In Depth

IESR AJAK ANAK MUDA DUKUNG TRANSISI ENERGI DEMI ATASI PERUBAHAN IKLIM, BEGINI LANGKAHNYA

Perubahan iklim semakin terasa. IESR, lembaga yang berfokus pada isu energi dan lingkungan mengajak kita sebagai anak muda untuk mendukung transisi energi. Simak langkahnya di sini.

title

FROYONION.COMInstitute for Essential Services Reform (IESR) sebagai lembaga yang berfokus pada isu energi dan lingkungan di Indonesia terus berupaya memberikan informasi tentang pentingnya transisi energi, khususnya bagi anak muda.

Terlebih, isu perubahan iklim seperti cuaca ekstrem, menjadi fenomena yang sedang marak terjadi dan begitu dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia, menjadi sinyal kuat untuk mempercepat transformasi energi menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT).

Di satu sisi, anak muda sebagai agent of change yang dapat membawa perubahan ke arah baik perlu dibekali edukasi untuk mengatasi perubahan iklim, salah satunya melalui transisi energi.

Untuk menjawab itu, dalam gelaran Media Luncheon: Mengenal Taksonomi Hijau dan Perkembangan Transisi Energi di ASEAN, berlokasi di Cikini, Jakarta, pada Kamis (4/5), Deon Arinaldo selaku Manajer Program Transformasi Energi, mengungkapkan beberapa langkah yang dapat dilakukan anak muda.

BACA JUGA: APA IYA MOBIL LISTRIK ADALAH LANGKAH TEPAT UNTUK SOLUSI PERUBAHAN IKLIM?

Pertama, anak muda dapat mengambil peran dalam mendukung transisi energi. Deon menilai, langkah pertama ini bisa meniru salah satu aktivis lingkungan muda, Greta Thunberg yang kemudian isu tersebut dapat berkembang menjadi isu strategis.

“Dalam mengambil peran anak muda untuk mendukung transisi energi, mereka bisa menjadi atau mengakomodasi isu ini untuk menjadi lebih baik, mereka punya kekuatan untuk men-drive isu itu sendiri, seperti halnya Greta Thunberg. Jadi, anak muda bisa membawa isu ini menjadi isu strategis,” ucapnya.

Langkah kedua adalah memiliki skillset atau kemampuan yang perlu dikuasai oleh anak muda untuk mendukung percepatan dan terealisasinya transisi energi secara keberlanjutan.

“Kita juga butuh killset baru dari sumber daya pekerja yang terdidik. Dalam melakukan transformasi energi, harus ada penguasaan teknologi baru. Dari segi perencanaan dan desain pun butuh skill yang kompleks. Jadi partisipasi anak muda dalam penggerak ini penting,” timpalnya.

Ketiga, Deon mencontohkan Kampung Surya yang belum lama ini digagas oleh IESR sebagai kegiatan pelatihan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang ramah lingkungan dan menjadi sumber energi alternatif.

“Contoh lain, kita pernah mengadakan Kampung Surya. Kita menyasar pemuda-pemuda di kampungnya dan mengadakan pelatihan untuk menginstalasi PLTS atap. Pelatihannya cukup sederhana 2-3 hari udah bisa, dan punya pengetahuan sederhana tentang listrik dan mekanis yang bisa dilatih,” ujarnya.

Perlu diketahui, dalam mencapai program di atas, Deon mengatakan anak muda memiliki keunggulan mengakses informasi yang bisa mendukung akselerasi dan kontribusi individu dalam mewujudkan transisi energi dari lingkungan terkecil seperti rumah.

“Ya inilah kontribusi sederhana sesimple mengurangi penggunaan energi, caranya seperti apa, atau mengganti dengan energi yang lebih efisien, itu udah bisa mendukung pengurangan emisi,” ucapnya.

Gelaran diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu bukan hanya membahas pentingnya transisi energi dan peran yang bisa diambil oleh anak muda. Namun, soal keberadaan taksonomi hijau sebagai indikator menuju transisi energi.

