Pada diskusi oleh Project Multatuli dan komunitas BBB Book Club, masalah harga beras mahal ternyata tidak melulu karena isu perubahan iklim, tapi juga soal berkurangnya keberagaman pangan lokal.
FROYONION.COM - Rabu malam, tanggal 6 Maret 2024 lalu, salah satu diskusi menarik yang membahas harga beras yang melonjak dan meresahkan, digelar.
Diskusi yang tayang secara live di Instagram dan diberi judul Beras Mahal, Benar Salah Iklim? tersebut menghadirkan dua narasumber yang mampu memberikan perspektif berbeda mengenai permasalahan tersebut.
BACA JUGA: TAHU DAN TEMPE LANGKA DI PULAU JAWA, KOK BISA?
Dua narsum tersebut yakni, Ahmad Arif yang merupakan jurnalis sekaligus penulis buku Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan; juga Mawa Kresna yang merupakan redaktur di media online Project Multatuli.
Sedangkan yang menjadi pengawal jalannya diskusi tersebut adalah Puty Puar yang merupakan seorang content creator dan founder dari komunitas Buibu Baca Buku Book Club.
Banyak hal disinggung dan dikupas dalam diskusi ini. Pertanyaan utamanya memang: benarkah harga beras mahal karena isu iklim atau fenomena el nino, padahal negara lainnya di Asia Tenggara yang juga terdampak justru mengalami surplus beras?
Dari titik itu kita dibawa ke pemahaman yang baru, ke perspektif lainnya yang tidak hanya terpaku pada beras belaka.
Melainkan juga soal bagaimana melonjaknya harga beras seharusnya tidak mengguncang ketahanan pangan nasional. Hal-hal semacam itulah yang dijabarkan dalam diskusi tersebut.
Dalam sebuah wawancara yang tersebar di banyak media daring, diungkapkan bahwa alasan utama naiknya harga beras karena kurangnya pasokan beras di Indonesia.
Hal ini bisa terjadi karena adanya fenomena alam el nino yang berdampak terjadinya kekeringan di daerah-daerah penghasil beras di Indonesia.
Ahmad Arif membenarkan hal itu. Karena adanya kekeringan dan kemarau panjang, musim tanam padi pun harus diundur.
Dan ketika hujan mulai turun, nyatanya hujan turun lebat dan hanya sebentar dan membuat tanaman padi yang sudah kadung ditanam harus berakhir layu dan mati.
“Padi merupakan salah satu tanaman yang paling rentan dengan perubahan pola hujan,” kata Ahmad Arif.
Namun, kebijakan pemerintah dalam menghadapi pasokan beras yang berkurang, dinilai monoton dan itu-itu saja karena ujung-ujungnya hanya dengan impor beras.
Padahal bisa jadi ke depannya isu perubahan iklim akibat pemanasan global tersebut intensitasnya akan semakin sering. Dan rasanya tidak bijak jika pemerintah terus melakukan impor beras demi menjaga ketahanan pangan nasional.
BACA JUGA: SUMBAGSEL DAN ‘SERIBU’ MAKANAN BERBAHAN IKAN YANG JADI PRIMADONA TIAP KALI PULANG KAMPUNG
Ada cara lain yang sebetulnya bisa ditempuh demi menjaga ketahanan pangan masyarakat. Salah satunya dengan menghentikan obsesi yang berlebihan masyarakat dan pemerintah terhadap beras.
Langkah ini barangkali penting dipertimbangkan, karena obsesi kita yang berlebihan terhadap beras membangun mindset yang keliru terhadap literasi pangan lokal.
Dua di antara mindset yang keliru dan terlahir dari obsesi tersebut, misalnya kalau belum makan nasi belum kenyang. Juga sumber karbo lainnya, seperti singkong atau ubi yang kerap dianggap sebagai makanan orang melarat.
“Yang bisa kita lakukan adalah mencari pangan seperti apa yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim ini?” jelas Ahmad Arif, “Indonesia sebetulnya memiliki itu, memiliki keragaman bahan pangan.”
Ahmad juga menambahkan banyak bahan pangan lokal, utamanya yang merupakan sumber karbo, merupakan tanaman endemik. Tanaman khas daerah setempat yang bisa tumbuh dengan sendirinya tanpa perawatan khusus, bahkan tanpa perlu diberi pupuk.
Namun, karena ketergantungan kita terhadap beras, kita jadi mengabaikan keragaman pangan itu. Di lain sisi, pemerintah justru mencetak sawah baru di daerah-daerah tempat tanaman endemik itu tumbuh dan semakin mengukuhkan obsesi tersebut.
Akibatnya, akses kita untuk mendapatkan bahan pangan selain beras jadi terbatas karena ketersediaannya yang berkurang jauh.
Mawa Kresna, salah satu narasumber dalam diskusi tersebut, sebetulnya banyak menyinggung soal obsesi masyarakat dan pemerintah terhadap beras dalam tulisannya yang tayang di media Project Multatuli.
Juga soal bagaimana obsesi tersebut ternyata merupakan warisan era kolonial yang dikukuhkan di masa Orde Baru dan hingga kini masih diadopsi oleh pemerintah sekarang.
Selain itu dalam esai yang diberinya judul Disuapi dari Bayi sampai Mati: Dominasi dan Obsesi pada Nasi, ada satu dampak dari ketergantungan beras yang sangat menarik diulik.
Yakni, bagaimana dominasi beras bisa membuat imajinasi kita terhadap makanan tidak berkembang karena melulu stuck pada beras.
