Di tengah rintangan dunia yang kadang suka bikin tumbang. Kita perlu perluas sudut pandang biar hidup lebih tenang. Yuk coba latih flexible thinking mulai dari sekarang!
FROYONION.COM - Semakin dewasa, semakin banyak tekanan yang diterima. Semakin dewasa, semakin banyak tanggung jawab yang harus direngkuh. Semakin dewasa, semakin banyak hal yang dipikirkan. Sesekali mungkin sempat merasa kelelahan. Sesekali mungkin sempat merasa kewalahan. Sampai terkadang hati berkata “Gini amat yang kehidupan?”
Menurut survei nih Civs, situasi itu kerap kali dirasakan oleh kaum-kaum usia 20-an. Katanya, usia tersebut adalah fase terberat dalam hidup. Setuju sih, lagi merasakan keadaan yang sama juga soalnya. Di usia 20-an tuh ada banyak banget kejutan yang seringkali mengagetkan. Baik itu yang membahagiakan sampai yang menyedihkan. Semuanya seolah punya andil buat mewarnai proses pendewasaan. Hahaha ngenes banget.
Pada fase ini, beragam kegagalan, kekecewaan, dan kehilangan seringkali datang tanpa diundang. Belum lagi hadirnya banyak tuntutan. Harus begini, harus begitu. Seolah nggak dikasih napas buat menyelesaikan satu persatu. Kenyataan pahit itu pun sempat buat semangat memudar.
Rasanya kaya pengen menyerah. Rasanya setiap jalan terlalu gelap untuk dilewati. Enggak ada titik terang yang terlihat. Semuanya seolah buram dan memberikan warna pucat. Mungkin kita masih sedikit kaget aja kali ya dibangunin sama kenyataan. Lagipula juga belum ada persiapan yang matang. Semua terjadi serba dadakan. Ya wajar sih kalau masih sering timbul keluhan.
Mungkin, tumbuh dewasa emang nggak semudah yang kita kira, tapi juga nggak serumit yang kita khawatirkan juga, kok. Tetap tenang, jangan terlalu dijadikan beban. Kalau lagi dihadapkan kenyataan-kenyataan pahit, coba terapkan flexible thinking, Civs. Lo pasti bisa merasa lega dan luka lo pun lekas reda. Kalau udah begitu, rasa tenang dan bahagia akan kembali tercipta.
Flexible thinking memiliki arti berpikir luwes atau fleksibel dalam Bahasa Indonesia. Istilah ini berasal dari kata “Fleksibilitas” yang berhubungan erat dengan elastisitas dalam melakukan sesuatu. Menurut dr Lisa Feldman Barrett, Neuroscientist & Psikolog, Northeastern University: Fleksibilitas adalah kemampuan untuk menyesuaikan pikiran, tindakan, dan perasaan dengan keadaan yang dialami saat itu. Situasi seringkali berubah, jadi sangat penting untuk dapat menyesuaikan dan berperilaku paling fungsional untuk mencapai sesuatu.
Sederhananya, flexible thinking itu kemampuan memandang suatu situasi dari sudut pandang yang berlawanan atau kontradiktif. Kalau diibaratkan dalam dunia fotografi, flexible thinking ini memiliki fungsi seperti lensa yang bisa diatur sesuai dengan keinginan. Terus, dalam memotret pun perlu sedikit pergerakan untuk menentukan angle yang tepat. Hal itu dilakukan biar hasil foto objek bisa terlihat menarik.
Sama halnya dengan masalah apapun yang sedang lo hadapi. Ibaratkan masalah itu seperti objek dan manusia adalah fotografernya. Setiap fotografer berhak menentukan angle, mengatur lensa, mencari pencahayaan, dan melakukan apapun agar objek itu dapat terbidik dengan baik.
Jika ada sesuatu yang menghalangi objek, maka disingkirkan dulu. Jika cuaca sedang mendung dan kurang cahaya, maka fotografer bisa mencari akal yang lain. Ada beragam cara untuk membuat objek itu menarik di kamera. Semua tergantung bagaimana kemampuan fotografer dalam memanfaatkan flexible thinking-nya.
