Anak muda nggak suka politik padahal penyumbang suara paling potensial. Salah anak muda yang acuh atau memang politiknya yang nggak asik sih?
FROYONION.COM - Pemilihan umum (Pemilu) a.k.a pesta demokrasi lima tahunan bakal digelar tahun depan nih, Civs. Nggak kerasa kalau sebentar lagi rezim pemerintahan dan juga anggota-anggota legislatif di negeri ini bakal bergeser jadi sosok-sosok baru yang lo pilih.
Buat yang nggak tahu, pemilu itu adalah kontestasi politik buat memilih Presiden dan Wakil Presiden dan juga anggota-anggota yang akan duduk di kursi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2024–2029.
Makanya, para politisi pun sebenarnya sudah mulai gencar melakukan ancang-ancang untuk nanti berkampanye untuk merebut atau mempertahankan kursi itu nantinya. Salah satu yang menjadi sasaran bagi para politisi itu adalah anak muda, yang mungkin kerap kali dicap apolitis dan nggak menyukai politik praktis karena berbagai alasan.
Bukan tanpa sebab cuy, data statistik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan kalau persentase anak-anak dari golongan Milenial dan Gen Z dengan hak pilih cukup tinggi, hampir separuh dari keseluruhan jumlah pemilih nantinya.
Untuk kelompok Milenial, tercatat mereka yang memiliki hak pilih sebanyak 30,1 juta jiwa. Sementara dari kalangan kelompok Gen Z sebanyak 67,8 juta jiwa dari total 190,5 juta jiwa orang dengan hak pilih tahun depan. Artinya, anak muda bisa menjadi ‘lumbung’ suara bagi partai politik atau politikus yang berebut kekuasaan.
BACA JUGA: KENAPA ANAK MUDA JANGAN SAMPAI BUTA DAN CUEK SAMA POLITIK?
Masalahnya, selama ini politik selalu menjadi bahan pembicaraan yang nggak asik buat anak muda. Alasannya beragam, mulai dari diisi oleh orang-orang yang berbeda generasi sehingga mengakibatkan munculnya perbedaan persepsi. Hingga kinerja mereka yang seringkali dianggap tak selaras dengan janji yang dilontarkan semasa kampanye.
Makanya cara-cara kampanye konvensional yang hanya mengumbar janji sebenarnya sudah nggak mempan buat anak-anak muda dengan sikap kritis yang didukung dengan kemajuan teknologi dan internet.
Seringkali mungkin yang salah dari cara politik melihat anak muda adalah hanya sebagai sumber pemberi suara yang potensial. Padahal, anak muda dan politik bisa lebih dari itu. Partisipasi, minat dan kebutuhan anak muda terhadap politik sangat besar mulai dari kolaborasi hingga penyelesaian masalah terkini.
Banyak juga kok sekarang ini sosok-sosok anak muda yang melek politik dan nggak mau cuma sekedar jadi penonton dan pemberi suara doang. Isu-isu yang disuarakan oleh anak muda seharusnya jadi salah satu masalah yang diselesaikan oleh para pemangku kekuasaan di politik nantinya.
BACA JUGA: NGOBROLIN POLITIK DI INDONESIA BERSAMA POLITISI MUDA FARAH SAVIRA
Nah, masalah tentang bagaimana politik memandang anak muda itu juga diidentifikasi sama pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin. Saat gue berdiskusi dengan doi soal politik dan anak muda ini, Ujang mengatakan kalau sebenarnya banyak cara yang nyatanya nggak dilakukan politisi untuk mendekati anak muda dengan tepat.
"Pemilih 2024 itu 50 persenan berasal dari pemilih muda. Kalau dalam istilah saya katakan, jika kita ingin mendekati suatu kaum atau suatu masyarakat, maka kita harus menggunakan bahasa kaumnya itu," kata Ujang saat berbincang, Senin (30/1).
Beberapa gimmick politik yang mulai terlihat dalam beberapa waktu terakhir untuk menggaet anak muda, kata dia, misalnya regenerasi partai dengan wajah-wajah anak muda kekinian. Banyak tokoh-tokoh politik yang mulai meneruskan trah keberlanjutan partainya kepada anak muda sehingga bisa tetap relate dengan pangsa pasarnya.
