In Depth

HEALING, APA YANG MEMBUAT GENERASI Z TERGILA-GILA?

Dikit-dikit healing, sebenarnya lo tahu ngga sih kenapa sih Gen Z itu sebegitu terobsesinya sama “healing” Civs? Simak ulasannya berikut ini ya, Civs.

title

FROYONION.COM - Generasi Z, juga dikenal sebagai generasi digital atau native digital, dan sering dikritik sebagai generasi yang lemah mental dan tidak mampu mengatasi tekanan. Nggak percaya? 

Oke mungkin lu masih ingat sama menfess yang sempet viral setahun yang lalu, yaitu ada maba yang kepingin healing selama 6 bulan. Selain itu Gen Z juga sering dijuluki sebagai "Snowflake Generation" atau "Me Generation" yang dianggap terlalu sensitif dan cepat merasa tidak nyaman. 

Akibatnya, mereka merasa membutuhkan healing ketika dihadapkan masalah, ya walaupun masalah itu nggak begitu serius. Tapi, mengapa justru healing menjadi pilihan bagi generasi ini untuk menjaga kesehatan mental dan emosional mereka?

ESENSI HEALING

Pernah nggak kasih lo ngeliat Instagram story temen-temen lo yang lagi asyik plesiran ke tempat-tempat wisata atau lagi mencoba makanan-makanan yang enak dan di Instagram story temen-temen lo nulis captionhealing”. 

Tapi, lo tahu ngga sih sebenarnya healing itu apa?

Oke, kalau ditinjau dari segi etimologi, healing berasal dari bahasa Inggris yang artinya adalah “penyembuhan”. Sedangkan self berarti “diri sendiri”, maka healing dapat diartikan sebagai “penyembuhan diri”

Akan tetapi, banyak dari kita yang salah memahami makna dari healing hanya terbatas pada permasalahan mental saja atau bahkan ada yang menafsirkan healing hanya sebatas aktivitas berwisata saja.

Pada kenyataannya healing merupakan proses yang sifatnya holistik dan membantu individu untuk mengatasi beberapa permasalahan, baik itu permasalahan fisik, mental, emosional, maupun spiritual. 

Selain itu, aktivitas healing juga beragam mulai dari meditasi, terapi, yoga, journaling atau kegiatan menyenangkan lainnya. Di samping itu, healing juga dapat melibatkan pengobatan alternatif seperti aromaterapi, akupuntur, maupun refleksologi.

So, jangan salah kaprah lagi ya, Civs!!!

BACA JUGA: MENGAPA ANAK MUDA SUKA HEALING DI DESA TAPI ENGGAN HIDUP DI SANA?

TEKANAN SOSIAL

Faktanya, Generasi Z hidup di era Industri 4.0 yang cepat dan penuh tekanan, saat informasi dan konektivitas terus berkembang. Di samping itu, Generasi Z kini juga memasuki era Society 5.0 yang berfokus pada optimalisasi tanggung jawab jam kerja dalam penyelesaian pekerjaan. 

Kedua kondisi ini seakan menjadi combo attack  yang mematikan bagi Gen Z dengan kondisi yang belum pernah dialami oleh para pendahulu mereka, yaitu Baby Boomers, Gen X, Gen Y/ Millennials. 

Dengan kondisi yang demikian, mau tidak mau Generasi Z haruslah menerima realita tekanan sosial yang mana tidak hanya dituntut untuk berkompetisi antar manusia, tetapi juga dituntut untuk berkompetisi dengan ciptaannya sendiri.

Namun, pada kenyataanya kemajuan teknologi yang ada justru seakan menjadi bumerang bagi Gen Z sendiri. Kemajuan teknologi digital yang ada justru membuat Gen Z kurang diapresiasi, dan sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan ini mereka memilih untuk melakukan self-reward atas pencapaian yang telah mereka gapai, misalnya saja dengan liburan atau sekadar dengan memakan makanan kesukaan.

