Dulu, punya akun Netflix, Hulu, atau Amazon Prime udah kayak jadi orang paling kaya. Kini, layanan OTT (Over The Top) itu udah kayak kacang goreng. Hingga nonton di bioskop kayak jadi lebih mewah.
FROYONION.COM - Gue mulai dengan membahas apa di balik konsep over the top yang lebih dikenal dengan nama OTT itu. Kalau lo tahu jalan tol, kurang atau lebih bisa dianalogikan begitu.
Dulu, kalau kita mau nyaksiin acting berkelas dari bintang-bintang Hollywood, ya harus beli tiket bioskop dulu, ngantri kayak lagi nungguin BLT di mall.
Zaman berubah, tiket bisa dipesen online, nyampe bioskop tinggal scan langsung bisa nonton—gak perlu sengaja datang lebih awal sambil ngabisin uang jajan bareng gebetan.
Zaman gak mau diem nih, apalagi pandemi terjadi tahun 2019 kemarin. Mulai deh bioskop dianggap sebagai tempat yang kurang aman sebelum situasi terkendali.
Tapi, orang-orang yang rindu hiburan karena terkurung berbulan-bulan di rumah mulai berburu kebahagiaan. Salah satu kebahagiaan itu datang dari OTT seperti Netflix, Disney+, Hulu, Amazon Prime, BBC, dan masih banyak lagi.
Bahkan, hampir semua negara di dunia pun mulai membangun zona OTT-nya sendiri untuk tayangan nasional—di Indonesia ada Viu, Video, dan Iflix. Wiuh! Udah kayak aplikasi yang tinggal pilih di minimarket bernama Play Store atau AppStore.
Nah, di sini gue pengen membahas plus dan minus dari OTT di atas, yang kalau gue kira-kira bisa bikin bioskop sebagai ruang hiburan mewah lagi. Setidaknya, gua bakal nyebutin 4 kekurangan dan kelebihan aplikasi tersebut.
BACA JUGA: 4 REKOMENDASI FILM LOKAL DAN MANCANEGARA YANG TAYANG MARET 2023
Memiliki akun Netflix, Disney+, Amazon Prime, dan sebagainya—sudah bukan lagi hal yang spesial. Hal ini kemudian membuat tontonan film di bioskop seolah barang yang mahal—sampai-sampai menjadi pilihan ke-sekian.
Nonton pakai akun-akun penyedia OTT emang bikin kita santai, bisa terhibur dengan visualisasi berkualitas di layar LED di rumah. Tapi, apa ya kualitasnya udah segede di bioskop?
Film-film aksi yang biasanya bikin jantung ikut deg-degan pun berakhir di earphone yang gak semuanya punya kualitas baik. Mau dengerin pakai volume yang kenceng, takutnya gangguin tetangga kalau rumah kita gak setebal tembok rumahnya para artis.
Jadinya, lo mungkin bakal ketagihan nonton sambil rebahan, sampai-sampai ketiduran. Terbawalah semua adegan itu ke dalam mimpi lo dengan earphone yang masih terpasang.
Jujur, secara kesehatan ini nggak baik, bisa mempengaruhi kualitas energi lo besok paginya. Apalagi, kalau lo pakai volume kenceng, udah kualitas tidur terganggu, tetangga juga ikut nggak bisa tidur.
Masalah volume ini juga berlaku untuk berbagai genre film yang disediakan. Setiap film punya tingkat beat dan ritme yang berbeda dan ini kadang membuat kita kebingungan—kalau lagi nonton film laga, volume di atas 20 itu udah biasa.
Nah, tiba-tiba besok ganti film romansa, volume 20 udah kayak dengerin omongan tetangga yang julid, seolah lirih, tapi menyebar ke mana-mana.
Dalam salah satu Meet Gala tahun 2021, Robert De Niro, salah satu aktor dan sutradara kawakan dari Hollywood—menyinggung layanan OTT sebagai sebuah pelarian dari para aktor berkelas sebab film-film layar lebar telah jadi ruang fitness untuk manusia-manusia berotot yang beradu dialog.
