jadi maba berubah 180 derajat menjadi sibuk seakan tak ada waktu?
FROYONION.COM – Ketika menjadi mahasiswa baru tentu memiliki perasaan yang campur aduk. Karena itulah ketika pertama kali menjadi seorang mahasiswa akan memiliki memori yang membekas.
Saat-saat mulai meninggalkan rumah pertama kali, merantau, mencari gebetan baru dan sebagainya. Tentu akan memunculkan berbagai kisah klasik yang lumrah terjadi.
Tapi ada satu “penyakit” yang paling sering terjadi ketika seseorang memulai hidupnya menjadi mahasiswa baru. Yaitu, Sindrom Maba/Maba Syndrome. Maba sindrom adalah sebuah culture shock yang terjadi pada hampir semua orang yang baru menjadi mahasiswa.
Culture Shock ini memiliki berbagai ciri yang biasanya selalu hadir pada hampir semua maba.
Ciri pertama yang paling mudah dilihat ketika teman kalian mengidap sindrom maba ialah menjadi manusia super sibuk. Mereka yang mengidap penyakit ini akan mengikuti segala kegiatan di kampus mereka, dari mulai himpunan mahasiswa, UKM, demo, dan lain sebagainya.
Bukannya hal ini salah, hanya saja menyibukan diri pada hampir semua hal malah menjadi tidak efektif. Hal ini justru hanya membuang waktu, tenaga, maupun energi kalian.
Ini yang akhirnya membuat mereka kesulitan untuk mengatur porsi waktu, sekaligus kesulitan memberikan porsi lebih pada yang lebih penting. Seperti ujian dan sebagainya. Ya pada akhirnya mereka stress sendiri.
Tapi hal ini menjadi wajar juga ketika mereka mendapat libur panjang setelah lulus dari SMA maupun SMK. Sehingga ketika mereka memiliki kesempatan untuk menyibukan diri selepas kejenuhan saat liburan, akan dilakukan semaksimal mungkin. Ini juga yang menjadi salah satu alasan culture shock mereka.
Ini juga merupakan salah satu bentuk yang menonjol ketika seseorang mengidap maba syndrome. Pernahkah kalian sedang ngobrol santai dengan seorang teman ketika sudah menjadi mahasiswa, lalu ia menggunakan berbagai macam “diksi kamus” ketika ngobrol.
Misalnya diksi-diksi seperti “asosiasi”, “koherensi”, “primordialisme”, “humanis”, “korespondensi”, dan berbagai diksi kamus lainnya. Ya sebenarnya bukan bermaksud menyalahkan, hanya saja hal ini lumayan mengganggu.
Ketika sebuah dialog terjadi atau obrolan muncul di antara dua orang atau lebih, yang paling penting ketika dilihat dari sudut pandang ilmu komunikasi adalah tersampainya pesan dengan baik.
Masalahnya penggunaan “diksi kamus” bukan malah mempermudah hal itu. Justru dalam hal ini biasanya yang muncul hanya sebatas ego. Sehingga keberadaan ego di atas pesan, membuat apa yang berusaha disampaikan menjadi lebih rumit, dimana seharusnya dapat lebih mudah dipahami.
Di sini sebenarnya, penggunaan "diksi kamus" tidak sepenuhnya salah, melainkan mengetahui kondisi juga tempat agar penggunaan menjadi tepat guna.
Untuk kalian yang merasa tidak ingin menjadi seperti orang-orang ini, dapat melakukan hal-hal berikut. Seperti ngampus dengan santai namun serius. Ya dengan maksud bahwa ketika kalian berada dalam situasi perkuliahan lakukanlah dengan baik.
Sekaligus atur skala prioritas pada tiap kegiatan yang akan dilakukan, dari mulai waktu kuliah, berorganisasi, nongkrong jika mau, dan sebagainya. Dengan ini kalian akan belajar untuk melatih skill manajemen waktu. Dan kalian akan tetap memiliki waktu luang yang cukup seminimalnya untuk beristirahat, sekaligus hemat uang sih…
Selain itu, turunkanlah sedikit ego dan hasrat untuk mencari validasi. Karena ketika menjadi seorang mahasiswa keinginan untuk mencari validasi dan jati diri semakin meningkat, hal itu juga akan berpengaruh pada ego seseorang.
Karena tujuan seseorang menjadi mahasiswa ialah bagai sebuah sponge yang menyerap hal-hal yang dirasa penting baginya. Dengan begitu yang ditingkatkan adalah hasrat untuk belajar juga mengasah diri pada suatu hal.
Ketika seseorang memiliki ego yang tinggi sebenarnya ia sedang menutup pintu atau kesempatannya untuk belajar hal baru.
Dengan begitu menurunkan ego yang dimiliki akan membuka lebar kesempatan untuk belajar sekaligus meningkatkan rasa keingintahuan. Yang mana bukannya itu merupakan tujuan dasar sebuah pendidikan? (*/) (Photo credit: Javier Truba)