Dari banyak referensi pop culture, masyarakat Jepang sering diperlihatkan sangat mencintai Bir. Padahal bir bukanlah warisan kebudayaan mereka seperti Sake. Apa alasannya?
FROYONION.COM - Negara di dunia khususnya bangsa barat memiliki kebiasaan dalam mengkonsumsi minuman beralkohol, dalam hal ini khususnya bir. Bir sendiri merupakan minuman yang difermentasi dari bahan-bahan seperti biji-bijian/sereal, hop, ragi dan penyedap rasa lainnya.
Persentase alkohol dari bir berkisar 4-7% dengan rata-rata 5% dalam satu penyajian. Secara klise, bangsa Barat memang memiliki kebiasaan minum karena hal itu bertujuan untuk menghangatkan tubuh di iklim tempat tinggal mereka yang dingin. Misalnya Rusia dengan vodka-nya.
BACA JUGA: 4 AGUSTUS DIPERINGATI SEBAGAI HARI BIR SEDUNIA: BOLEHKAH MERAYAKANNYA DI INDONESIA?
Rasa dari bir menawarkan sensasi yang sedikit manis dan terasa pahit di akhirnya, terkadang terasa asam, bahkan bisa lebih kompleks dari itu. Dan sebagian orang mengatakan mirip dengan minuman bersoda.
Secara historis, bir tidak memiliki asal yang spesifik terkait dari mana mereka pertama kali muncul. Mengutip dari laman Quincy Compressor beberapa wilayah seperti China, Mesopotamia, dan Jerman sudah memulai kebiasaan pembuatan bir sekitar ribuan tahun sebelum masehi.
Sedangkan Jepang memiliki identitas kelokalan mereka dalam budaya minuman beralkohol, salah satu yang terkenal adalah sake. Berbeda dengan bir, sake berbahan utama beras.
Sake sudah menjadi bagian dari tradisi hidup dan budaya masyarakat Jepang, bahkan konon telah dinikmati selama lebih dari 2.000 tahun setelah pertumbuhan penanaman padi.
Namun berbeda dengan era modern, pandangan mereka terkait kebiasan minum agak sedikit bergeser. Nyatanya bir menjadi pilihan pertama bagi masyarakat Jepang dalam kebiasaan minum mereka. Dan semua itu dimulai ketika bir mulai memasuki negara mereka pada Zaman Edo (1603 – 1867).
Konon kedatang bir di Jepang dimulai dari beberapa ratus tahun lalu akibat dari ramainya pedagang Belanda yang mulai mendirikan “Beer Hall” atau “Balai Bir” di Nagasaki. Balai Bir ini ditujukan untuk para pelaut selama Zaman Edo (Abad ke-17).
Hingga akhirnya pada kisaran tahun 1800-an pendirian pabrik bir di Jepang mulai menjadi hal lumrah. Lalu pada 1869 datang seseorang berkebangsaan Norwegia-Amerika yang mendirikan Spring Valley Brewery di Yokohama, sebuah perusahaan swasta. Nantinya perusahaan ini akan menjadi Kirin Brewery Company, salah satu pilar dari pasar bir di Jepang.
Sekitar waktu yang sama, sebuah tempat pembuatan bir di Sapporo dibuka. Dan hingga saat ini masih diperdebatkan munculnya bir pertama kali di Jepang, Yokohama atau Sapporo.
Dikarenakan Hukum Cukai Jepang yang masih terbilang Kuno. Sistem pengambilan pajak dari bir hanya dihitung dari kandungan Malt bukan kadar alkohol. Karena itu pilihan bir yang mereka miliki tidak begitu banyak. Dari mulai bir ukuran besar atau regular.
Hingga karena kelemahan dari sistem ini, para pembuat bir menciptakan bir jenis lain demi menghindari pajak agar lebih murah di mata konsumen. Bir ini memiliki kadar kandungan Malt yang sangat rendah, sehingga secara hukum tidak dapat diklasifikasikan sebagai bir.
Bir jenis ini memiliki banyak penyebutan seperti Happoshu (bir malt rendah), Daisan no bīru (bir jenis ketiga), atau Shin-janru (jenis baru).
BACA JUGA: CIU BEKONANG, MIRAS LOKAL LEGENDARIS PENUH KONTROVERSI DARI SUKOHARJO
Kehadiran bir jenis ketiga membuat para penikmat bir menjadi lebih bergairah dikarenakan harganya yang nyaman di kantong dan rasanya yang jauh lebih ringan.
Sampai sekitar 28 tahun yang lalu, hukum di Jepang melarang penjualan bir selain dari merk-merk besar. Tetapi karena adanya “relaksasi” dari peraturan yang ketinggalan zaman ini, memicu munculnya banyak pabrik kerajinan kecil yang melayani pasar domestik bahkan ekspor.
Dengan kota kota besar seperti Tokyo dan Osaka muncul sebagai pusat dominan untuk para pengrajin bir.
Bahkan terdapat festival yang didedikasikan untuk kerajinan bir seperti Festival Bir Keyaki yang berbasis di Saitama, lalu Festival Bir Oedo yang berbasis di Tokyo dan masih banyak lagi.
Tidak dapat dipungkiri, bagi orang-orang yang pernah mengunjungi negara ini sangat mudah untuk mencari papan reklame atau iklan yang menampilkan sosok laki-laki berpakaian rapi sedang mengagumi atau menikmati bir mereka.
Akses masyarakat Jepang terhadap bir tidaklah sulit, selain itu minimal umur di Jepang dalam mengonsumsi minuman beralkohol adalah 20 tahun.
Ditambah hal ini didukung oleh kebudayaan masyarakat Jepang yang sangat erat dengan alkohol. Bagi mereka, minum-minum adalah kesempatan unik untuk mengeksplorasi hubungan di luar batasan formal mereka, terutama jika menyangkut pekerjaan.
Meskipun bukan menjadi aturan tertulis, kebanyakan orang Jepang ketika mereka memutuskan pergi minum, akan memulai dengan bir untuk ronde pertama. Pesta minum yang sesungguhnya di Jepang tidak pernah dimulai sampai semua orang mendentingkan gelas mereka untuk bersulang yang dikenal sebagai “kanpai”.
Salah satu alasan lagi yang mendukung ialah, orang-orang Jepang menganggap bir sebagai minuman ringan daripada minuman beralkohol sehingga pandangan mereka terhadap bir menjadi lebih santai dibanding negara-negara barat.
Oleh karenanya secara historis maupun budaya menjadikan Jepang sebagai negara yang memiliki minat yang tinggi terhadap bir. Apalagi dari budaya bekerja mereka yang amat berlebihan, bir dapat menjadi sarana rekreasi paling mudah dan paling murah. (*/)