Kenapa ya pejabat publik di Indonesia gemar korupsi? Ya jawabannya mudah, karena mereka serakah dan tidak tahu malu. Tapi sepertinya kurang bijak jika menjawab seperti itu karena konotasinya negatif dan sedikit emosional. Untuk itu, yuk cari tahu apa saja penyebab pejabat publik melakukan praktik korupsi.
FROYONION.COM - Salah satu fakta yang tidak bisa disangkal tentang Indonesia adalah maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah menangani 1310 kasus tindak pidana korupsi sejak 2004 hingga 20 Oktober 2022. Parah banget kan, Civs!
Data ini belum termasuk dengan dugaan korupsi di Kemenkeu khususnya di Dirjen Pajak dan Bea Cukai yang belakangan ini menjadi bahan kritik masyarakat. Masih dugaan memang, tapi melihat fakta ditemukannya dana yang dianggap tidak wajar semakin mempertebal dugaan korupsi tersebut.
Dalam lingkup pemerintahan dan politik, korupsi merupakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk Indonesia.
Dampaknya juga nggak main-main, Civs! Dampak yang dapat ditimbulkan dari tindak korupsi adalah menyengsarakan masyarakat, memperlambat pertumbuhan ekonomi suatu negara, meningkatkan kemiskinan, menurunkan investasi, terjadinya ketimpangan pendapatan, menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat suatu negara.
Lebih mirisnya lagi, kini korupsi seolah bukan menjadi masalah besar. Nyaris tidak ada bedanya perkara mencuri ayam dengan tindakan korupsi. Padahal korupsi adalah kejahatan serius yang dapat melemahkan pembangunan sosial dan ekonomi di semua lapisan masyarakat. Hal seperti ini tentunya tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Sudah banyak contoh negara yang akhirnya gagal karena pejabat publiknya sangat korup. Umumnya kasus ini menimpa negara terbelakang seperti Zambia dan Somalia, lantas apakah Indonesia juga seterbelakang itu? Tidak tahu!
Ngomongin penyebab terjadinya korupsi, terdapat dua faktor yang mendasari terjadinya praktik korupsi nih Civs, yakni faktor eksternal dan internal.
1. Faktor Internal
Faktor pertama adalah faktor internal yang didasari dari diri pribadi seseorang seperti perilaku pribadi dan gaya hidup yang konsumtif. Perilaku pribadi dapat berupa rasa yang tidak pernah puas dan tidak terbatas. Sifat manusia yang merasa selalu kurang dengan apa yang telah dimilikinya dapat mendorong orang tersebut untuk melakukan praktik korupsi.
Aspek gaya hidup yang konsumtif dapat berupa dorongan dari lingkungan sekitar yang serba mewah. Pendapatan yang lebih kecil sedangkan ada tuntutan sosial untuk berada di level tertentu menjadi pemicunya. Jika seseorang gagal menyetarakan level sosialnya (dalam hal ini adalah gaya hidup yang konsumtif) dapat mendorong orang tersebut untuk melakukan kecurangan hanya untuk memenuhi tingginya tuntutan sosialnya. Terkait hal ini, belakangan masyarakat disuguhkan dengan parade flexing dari para pejabat beserta keluarganya.
Ada yang pamer aktivitas jalan-jalan ke luar negeri, pamer tas dan pakaian branded, dan tentunya tidak ketinggalan yaitu pamer moge (motor gede)! Beberapa yang sudah disebut tadi dilakukan untuk meningkatkan derajat sosial seseorang untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan ego dan tentunya sulit untuk dijangkau oleh masyarakat jelata.
2. Faktor Eksternal
Faktor kedua adalah faktor eksternal yang lebih cenderung terhadap pengaruh dari luar seperti faktor ekonomi, politis dan organisasi.
