Pelecehan seksual yang dialami di masa kecil dapat berpengaruh pada individu tersebut di masa dewasa. Hal tersebut dapat mengakibatkan korban mengalami gangguan kecemasan, bahkan dapat mengubahnya menjadi pelaku di kemudian hari. Bagaimana bisa ya?
FROYONION.COM - Kasus pelecehan terhadap perempuan sering ditemukan di portal berita maupun media sosial. Nggak cuma di dunia nyata, pelecehan tersebut juga terjadi di ranah dunia virtual melalui platform Virtual Reality (VR) yang terdapat dalam Metaverse.
Salah satu korban pelecehan di Metaverse adalah seorang perempuan bernama Chanelle Siggens asal Toronto, Kanada. Kejadian semacam ini membuktikan ada yang salah dengan platform tersebut. Yayasan Pulih menjelaskan pelecehan seksual adalah setiap tindakan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman dan tanpa konsensual. Pelecehan seksual bersifat paksaan dan berbau seksual.
“Kasus pelecehan seksual yang terjadi di dalam virtual reality sungguh mungkin terjadi,” terang Ninda, associate psychologist Yayasan Pulih. Melirik ke bagian tubuh tertentu dan bersiul merupakan contoh pelecehan seksual. Menurut Ninda, pelecehan seksual dikategorikan menjadi 5; fisik, lisan, isyarat, visual, dan psikologis.
Reaksi setiap korban pelecehan seksual pun nggak selalu sama; ada yang kaku terdiam, ada yang berani melawan. Bagaimanapun, pelecehan seksual memberikan dampak negatif pada keadaan psikologis korban. Kejadian tersebut dapat mengakibatkan korban mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Korban dari pelecehan seksual juga dapat berubah menjadi pelaku di kemudian hari, apakah benar?
“Banyak dari korban yang berubah menjadi pelaku,” ucap Ninda. Menurutnya, korban yang mengalami pelecehan di masa kecil, belum menyadari apa yang sebetulnya terjadi. Dia belum dapat menilai kejadian tersebut, dan bisa jadi, korban merasa wajar bila dia juga melakukannya kepada orang lain.
Mengutip dari Mint Lounge, terdapat beberapa bukti empiris terkait bagaimana korban dapat beralih peran menjadi pelaku. Dalam sebuah penelitian berjudul Cycle of Child Sexual Abuse: Links Between Being a Victim and Becoming a Perpetrator, penulis menemukan bahwa, di antara 747 pria yang diteliti, 35% menjadi pelaku dan 11% tidak menjadi pelaku.
Dalam studi The Cycle of Sexual Abuse and Abusive Adult Relationships, psikolog Elizabeth Hartney mengemukakan beberapa alasan mengapa korban pelecehan bisa menjadi pelaku. Pembalasan tersebut dia lakukan dalam upaya untuk menyembuhkan, dengan merebut kembali kekuasaan atau kontrol. Mereka mengambil posisi yang berlawanan yaitu menjadi pelaku, yang bagi mereka terlihat kuat.
Mereka pun bisa jadi merasa terangsang secara seksual oleh perilaku kasar dan intensitas emosi, yang ditimbulkan dari perbuatan asusila tersebut. Studi lain tentang anak laki-laki yang mengalami pelecehan seksual menunjukkan, bahwa satu dari lima anak, menjadi pelaku penganiayaan anak-anak di kemudian hari.
Banyak yang menilai bahwa pelecehan seksual disebabkan oleh hasrat seksual yang tak terbendung. Manusia memang memiliki nafsu dan kebutuhan biologis, untuk itu pula diciptakan akal agar manusia dapat mengendalikan nafsunya. Selain karena faktor nafsu pelaku, kekerasan seksual juga disebabkan oleh pelaku yang ingin menunjukkan dominasinya; faktor relasi kuasa, terang Ninda.
Masih menurutnya, kekerasan seksual yang disebabkan oleh baju korban cuma pernyataan yang nggak jelas. “Buktinya korban kekerasan seksual tidak selalu orang dewasa. Terdapat juga kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah laki-laki. Dalam hal ini, di manakah sisi mengundangnya?”
Ninda menjelaskan budaya patriarki turut melanggengkan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Patriarki membuat laki-laki lebih memiliki privilese daripada perempuan. Kasus pelecehan seksual terhadap perempuan di Indonesia pun cukup marak terjadi. Bahkan beberapa kasus tersebut tidak mendapat penyelesaian, sehingga menimbulkan rasa geram bagi masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.
“Pada kasus kekerasan seksual, banyak dari mereka yang meminta agar masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan saja atau dinikahkan,” kata Ninda. “Hal tersebut hanyalah meredam konflik, itu tidak menyelesaikan masalahnya atas dampak yang diberikan terhadap korban.”
Yayasan Pulih turut bekerja sama dengan Lembaga Badan Hukum (LBH) dalam melakukan pemeriksaan keadaan psikologis korban dan memberikan bantuan advokasi terhadap korban. Yayasan Pulih juga berkoordinasi dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). (*/)