Selain regenerasi, politik kini juga mulai mendekati tokoh-tokoh yang dianggap dekat dengan anak muda untuk kemudian bisa bergabung membatu ataupun terjun secara langsung ke dalam politik praktis. Makanya jangan kaget kalau sekarang ini anak-anak dari Presiden Joko Widodo seperti Gibran Rakabuming Raka ataupun Kaesang Pangarep mulai menunjukkan ketertarikan terhadap politik secara terang-terangan dan terus menerus.
Selain itu, gimmick-gimmick politik dengan menirukan polah dan tingkah laku anak muda juga mulai banyak digunakan belakangan. Mulai dari menggunakan sosial media secara aktif diikuti dengan jokes yang ‘anak muda banget’, bahkan nggak jarang juga politisi yang ngikutin tren dan mau joget-joget mengikuti lagu TikTok yang kekinian untuk bisa tetap terhubung dengan anak muda.
Nggak mungkin pemilih muda didekati dengan gaya yang konvensional, gaya-gaya lama, gaya-gaya tua. Makanya ada pendekatan yang dilakukan para elite politik, oleh para politisi untuk mengikuti gaya anak muda itu," jelas dia.
Tapi di sisi lain, Ujang beranggapan kalau politisi nggak akan bisa beradaptasi dengan anak muda kalau hanya melakukan gimmick-gimmick politik saja. Seharusnya, ada langkah praktis yang diambil untuk bisa memahami apa masalah yang dihadapi oleh anak muda zaman sekarang dan menyelesaikannya.
Dalam hal ini, penting agar politisi mengidentifikasi terlebih dahulu segmentasi anak muda yang ingin digaet. Jangan lupa cuy, beda orang tentunya beda juga masalah yang harus diselesaikan.
Misalnya, kata dia, dua masalah anak muda yang hingga saat ini banyak belum disentuh oleh politik secara serius adalah tentang keberlangsungan pendidikan yang berkualitas hingga masalah ketenagakerjaan. Dua hal tersebut menjadi struggle anak muda yang nggak kunjung diselesaikan.
"Tergantung dari komunitas mana anak muda itu berasal. Kalau dari kalangan kampus, anak mudanya bisa didekati dengan culture akademik seperti menyiapkan beasiswa atau menyiapkan peluang-peluang pekerjaan bagaimana nanti ketika lulus," ucap Ujang menjelaskan.
Jangan sampai, kata Ujang, politisi salah mengidentifikasi masalah apa yang dihadapi oleh anak muda dan akhirnya malah menyajikan solusi yang nggak dibutuhkan. Hal itu malahan bikin anak-anak muda jadi makin anti dengan politik negeri atau situasi ini biasa dikenal dengan apolitis. Mereka nggak politik karena menganggap politik itu nggak penting buat jadi bagian dalam hidup mereka.
BACA JUGA: ‘LIKE & SHARE’ ANGKAT ADIKSI PORNOGRAFI DAN KEKERASAN DI TENGAH ANAK MUDA
Kalau lo ingat pada pemilu 2019 lalu, ada Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang katanya anak muda banget tapi ternyata gagal meraup suara yang banyak bahkan hanya untuk melenggang ke Senayan. Sebagai informasi, hasil rekapitulasi KPU 2019 lalu menempatkan PSI dalam urutan ke-12 dari 17 parpol dengan perolehan suara 2.650.361 juta atau 1,89 persen.
PSI diketahui seolah membawa warna baru di kontestasi pemilu lalu. Mereka sebagai partai baru yang berlomba dengan mentereng membawa nuansa anak muda.
Kira-kira kenapa PSI bisa gagal? Hal itu nggak lepas dari cara kampanye yang hanya membawa nuansa anak muda tapi tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh anak-anak muda itu sendiri. Kalau kata Ujang, PSI pada pemilu lalu cuma menjual kata-kata 'sebagai anak muda' padahal pesan politik yang mau dibawakan tidak tersampaikan dengan tepat.
Supaya nggak jatuh ke ‘lubang’ yang sama, gue sih sebenarnya cukup berharap kalau politisi ataupun partai politik di 2024 nanti nggak memandang anak muda sebagai lumbung suara yang potensial saja sih. Sebenarnya penting banget supaya gimana politik itu bisa menyentuh simpati dari anak muda sehingga menumbuhkan rasa kesadaran yang tinggi atas kebutuhan politik itu sendiri. (*/)