Aspek ekonomi didasari oleh pendapat yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan seseorang. Selain itu, keinginan untuk balik modal setelah terpilih menjadi pejabat untuk menebus modal di masa kampanye juga melatarbelakangi terjadinya praktik korupsi. Faktor ini dipengaruhi oleh fakta bahwa biaya politik di Indonesia sangatlah tinggi.
Faktor biaya politik yang tinggi juga berpengaruh secara politis. Faktor politis disebabkan oleh kepentingan politik dan keinginan mempertahankan kekuasaan. Dikutip dari Tirto, data dari KPK mengenai biaya politik untuk wilayah kabupaten berkisar 30-100 miliar.
Sementara untuk provinsi 150 miliar sementara rata-rata gaji yang didapat oleh pejabat setelah terpilih hanya mampu menutup 10 persen dari biaya politik tersebut. Tidak heran jika usaha balik modal menjadi penyakit akut di Indonesia!
Biaya politik yang tinggi ditambah dua faktor tadi merupakan kasus akut yang membuat sulitnya seseorang untuk lepas dari korupsi. Lantas, apakah sistem politik di Indonesia harus diubah untuk menekan angka korupsi yang kian hari kian tinggi? Tidak tahu!
Berikutnya adalah faktor organisasi yang didasari tidak adanya tokoh yang dicontoh. Jika atasan melakukan praktik korupsi, hal ini dapat mendorong pejabat yang berada di struktur organisasi yang lebih bawah untuk melakukan hal yang sama. Meski pun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak kasus penjebakan di dalam organisasi.
Tidak jarang seorang pejabat membuat anak buahnya tidak memiliki pilihan lain untuk ikut korupsi karena diperintah oleh atasan. Curang memang, karena praktik culas ini memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Korupsi sudah seperti budaya!
Belum lagi soal hukuman yang rendah. Peristiwa ini sempat dikritik oleh KPK yang mengecam rendahnya hukuman untuk pelaku korupsi. Selain itu, melalui Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan risiko tertangkapnya koruptor masih rendah. Kondisi ini membuat para penyelenggara negara dan pejabat merasa nyaman melakukan korupsi.
Mungkin satu-satunya hal yang dapat berdampak banyak terkait perubahan wajah Indonesia yang jauh dari korupsi adalah dengan melakukan perbaikan sistem. Jika sistem yang saat ini digunakan tidak mengubah apa-apa, kenapa masih saja digunakan, sih?
Diperlukan inovasi yang terstruktur seperti transparansi di setiap kementerian dan kantor pemerintahan,
Meminimalisir terjadinya korupsi juga beririsan dengan pendidikan. Diperlukan penanaman sejak dini bahwa satu-satunya unsur kesuksesan seseorang bukanlah perihal jumlah harga kekayaan yang tidak berseri.
Adanya pemikiran bahwa kunci sukses adalah uang dan kekayaan membuat seseorang melakukan segala cara untuk mendapatkannya, termasuk dengan korupsi. Semakin banyaknya orang yang salah mengartikan mengenai kekayaan, maka potensi orang-orang melakukan praktik korupsi akan semakin banyak.
Lantas, apa solusinya? Musnahkan pemikiran tersebut! Rombak kurikulum pendidikan untuk menguatkan karakter sejak dini dan sedini mungkin. Jika aspek karakter yang dapat dibentuk di lingkungan keluarga dan pendidikan sudah terpenuhi, potensi terjadinya korupsi dan tindak kriminal lainnya dapat terkikis.
Tentunya masih banyak perubahan yang dapat dilakukan di luar faktor pendidikan dan transparansi seperti yang sudah disebut tadi. Merumuskan rancangan undang-undang terkait pemberian hukuman yang lebih berat kepada pelaku korupsi misalnya juga dapat dipertimbangkan.
Langkah-langkah selanjutnya? Tidak tahu! Tanya saja kepada Bapak/Ibu pejabat berwenang yang semoga punya banyak inovasi untuk mengatasi korupsi. Semoga saja. (*/)