Anak-anak muda makin banyak yang mengajukan diri sebagai pemimpin di jajaran pemerintahan. Berikut beberapa sosok muda yang menyita perhatian.
FROYONION.COM — Sejak munculnya nama Joko Widodo, yang akrab masyarakat Indonesia kenal sebagai Presiden Jokowi, pergerakan politik Indonesia mengarah pada peremajaan. Dalam hal ini peremajaan pun beraneka ragam wujudnya. Salah satunya, kemunculan calon-calon muda legislatif, hingga beragam jabatan kepemimpinan lainnya di Indonesia.
Kalau kita ingat kembali pada awal terpilihnya Presiden Jokowi, muncul sebuah hegemoni yang menarik garis kepada ucapan Almarhum B.J. Habibie dalam gelaran Mata Najwa.
Kala itu, Mata Najwa masih ditayangkan melalui Metro TV, sekitar 9 tahun silam, yakni tahun 2014. Dengan sebuah tema yang sejatinya lebih banyak menceritakan kisah romansa inspiratif B.J. Habibie dengan Ainun, sebuah sentilan tentang kriteria pimpinan negara pun dimunculkan.
Kala itu, Habibie menilai bahwa kriteria usia pemimpin negara yang tepat untuk memimpin Indonesia pada masa kejayaan millennial adalah mereka yang masih dalam rentang usia 40-60 tahun. Untuk lebih memperjelas kriteria tersebut, Najwa Shihab yang akrab disapa Mbak Nana memperlihatkan dua gambar. Gambar pertama adalah salah satu calon kuat pada tahun tersebut, yakni Prabowo Subianto. Sementara itu, gambar kedua adalah Joko Widodo, seorang yang dikenal sebagai walikota kharismatik dari Surakarta.
Citra kharismatik Joko Widodo kala itu dibangunnya dalam konsep blusukan yang sudah dilakukannya sejak menjabat sebagai Walikota Solo hingga ketika ia memimpin sebagai Gubernur Jakarta. Belum usai masa kepemimpinannya, pergerakan itu memantik animo masyarakat. Informasi yang begitu cepat tersebar dalam berbagai laman media sosial membuat perhitungan persentase kemunculan Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia pun terwujud.
Pergerakan media sosial itulah yang digerakkan oleh anak-anak muda. Tidak mengherankan apabila bermula dari pergerakan itu, kini anak-anak muda pun mulai berani bermunculan sebagai calon pemimpin bangsa. Bahkan, pergerakan kemunculan mereka bukan tanpa perhitungan algoritma, sejak semula mereka sudah ramai menjadi bahan perbincangan di media sosial.
BACA JUGA: BELAJAR GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DARI BOS BLUE BIRD YANG NYAMAR JADI SOPIR TAKSI SEHARIAN
Hal ini misalnya diperlihatkan dalam hadirnya Emil Dardak. Ia dikenal sebagai sosok yang memang cerdas dan memiliki pengalaman politik. Kedekatannya dengan rakyat Jawa Timur dalam berbagai ranah ras dan agama pun menjadi banyak perbincangan sejak tahun 2015 silam. Hingga, pernikahannya dengan Arumi Bachsin pun terjadi. Pernikahan itu, terlepas sebagai sebuah peristiwa yang sakral, ternyata menaikkan citranya dalam dunia politik. Hingga, kini ia pun menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur.
Selain Emil Dardak, nama Gibran Rakabuming dan Dico M. Ganinduto pun acap kali menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial. Sebagai Walikota Surakarta, Gibran memiliki taste yang sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai populer yang dibangun oleh anak muda. Hal itu sangat terlihat ketika ia akhirnya ikut turun tangan dalam melakukan kritik konstruktif dalam kegiatan Pasar Malam Sekaten di Surakarta. Baginya, perayaan Sekaten yang dilaksanakan tahun 2022 lalu belum menyasar kemeriahan yang menyambut suasana hati zaman. Anak-anak muda yang berdatangan masih belum terpuaskan, sebab sistem pelayanan yang tidak menjawab kebutuhan masa kini.
Selain kritik tersebut, datangnya Gibran sebagai Walikota Solo juga menjadi salah satu pembangkit semangat terbangunnya ruang publik. Kota Solo kini dikenal sebagai daerah dengan ruang publik terbanyak di Indonesia. Hal ini terlihat dengan banyaknya taman tematik di Kota Solo. Taman tematik itu misalnya terlihat di depan Terminal Tirtonadi. Pohon-pohon besar dan rindang membuat taman yang dulunya terlihat gersang, kini disulap menjadi tempat nongkrong yang instagramable. Hal ini pun menjadi nilai plus tersendiri, yang mana membuat anak-anak muda ramai berdatangan dan membahasnya di media sosial. Pembahasan itulah yang membuat Kota Solo semakin dikenal dalam matriks dunia digital.
Sementara itu, Dico M. Ganinduto dikenal sebagai anak muda yang mencintai dan selalu ikut meramaikan kebudayaan daerahnya. Sebagai Bupati Kendal, Dico kerap kali mendorong masyarakat daerahnya untuk menciptakan nuansa kebudayaan yang ramai. Tak mengherankan, Kabupaten Kendal pun saat ini memiliki beragam pilihan pesta kebudayaan yang selalu didukung oleh dana pemerintah.
Dico terlihat sebagai sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat. Ia selalu hadir dalam berbagai kesempatan yang itu bernilai kerakyatan. Seperti yang dilakukan oleh Jokowi, ia pun kerap kali duduk bersama masyarakat tanpa batas stratifikasi yang konkret—rakyat lesehan ia pun ikut lesehan.
Pergerakan anak-anak muda inilah yang kemudian memicu keberanian generasi masa kini untuk turut serta membangun bangsa dengan kolaborasi kekuatan. Pertama adalah pembangunan citra melalui kinerja nyata yang dikomunikasikan melalui media sosia. Hingga, diproses melalui hal yang kedua, yakni tindakan pemimpin yang bernilai kerakyatan yang membuat masyarakat melahirkan pembahasan berefek domino.
Pemimpin bernilai kerakyatan yang dimaksud adalah turunnya pemimpin dari kursi di kantornya dan berjalan mendekati masyarakat tanpa batas. Hal ini, kalau ditarik garis lurus di masa lampau, sangat sering dilakukan oleh Hamengkubuwono IX dan raja-raja Mataram Islam di masa hidup Wali Songo. Tradisi kepemimpinan yang menarik kembali budaya di masa lampau ini diangkat kembali oleh anak-anak muda.
Dengan keberanian untuk tidak hanya membuat diri nyaman melalui dukungan berbagai divisi dalam suatu jabatan, anak-anak muda pun kini hadir dan siap meramaikan pesta politik tahun 2024 nanti. Bahkan, para pemilih yang nantinya akan menentukan nasib bangsa pun memiliki persentase lebih banyak dari kalangan milenial dan Gen-Z. Tentunya, hal ini menjadi sebuah revolusi besar dalam jagat kepemimpinan bangsa Indonesia dengan kriteria yang lahir dari horizon harapan generasi muda. (*/)