In Depth

KEHIDUPAN PRIBADI VS GAJI TINGGI: WORK-LIFE BALANCE CUMA MITOS?

Kalau ada pilihan gaji besar dan jadi bos di kantor tapi waktu kerja lo semrawut dan jadi mengabaikan kehidupan pribadi lo, kira-kira pilih yang mana ya?

title

FROYONION.COM - Work-life balance buat setiap orang yang tengah merintis karier punya arti dan makna tersendiri yang berbeda-beda. Lo mungkin punya kesenangan tersendiri kalau harus bekerja lembur dengan anggapan skill lo akan terus terasah lewat pekerjaan yang lo garap. 

Di lain sisi, mungkin juga ada worker atau kaum pekerja yang sangat anti untuk mengerjakan tugas ataupun pekerjaan tambahan lain di luar jam kerja. Dari sini lo bisa belajar kalau keadaan dan sikap setiap orang itu berbeda dan nggak bisa disamaratakan. Cuma gimana sih pola kerja sebenarnya yang efisien buat diri lo sendiri. 

Dalam tulisan ini, gue akan coba ngajak lo pada sama-sama merefleksikan kehidupan bekerja kita saat sudah cukup umur. Beberapa poin mungkin terkesan akan sangat subjektif, tapi balik lagi penerapan cara kerja ini bakal balik ke masing-masing pribadi lo. 

Ayo kita coba mulai dari sebuah fakta menarik. Gue nemuin satu penelitian yang diterbitkan oleh Institute of Policy Studies (IPS) tentang bagaimana para pekerja di Singapura melihat work-life balance itu sebagai kehidupannya sehari-hari.

As you know, Singapura merupakan salah satu negara tetangga kita di Asia Tenggara dengan pendapatan per kapita tertinggi di regionalnya (melebihi Indonesia). Padahal, dulu negara ini tergolong sebagai miskin dengan luas bagian yang kecil dan terhimpun di antara Indonesia dan Malaysia. 

Tapi, jejak pembangunan dan kemajuan negeri di Singapura sekarang ini nggak bisa dihindari lagi. Lo harus mengakui juga kalau Singapura memiliki tingkat perekonomian yang berjaya. 

By the way, dari penelitian IPS tersebut ternyata ditemukan fakta kalau kebanyakan warga Singapura (54% dari keseluruhan responden) bersedia untuk menerima gaji yang lebih rendah atau role pekerjaan yang lebih kecil daripada harus kehilangan waktu untuk kepentingan keluarga ataupun kehidupan pribadinya. 

Dalam hal ini, kesimpulan itu merujuk dari survei yang dilakukan terhadap 1.010 kaum pekerja di Singapura yang berusia 21 hingga 84 tahun. Sampel diambil dari berbagai lokasi publik di negara tersebut. Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa kemajuan teknologi, kebangkitan digital di negara itu sangat berpengaruh terhadap pergeseran lanskap tenaga kerja. 

Masih merujuk survei itu, peneliti juga mencoba memotret aspek apa yang penting bagi para pekerja di Singapura. Hasilnya, mereka melihat kecukupan gaji, value dan etika di tempat kerja serta kondisi kantor yang nyaman sebagai aspek yang paling penting saat berkarir. 

Penelitian itu sebenarnya ngasih gambaran sedikit ke kita tentang bagaimana mayoritas pekerja di Singapura memandang work-life balance. Bagi mereka, kehidupan pribadi jadi hal yang lebih utama daripada sekedar meraup cuan dari tempat kerja.  

Buat gambaran, lo bisa membandingkan sendiri bagaimana work-life balance itu bisa atau tidak terjadi di dua negara ini. 

1. Australia

Kalau kita menengok keadaan di negara ini, kayaknya bakal kelihatan perbedaan etos kerja mereka dengan kita yang ada di Indonesia. Merujuk catatan dari The Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) Better Life Index, 13 persen orang Australia bekerja lebih dari 50 jam per minggunya. 

Bisa dibilang kalau kehidupan para pekerja di negara ini serba sibuk. Bahkan survei yang dilakukan pemerintah setempat mengungkapkan kalau 38 persen laki-laki dan 46 persen perempuan nggak bisa mendapatkan work-life balance itu. 