“Imajinasi kita kepada makanan itu tidak berkembang. Karena kita sudah stuck pada nasi,” jelas Mawa dalam diskusi.
“Sehingga imajinasi kita untuk punya resep, misalnya punya makanan berbahan singkong (sebagai pengganti nasi) yang enak itu hilang.”
BACA JUGA: INDUSTRI PANGAN KOREA SELATAN GALAKKAN SERTIFIKASI HALAL DEMI PASAR INDONESIA
Menurut Mawa jika kita ingin lepas dari obsesi dan ketergantungan pada nasi, kita perlu menghidupkan kembali imajinasi kita soal makanan selain yang berbahan nasi.
Toh pada akhirnya persoalan makan memang persoalan rasa. Jika makanan berbahan lainnya tidak seenak makanan berbahan nasi, kita tak punya pilihan lain selain mengandalkan nasi belaka.
Namun yang menarik dari ini adalah persoalan rasa itu sebetulnya bisa dilatih. Jika kita tidak mulai membiasakannya, kita tidak akan bisa hidup dengan itu.
Melonjaknya harga beras seharusnya tidak mengguncang kedaulatan pangan kita. Untuk perkara yang satu ini, Ahmad Arif menceritakan kehidupan suku Boti, di Nusa Tenggara Timur, sebagai contoh yang menginspirasi.
Masyarakat suku Boti mampu mencapai kedaulatan pangan karena tidak bergantung pada beras belaka sebagai makanan sehari-hari.
Semua cerita soal suku Boti tersebut bisa kita baca secara lengkap dalam esainya yang tayang di Kompas dengan judul Boti yang Berdaulat Pangan.
Konklusi dari tulisan itu menghasilkan kata kunci yang bisa kita pakai sebagai pedoman dalam mengurangi obsesi terhadap nasi, yakni: menanam beragam, makan beragam.
BACA JUGA: 10 JENIS MAKANAN YANG MENDUKUNG PEMBENTUKAN MASSA OTOT
Dalam tulisannya, Ahmad memotret keseharian masyarakat suku Boti. Salah satunya adalah soal pola makan mereka yang cenderung beragam sesuai dengan musim dan apa yang mereka panen.
Bahkan yang mengagumkan adalah masyarakat suku Boti menolak bantuan raskin (beras miskin) dari pemerintah karena menganggapnya bisa merusak kedaulatan pangan mereka, kemandirian mereka.
Lebih jauh lagi, kedaulatan pangan tersebut juga berkaitan dengan kepercayaan yang mereka anut. Mereka percaya bahwa selama mereka menjaga alam dan tanah, mereka tidak akan berakhir kelaparan.
Mungkin menanam beragam terlalu jauh bagi kita yang hidup di perkotaan. Tapi kita bisa mengambil sikap dengan mulai makan yang beragam. Tak hanya melulu nasi.
Ketergantungan terhadap nasi selain mampu mengguncang ketahanan pangan nasional, juga membawa masalah lingkungan dan kesehatan.
Obsesi terhadap beras membuat bahan pangan lainnya terpinggirkan. Akibatnya yang ditanam kemudian melulu padi dan menghilangkan keragaman hayati yang ada, yang mungkin saja lebih cocok diandalkan sebagai bahan pangan lokal.
Sedangkan, mengonsumsi karbo yang berlebihan dan cenderung itu-itu saja atau beras melulu, meningkatkan risiko diabetes.
Dalam diskusi tersebut, terlihat beberapa audiens yang kebanyakan adalah anak muda, terusik dengan obsesi pada nasi dan menganggapnya sebagai isu. Melihat antusiasme mereka, tampaknya para generasi muda ini ingin punya peran dalam mengatasi isu tersebut.
Lalu apa saja yang bisa kita lakukan buat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap nasi sebagai sumber karbo satu-satunya?
Saya sendiri sepakat dengan saran yang ditawarkan oleh Ahmad Arif. Bahwa perubahan itu bisa kita mulai dari diri sendiri terlebih dahulu.
Kita misalnya bisa membiasakan diri untuk makan sumber karbo selain nasi, seperti singkong rebus atau pisang rebus bersama lauk-pauk dan sayur. Hal tersebut bertujuan agar kita menjadi kenyang dan menghilangkan anggapan bahwa bahan pangan itu sebagai camilan belaka.
Ahmad menekankan pada akhirnya persoalan makan pun juga berkaitan dengan persoalan membangun mindset. Dari sanalah ia menekankan pentingnya makan dengan kesadaran atau mindfulness.
Sedangkan Mawa Kresna menawarkan level selanjutnya dari apa yang disarankan oleh Ahmad Arif sebelumnya. Yaitu kita bisa melatih keluarga dan anak-anak kita untuk makan beragam.
Menurutnya kita tidak bisa menghindari obsesi tersebut jika sejak kecil anak-anak mendapat doktrinasi rasa di lidahnya dengan nasi dan mie instan.
Dengan cara itu jugalah imajinasi kita soal makanan akan hidup kembali. Kita misalnya bisa menciptakan resep mengolah bahan pangan sumber karbo lainnya yang enak untuk disantap.
Sebagai penutup, banyak orang bilang agar kita tidak terjebak di zona nyaman. Apalagi jika zona nyaman tersebut perlahan mulai membahayakan.
Anggaplah ketergantungan pada nasi sebagai zona nyaman tersebut. Dan ketahanan pangan kita bisa terancam karenanya. Jika tak mulai dibiasakan untuk ditekan dan dibatasi, kedaulatan pangan yang sering digaungkan barangkali hanya tinggal mimpi belaka. (*/)