Di samping minimnya apresiasi yang didapat oleh Gen Z, Generasi Z juga harus menghadapi kenyataan pahit lewat tekanan sosial yang semakin beragam, misalnya saja dari media sosial entah itu Twitter, TikTok, Instagram, atau apapun namanya. 

Memang betul dengan kemunculan berbagai platform media sosial tersebut menyebabkan kita dapat dengan mudah dalam melakukan monitor terhadap aktivitas dan kegiatan yang dilakukan oleh individu lainnya tanpa terhalang oleh batasan ruang dan waktu. 

Akan tetapi, dengan adanya platform tersebut justru memicu fenomena FOMO di kalangan Gen Z. Hal ini tak lepas dari tindakan Gen Z yang tak jarang membandingkan dirinya dengan orang lain, yang bahkan mungkin nggak mereka kenal sebelumnya. Contoh takut ketinggalan ketika teman mengunggah twibbon internship di suatu perusahaan. Akibatnya, kondisi ini bisa memicu adanya kecemasan yang berlebih pada Gen Z, dan pada akhirnya akan berdampak pada kondisi psikologis Gen Z itu sendiri.

Hal ini bukanlah tanpa fakta, berdasarkan riset kesehatan dasar yang dilakukan pada 2018 silam yang menunjukkan bahwasanya tak kurang dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun yang mengalami gangguan mental. Sebanyak 12 juta penduduk mengalami depresi. Begitu juga dengan angka bunuh diri pada kalangan remaja yang begitu besar, yakni 1800 orang per tahun berdasarkan data dari Badan Litbangkes pada tahun 2016 silam.

HEALING SEBAGAI ALTERNATIF

Dengan demikian, maka kita tidak  perlu lagi berdebat karena pada esensinya budaya healing yang dilakukan oleh Gen Z dilakukan sebagai upaya untuk mengobati jiwa mereka yang lelah atau bahkan sedang merasa sakit, dengan cara berhenti sejenak dari rutinitas mereka. 

Jika diibaratkan seperti halnya komputer yang mengalami overheat yang apabila dipaksakan bekerja justru tidak akan bekerja dengan optimal. Dengan mereka mengambil break, sekaligus menata ulang tujuan hidup diharapkan mereka dapat kembali ke jalan yang telah mereka tetapkan.

Akan tetapi, dengan lahirnya era internet semakin memudahkan penggunanya dalam mendapatkan akomodasi yang diperlukan sebagai sarana self-healing tadi. Selain itu, dengan kemunculan berbagai platform sosial media yang semakin memudahkan pula para Gen Z dalam membagikan momennya tersebut. Dan dengan adanya kondisi ini pula yang menyebabkan Gen Z mendapatkan julukan sebagai generasi yang manja dan lempeng. Yah walaupun kita sendiri sudah tahu bahwasanya healing sebenarnya sudah ada sedari dulu kala, hanya saja belum terekspos oleh khalayak umum dikarenakan keterbatasan akses media yang ada.

Maka dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwasanya healing yang dilakukan oleh Gen Z sebagai salah satu upaya penyeimbangan hidup atas tingginya ekspektasi kehidupan yang dibebankan oleh generasi sebelumnya terhadap Gen Z. 

Sebagaimana esensi dari healing yang sebenarnya, yaitu “penyembuhan”. Tumbuh dan besar di tengah lajunya perkembangan teknologi yang begitu masif bukanlah perkara mudah, dengan ini juga tuntutan yang dihadapi oleh Gen Z, sehingga memerlukan effort yang lebih besar pula. 

Dengan demikian kondisi yang dialami oleh para generasi pendahulu kita tidak bisa disamakan dengan kondisi yang terjadi pada Gen Z. 

Oleh karena itulah, generasi sebelumnya harusnya memahami kondisi yang terjadi pada Gen Z. Begitu juga nantinya kita dalam merespon segala tindak-tanduk Generasi Alpha yang tentunya akan menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dari kita Gen Z. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Naam Amta Muh Shinin

Coder, writer, and Pengagum Amartya Sen