Histeria pada masyarakat terjadi akibat ancaman pemblokiran Google dan Twitter di Indonesia. Apa dampaknya buat perusahaan global ini? Benarkan kiamat internet bakal benar-benar terjadi?
FROYONION.COM - Sudah seminggu ke belakang rasanya timeline media sosial dipenuhi obrolan tentang ‘kiamat internet’. Bukan tanpa sebab, topik ini dipicu oleh peringatan Kominfo kepada seluruh perusahaan teknologi yang beroperasi di Indonesia untuk segera mendaftarkan platform-nya sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).
Akibat yang diderita para perusahaan teknologi kalau nggak segera mendaftar itu nggak main-main, karena nggak sekadar denda aja yang mungkin harus dibayarkan, bisa-bisa layanan mereka diblokir dan berhenti beroperasi di Indonesia. Kebayang kan pusingnya ribuan–bahkan ratusan ribu pemilik online shop kalau platform macam e-commerce diblokir pemerintah kita?
Sebelum membahas ‘blokir-memblokir’ secara lebih lanjut, mungkin lo juga masih bertanya-tanya arti dari PSE itu sendiri. Apakah semua media sosial dan e-commerce yang biasanya di-install di gadget kita itu termasuk ke dalam PSE?
Penyelenggara Sistem Elektronik artinya adalah perusahaan teknologi yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sebuah layanan perdagangan (e-commerce), transaksi finansial, konten gratis dan berbayar, platform berbagi pesan (termasuk media sosial), serta layanan mesin pencari atau search engine (Google, Yahoo Search, Bing).
PSE yang harus mendaftar di Kominfo ini adalah PSE yang bersifat privat, di dalamnya termasuk PSE swasta murni dan juga BUMN.
Simpelnya, seluruh perusahaan teknologi yang layanannya beroperasi dan digunakan masyarakat Indonesia wajib mendaftarkan identitasnya ke pemerintah kita. Jadi, aplikasi macam Netflix, WhatsApp, YouTube, bahkan Google memang harus terdaftar sebagai PSE di database Kominfo per tanggal 20 Juli 2022 ini.
Semuel Abrijani Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika dalam konferensi pers Selasa (19/7) kemarin bilang bahwa perusahaan teknologi yang nggak mendaftar sebagai PSE di Kominfo akan dikenakan sanksi administratif.
Sanksi ini punya 3 tahapan:
Pertama adalah teguran atau peringatan,
Kedua adalah denda administratif, dan
Ketiga adalah pemblokiran layanan.
Ketiga sanksi ini nantinya bakal diberikan oleh menteri secara langsung sebagai bentuk dari hak prerogatif yang dimilikinya.
Lebih lanjut, Semuel menjelaskan peringatan itu nantinya bakal dilakukan kepada 100 layanan / perusahaan teknologi yang punya traffic pengunjung terbesar terlebih dahulu, kemudian 1.000, hingga nantinya +10.000 traffic terbesar di Indonesia.
“Tanggal 21 mulai kita suratin (perusahaan yang nggak mendaftar), paling tidak hal ini sudah terlaksana,” tambah Semuel.
Dari ketiga sanksi administratif itu, disadari bahwa ternyata ketiganya nggak bersifat kronologis. Artinya, sebuah perusahaan bisa aja diberikan teguran tertulis terlebih dahulu, sedangkan perusahaan lainnya bisa langsung diblokir. Semuanya tergantung hasil review dari pihak Kominfo pada tanggal 21 besok.
“Kita lihat nanti. Apakah diberikan teguran dulu, dikasih waktu, apakah langsung denda administrasi, atau pemblokiran,” jelas Semuel.
Kominfo juga sedang merancang tata aturan terkait pengajuan banding / keberatan buat para perusahaan teknologi yang nantinya terkena sanksi. Pengajuan keberatan ini nantinya akan di-review pihak Kominfo, apakah status pemblokirannya bisa dicabut atau nggak.
Terkait pendaftaran PSE, beliau bilang bahwa secara teknis hal ini cukup mudah. Perusahaan yang mengalami kesulitan dalam mendaftarkan layanannya bisa meminta pendampingan kepada pihak Kominfo secara online, dan pendampingan ini tersedia 24 jam. Jadi, menurut pemerintah, nggak ada alasan buat para perusahaan teknologi untuk nggak mendaftarkan layanannya.
Terhitung mulai siang ini (20/7), Meta udah mendaftarkan layanan terbesarnya, contohnya kayak WhatsApp, Facebook, dan Instagram. Sedangkan Google masih belum mendaftarkan beberapa layanannya, meskipun deadline buat mendaftar sebagai PSE di Kominfo berakhir pada pukul 23:59 malam nanti.
Meskipun rasanya kebijakan ini muncul out-of-nowhere, tapi ternyata udah dibuat sejak 2 tahun yang lalu, dan pendaftaran PSE sendiri udah dimulai sejak tanggal 21 Januari 2022, tepat 6 bulan yang lalu.
Kewajiban pendaftaran tersebut diatur dalam Permen Kominfo No. 5 Tahun 2020 dan perubahannya melalui Permen Kominfo No. 10 Tahun 2021. Artinya, kebijakan pendaftaran PSE ini memang udah diatur sedemikian rupa supaya bisa diimplementasikan dan ditaati sama perusahaan teknologi yang beroperasi dan punya ‘massa’ di Indonesia.
Semuel juga bilang kalau kebijakan ini cuma terkait pendataan aja, bukan pengendalian–terutama perihal konten yang ada di dalam layanan-layanan PSE.
“Ini adalah tata kelola, bukan pengendalian, supaya kita tahu siapa saja yang beroperasi di Indonesia, dan apa yang mereka operasikan,” tambah Semuel.
Salah satu tujuan kebijakan ini adalah agar platform mudah diawasi dan terkontrol, terutama kalau ada pelanggaran yang terjadi di dalam platform tersebut.
Sebelum diberlakukan, beliau mengklaim bahwa kebijakan ini pernah dilakukan uji coba publik dengan para stakeholder yang bersangkutan. Juga pada tahun 2019, menteri Johnny G. Plate pernah membuka konsultasi publik terkait Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Tata Kelola PSE yang lagi ramai sekarang.
Memang, secara garis besar, perusahaan apapun yang beroperasi di Indonesia harus mengikuti hukum dan regulasi yang berlaku di Indonesia pula, Civs. Selagi regulasinya masih bermanfaat, rasanya sah-sah aja untuk diberlakukan.
Tetapi, yang membuat publik cemas berlebihan adalah ancaman pemblokiran pada platform yang menyangkut hajat hidup masyarakat. Ada ribuan–bahkan jutaan masyarakat yang menggantungkan nasib serta rezekinya lewat platform yang terancam diblokir jika nggak terdaftar sebagai PSE per hari ini.
Sanksi administratif berupa teguran dan denda lebih layak diimplementasikan ketimbang denda pemblokiran.
Itulah mengapa, kebijakan ini seketika menjadi viral dan mengundang banyak kritik serta komentar negatif dari masyarakat, menciptakan mass hysteria yang sulit dibendung ketika ‘terlanjur’ mengalir di timeline masyarakat.
Tetapi, secara pribadi gue sangat yakin bahwa ‘kiamat internet’ nggak akan terjadi di Indonesia. Pastinya akan ada banyak pendekatan diplomatis antara perusahaan teknologi dan pemerintah kita terkait regulasi ini.
Jadi, buat kalian, nggak perlu takut dan dibawa santai aja, karena pemerintah juga kan masih butuh Google buat baca artikel ini hehe. (*/)