Robert De Niro khawatir dengan penurunan kualitas dari film-film bioskop yang sudah jauh tersaingi dengan serial-serial dalam layanan OTT, seperti Peaky Blinders, Sweet Home, Alice in Borderland, The Sandman—dan banyak lagi lainnya. serial-serial itu digarap dengan serius, menggunakan teknik sinematografi yang bisa dikatakan setara atau mengalahkan film-film Hollywood.
Hal ini terjadi setidaknya oleh dua sebab, yakni penguasaan Marvel dan usaha persaingan DC atasnya selama 12 tahun terakhir serta tergusurnya film-film berkualitas akibat dari pergerakan itu.
Selama 12 tahun terakhir, terutama setelah film Iron Man 2 hingga bertemu dengan gong Avengers: Endgame, kini film-film superhero seperti memiliki babak baru yang menakjubkan. Semua film Marvel dan serial-serial dalam Disney+ udah seperti puzzle yang gak bisa dinikmati kalau nggak ditonton semua.
Sebagai saingannya, DC pun nggak mau kalah dengan terus memproduksi film dan serial dalam layanan OTT, menggunakan Netflix sebagai saingan Disney+ sebagai senjatanya.
Ketika film-film berkelas mulai berjatuhan di layar lebar, tentu mereka nggak pengen hal itu terjadi di media virtual. Akhirnya, ilm-film berkelas terus diproduksi agar para aktor berotot ti kembali berulah.
Serial seperti The Queens Gambit yang dibintangi Anya Taylor Joy, misalnya—mampu menggusur kepopularitasan serial Marvel seperti Miss Marvel dan What If?. Muncullah sebuah semboyan kemudian, “kalau bisa nonton film berkualitas cihuy di rumah sebulan penuh, buat apa nonton di bioskop yang sekali bayar udah kayak angsuran mingguan OTT”.
Layanan OTT menjadi salah satu hiburan pilihan oleh sebab terjadinya pandemi. Tidak bisa keluar rumah membuat layanan OTT seperti delivery order bioskop.
Bahkan, ketika pandemi telah menjadi endemi dan semua orang bebas keluar rumah, kita tidak serta-merta kembali bercengkrama bebas dengan banyak orang. Lagi-lagi layanan OTT menjadi sebuah pelarian.
Oke, kita aman dari penyakit karena jarang berinteraksi dengan orang sekitar. Tapi, bukankah kita akan lebih kebal setelah menerima vaksin dan berani menghadapi kenyataan?
Layanan OTT membawa realita baru, yakni lebih baik menghabiskan kuota atau paket internet bulanan daripada keluar rumah. Hal ini kemudian melahirkan makna kesepian yang baru, yakni kesendirian semu.
Jika dulu kita nonton bioskop cenderung bareng gebetan atau rame-rame bareng temen, sekarang tontonan bioskop udah pulang ke rumah. Jadi, kita pun akan mempertanyakan apa esensi kumpul di luar sambil nonton.
Layanan OTT juga diikuti oleh animo sharing akun biar gak bayar di atas 100ribuan per bulan (harga normal layanan OTT) sebab dibagi bertiga sampai berempat hingga harganya tingga 20 ribuan.
Hanya saja, yang ikut pakai akun berbagi gini kadang-kadang nakal, entah itu dengan ganti password, akunnya dibagi ke banyak orang lainnya, sampai-sampai yang ikut bayar layanan berbagi jarang bisa nonton karena udah terlanjur dibajak.
Mana ada orang nge-bajak bioskop bukan? Banyak sih, setelah 2 atau 3 bulan kemudian di website-website “pencuri” film. Nah, ini kemudian yang juga menjadi salah satu solusi dari layanan OTT yang membuat kita bisa nonton film secara halal tanpa melanggar hak cipta seperti download di website yang nggak resmi. (*/)