Dilansir dari HRnote, disebutkan ada beberapa aturan undang-undang negara tersebut yang sebenarnya membentuk sebuah skema agar para karyawan dapat tetap mencapai work-life balance mereka di tengah kesibukan huru-hara dunia pekerjaan. 

Misalnya, ada aturan di mana karyawan punya jatah liburan selama empat pekan setiap tahunnya. Kemudian, mereka yang telah bekerja selama 10 tahun di suatu perusahaan bisa mendapat 8,67 minggu cuti berbayar. 

Selain itu, pemerintah setempat juga memperhatikan kesehatan seluruh penduduknya dengan menjamin asuransi kesehatan. 

2. Belanda

Kalau kata data OECD, negara yang pernah menjajah Indonesia ini merupakan salah satu negara terbaik di dunia yang bisa mengelola work-life balance di kalangan pekerjanya. Indikatornya? Pekerja di sana memiliki standar waktu kerja 38 jam per minggu, selain itu waktu lembur juga seolah kayak mitos dan jarang terjadi. 

Dari tulisan yang gue baca di internet, katanya karyawan di Belanda yang kerja lebih dari 50 jam per minggu alias harus lembur cuma 0,4 persen. 

Nggak cuma dari sisi waktu kerja, ekosistem work-life balance di negara kincir angin ini sebenarnya juga terjadi secara berkesinambungan. Mereka memiliki sistem penitipan anak yang mendukung kehidupan berkeluarga sehingga para pekerja nggak perlu pusing tentang bagaimana anak mereka harus beraktivitas sehari-hari meski ditinggal kerja.

Selain itu, perempuan mendapat kebijakan cuti hamil yang fleksibel yang dapat dimulai dari enam minggu sebelum tanggal jatuh tempo untuk total empat bulan. Pasangannya juga menerima manfaat tambahan hingga enam minggu cuti berbayar.

Artinya, sistem yang dijalankan di negara tersebut mempermudah seorang pekerja yang masih tetap ingin terus keep in touch dengan kehidupan sehari-harinya. 

INDONESIA GIMANA?

Ada sebuah survei menarik yang gue temuin di The Conversation. Peneliti Jaya Addin Linando dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta meneliti bagaimana orang Indonesia mencapai work-life balance mereka karena dipengaruhi nilai-nilai agama

Misalnya, agama menumbuhkan rasa tanggung jawab dan rasa cinta kepada keluarga yang nggak cuma sebatas tentang materi. Bukan cuma itu saja, konsep kehidupan setelah kematian juga menjadi salah satu hal yang membentuk pola pikir para pekerja untuk melihat kehidupan setelah kematian jadi hal yang penting dibandingkan saat ini.

Makanya, banyak dari mereka yang tidak berorientasi untuk mengejar apa yang ada dalam kehidupan sekarang ini melalui pekerjaan mereka. Hal tersebut membuat pekerja enggan mengabaikan keluarga. 

Kalau menurut lo apakah kondisi tersebut masuk akal dan dirasakan betul-betul oleh masyarakat Indonesia? Seringkali begini, pertanyaan besarnya itu adalah bagaimana work-life balance itu dilakukan? 

Apapun langkah yang lo lakuin, sebenarnya menerapkan work-life balance selama berkarir itu adalah hal yang penting buat dijalanin. Meskipun terkadang cara pandang kita berbeda satu dengan yang lain ketika membicarakan hal ini.

Dengan berpatok pada apa yang lo anggap itu penting, maka lo bisa mendapatkan work-life balance itu kok. Tinggal bagaimana negara mengambil peran lebih jauh untuk membuat warganya berada dalam kondisi yang nyaman buat bekerja. Artinya, kebijakan yang dirumuskan harus membantu setiap masyarakat bisa tetap punya kehidupan pribadi meskipun tengah mengejar karir. 

Lagian menurut gue, work-life balance itu bukan cuma sekadar tentang gimana lo punya waktu kerja dan istirahat yang cukup aja kok. Bukan juga soal karir cemerlang yang lo punya, tapi ternyata teman nongkrong lo sedikit dan kehidupan lo jadi monoton cuma berkutat pada pekerjaan doang.  (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Michael Josua

Cuma mantan wartawan yang sekarang hijrah jadi pekerja kantoran, suka motret sama nulis. Udah itu aja, sih!