Taksonomi hijau sebagai pedoman atau tata aturan dalam transisi energi menjadi salah satu topik prioritas, mengingat dalam konteks ASEAN Taxonomy, hal ini terlihat dalam pengklasifikasian kegiatan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan pembiayaan hijau dan transisi.

Luthfyana Larasati, Senior Analyst dari Climate Policy Initiative, mengatakan kepada Froyonion.com bahwa ada tujuan di balik taksonomi hijau, yakni memberikan kesempatan berbagai sektor industri di Indonesia untuk menuju lingkungan yang rendah karbon dan emisi.

“Ibaratnya, taksonomi hijau itu seperti aturan main dan pedoman bagaimana kita menaruh investasi di sektor-sektor hijau dan mendukung sektor transisi hijau. Jadi, sektor-sektor ini kita beri kesempatan untuk menuju yang lebih rendah karbon. Tentu butuh biaya dan kebijakan yang tepat,” kata Luthfyana.

Melalui taksonomi hijau, sektor-sektor industri akan diklasifikasi menggunakan sistem “traffic light” sesuai dengan aturan Taksonomi Hijau Indonesia (THI) yaitu merah, kuning, dan hijau. Masing-masing warna menunjukkan indikator perusahaan atau industri dalam mendukung transisi energi.

Jenis aktivitas ekonomi dalam sistem “traffic light” (Ilustrasi Dok. THI)
Jenis aktivitas ekonomi dalam sistem “traffic light” (Ilustrasi Dok. THI)

Warna merah menunjukkan aktivitas yang dapat merusak lingkungan seperti industri pengolahan kertas, mesin, logam, dan nikel. Kemudian, warna kuning menunjukkan masa transisi dari kegiatan menuju hijau seperti transportasi dan pengelolaan limbah. Lalu, warna hijau menunjukkan kegiatan yang memberi dampak positif terhadap lingkungan seperti perkebunan rempah, kelapa sawit, dan UMKM.

Lantas, mengapa perlu taksonomi hijau? Selain sebagai alat atau pedoman dasar untuk memandu kelancaran transisi energi, Luthfyana berkata bahwa belum ada status sektor industri yang benar-benar 100% hijau.

“Kenapa sih kita perlu ini? Jadi, dengan adanya aturan dasar, kita sama-sama tau, ini loh sektor yang hijau, ini yang sedang bertransisi energi, dan ini yang merah. Dan, bicara yang hijau pun nggak ada yang 100% bener-bener hijau. Balik lagi, yang kita bisa awasi adalah sektor transisi. Sampai kapan sektor itu bisa mendekarbonisasi hingga menuju sektor hijau,” terangnya.

Lebih lanjut, transisi energi dan taksonomi hijau saling bersinergi untuk menciptakan lingkungan yang hijau, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan pertumbuhan ekonomi serta penciptaan sekitar 3,2 juta pekerjaan hijau yang terjadi pada tahun 2050.

“Banyak manfaatnya. Ketika sudah dilaksanakan, penciptaan lapangan kerja itu lebih besar, bahkan menurut kajian IESR sekitar 3,2 juta pekerjaan hijau itu akan tercipta ketika transisi energi itu terjadi di 2050. Selain itu manfaat kesehatan, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan pertumbuhan ekonomi bertumbuh ke arah yang lebih hijau,” ujar Uliyasi Simanjuntak, Manajer Komunikasi IESR.

Tapi untuk mencapai itu semua, kembali lagi kepada peran masyarakat khususnya anak muda demi percepatan transisi energi di Indonesia.

“Kitalah yang menjadi bagian dari transformasi itu sendiri. Kita bisa mendorong perubahan secara komunal, lalu menaikkan isu ini sebagai isu politik yang prioritas. Kita harap, masing-masing bisa melihat sekarang posisinya di mana, dan menanggung di mana, lalu harus  aware mulai dari sekarang,” pungkas Deon. (*/)

BACA JUGA: MINDFUL CONSUMPTION: RAHASIA BERHEMAT SAMBIL MENYELAMATKAN BUMI ALA GEN-Z

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Lukman Hakim

Penulis lepas yang menuangkan ide secara bebas tapi tetap berasas