In Depth

IRONI PENDIDIKAN INDONESIA: SERAGAM SEKOLAH LEBIH PENTING DARIPADA KUALITAS PENDIDIKAN

Pernahkah kalian merasa bahwa banyak aturan sekolah yang tidak rasional? Dari mulai bangun sekolah jam 5 pagi, potongan rambut, juga penggunaan seragam dengan alasan kedisiplinan. Padahal masih banyak hal lain yang perlu diperhatikan dari sekedar mengatur seragam.

title

FROYONION.COM  Kemarin kita sempat dikejutkan dengan aturan masuk sekolah pada pukul 5 pagi di NTT. Hal ini memicu banyak respon negatif khususnya di media sosial. Karena itulah mulai muncul diskusi yang mempertanyakan rasionalitas dibalik aturan sekolah.

Secara filosofis sebuah aturan/hukum muncul karena keengganan manusia untuk hidup dalam hukum alam atau “natural law”. Manusia percaya bahwa jika kita hidup dalam masyarakat tanpa hukum maka akan terjadi kekacauan. Yang nantinya akan merugikan dirinya sendiri. 

Sehingga, hukum muncul atas dasar menjaga kebebasan manusia seperti kesempatan untuk hidup, kedamaian dan persaingan sosial yang adil.

Dapat dikatakan bahwa hukum datang dari kesadaran kritis manusia untuk menetapkan batas kebebasan itu sendiri. Sehingga muncul istilah “Hak Asasi Manusia”.

Jadi jika kita uraikan kembali sebuah aturan muncul atas dasar yang jelas dan berakar pada rasionalitas manusia. Sehingga ketika ada sebuah aturan yang mengikat dan tidak memiliki tujuan yang jelas, pasti akan muncul sebuah keraguan.

Dalam konteks seragam, alasan yang paling sering ditemui oleh siswa adalah kedisiplinan. Alasan tentang kedisiplinan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi sebagian murid. 

Selain itu, kata kebanyakan guru dengan adanya seragam akan “menyamarkan” status sosial-ekonomi siswa. Jadi ketika ada seorang siswa yang berasal dari keluarga berkekurangan akan tetap percaya diri berada di lingkungan sekolah dengan anggapan “kesetaraan” dari sebuah model seragam.

RELEVANSI SERAGAM DENGAN PERILAKU SISWA

Terdapat sebuah penelitian dari Ohio State University berjudul School uniforms and student behavior: is there a link?. Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa sama sekali tidak ada kaitan antara perilaku siswa dengan seragam sekolah. Mengutip dari Ohio State News salah satu peneliti bernama Arya Ansari menegaskan:

 We didn’t see much difference in our behavior measures, regardless of whether the schools had a uniform policy or not

Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh Arya Ansari dkk. Karena ia melihat bahwa semakin banyak sekolah yang mewajibkan penggunaan seragam. Pada tahun 2011-2012 terdapat sekitar 20% sekolah umum(negri) yang mewajibkan penggunaan seragam. Dimana pada tahun 1995-1996 hanya sekitar 3% sekolah saja yang mewajibkannya.

Ia yakin bahwa selama 20 tahun kebelakang tidak banyak penlitian yang membahas hal ini sehingga terjadi peningkatan signifikan.

BACA JUGA: KEBIJAKAN SEKOLAH JAM 5 PAGI DI NTT: APAKAH MANFAATNYA LEBIH BESAR KETIMBANG RISIKONYA?

Para pendukung penggunaan seragam berpendapat bahwa  dengan adanya seragam sekolah akan meningkatkan rasa solidaritas juga kesetaraan.

Untuk menguji teori tersebut mereka menggunakan sampel yang didapat dari Early Childhood Longitudinal Studies Program (ECLS). ECLS adalah sebuah lembaga yang dinaungi oleh departemen pendidikan Amerika, bertujuan untuk memberikan data nasional tentang status anak saat lahir, kepengasuhan, program pendidikan, serta pengalaman dan pertumbuhan anak hingga kelas lima SD. 

Setiap tahun guru akan menilai semua siswa berdasarkan tiga bentuk penilaian: dari perilaku internal (seperti penarikan diri dari sosial, juga stress dan tingkat kecemasan), lalu perilaku secara eksternal (seperti sikap kekerasan atau perusakan properti sekolah) dan terakhir kemampuan bersosialisasi.

Dai tiga bentuk penilaian ini Arya Ansari tidak menemukan perbedaan signifikan pada sekolah yang menggunakan seragam atau tidak. 

Temuan ini tentu akan membantah tentang asumsi solidaritas, kesetaraan, atau bahkan tindakan anti-bullying

PERBAIKI FASILITAS DAN KUALITAS

Pada tahun 2022 kemarin saja sudah banyak berita yang menampilkan tentang bangunan sekolah yang rusak bahkan tidak layak huni. Contohnya pada November kemarin tentang SD di Bantul yang mengalami kerusakan karena termakan usia. 

Hingga akhirnya memaksa sebanyak 52 siswa untuk belajar di parkiran sekolah.

Entah apa yang dipikirkan, ketika permasalahan seragam yang mulai beracam-macam, seperti penggunaan pakaian adat tiap minggu, apa urgensinya? 

Sekolah hadir juga sebagai bentuk meningkatkan kenyamanan murid saat menuntut ilmu, seharusnya fokus kajian bukan hanya berputar pada apa yang harus diberikan kepada mereka, tapi apa yang benar-benar mereka butuhkan.

Padahal akan jauh lebih baik apabila dana untuk sosialisasi dari aturan yang tidak penting tersebut dialokasikan pada fokus pemerataan pendidikan.

Perbaiki fasilitas di sini maksudnya bukan hanya bangunan secara eksternal, namun fungsi penunjang pendidikan seperti perpustakaan, lab yang mendukung, dana untuk kegiatan ekstrakulikuler dan lain-lainnya. 

Sehingga janganlah buang-buang uang hanya demi peresmian kebijakan yang tidak penting, buatlah agar kebijakan tersebut dilihat dari sudut pandang siswa, jangan hanya dari pihak otoritas saja. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Khalid Asmadi

Seorang mahasiswa di jurusan Ilmu Komunikasi, katanya sih suka baca buku filsafat, cuma ga pinter pinter amat. Pengen jago ngegambar biar bisa bikin anime.