Seringkali, saat masalah datang manusia hanya memandangnya dari satu sisi yaitu sisi negatif. Padahal ada banyak sisi lain yang positif. Sisi-sisi yang bisa menjadikan masalah itu nampak menarik. Ada beragam keindahan yang bisa kita ciptakan sendiri padanya. Ada beragam pelajaran yang pasti tersirat di dalamnya. Ada banyak kebahagiaan yang akan selalu hadir setelahnya.
Sayangnya, selama ini kita hanya jadi perasa, tapi enggak benar-benar peka. Kita sangat terganggu dengan bau menyengat, tapi hanya terus mengeluhkannya. Terus terbawa emosi dan menyalahkan situasi. Padahal, kita juga mampu untuk beraksi mencari solusi. Berusaha menemukan cara agar bau itu hilang atau setidaknya berkurang. Dengan terus mencari sumber penyebabnya dari berbagai sudut pandang. Lagi dan lagi, flexible thinking perlu dimanfaatkan.
BACA JUGA: ALASAN KENAPA LAPTOPAN DI COFFEE SHOP BISA BIKIN LO BERPIKIR KREATIF
Kalau masih merasa bingung, ada dua implementasi konkret dari flexible thinking, nih, Civs. Ada dua gambaran situasi dengan angle kontradiktifnya. Ya, semoga aja bisa jadi referensi kalau suatu saat nanti kamu lagi menghadapi situasi yang sama. Enggak ada yang tahu kan sama apa yang bakal terjadi di depan? Jadi, selagi mampu buat cari langkah antisipasi, kenapa enggak?
Sebelum masuk, maaf kalau dua situasi ini bakal mengundang luka dan trauma masa lalu. Enggak bermaksud, kok, serius deh. Kalau nggak percaya coba tanya Cepmek. Dijamin dia juga nggak tahu. Udah deh, cukup bercandanya, kasian, lo pasti udah sering dibuat ketawa sama drama nge-badut lo itu.
1. Situasi pertama: ketika lo menerima kegagalan paling menyedihkan. Bisa berupa gagal mendapatkan juara di lomba yang sangat kamu impikan. Gagal diterima menjadi mahasiswa di kampus idaman. Gagal mendapatkan nilai yang bagus. Bisa juga hal-hal lainnya.
Kata-kata yang berhak keluar dari mulut lo: “Gue sedih, marah, kecewa, stress, dan berantakan,” luapkan saja. Jangan mengelak dari kejujuran perasaan lo. C’mon, lo wajar merasakannya. Nangis aja kalau emang itu buat lega. Teriak aja yang kenceng kalau memang itu buat lo sedikit membaik.
Lakuin hal-hal lain dulu yang buat lo ngerti sama diri sendiri. Enggak usah terlalu terburu-buru untuk bangkit kalau hati masih sakit. Nanti bukannya sembuh malah makin rapuh. Eh tapi, jangan juga terlalu lama terjebak dalam kesedihan itu. Nanti, lo bakal kehilangan banyak kesempatan dan waktu.
Kalau udah dirasa cukup membaik saatnya lo berpikir fleksibel. Yang negatif-negatif tadi kan udah diladenin. Sekarang, waktunya hal positif turut ikut andil. Buka kacamata hitam penuh kesedihan lo itu. Terus, ngomong sama diri sendiri “Oke, gue udah sedih. Now, It’s time to be happy again. Semua pasti bakal berlalu. Kegagalan yang kemarin itu bisa jadi pelajaran buat ke depan. Tuhan pasti udah siapin rencana terbaik setelah ini buat gue.”
2. Situasi kedua: ketika lo diputusin pacar, di-ghosting seseorang yang lo suka, jadi korban love bombing, dan jadi nice try person. Intinya, ketika lo kehilangan seseorang yang lo sayang.
Sama seperti situasi pertama, lo berhak meladeni perasaan berantakan lo dulu. Lo bebas mengungkapkan apapun. Lo bebas untuk bilang “Gue galau banget, gue jengkel banget. Kenapa sih woy kisah cinta gue begini amat. Ujung-ujungnya berhenti, ujung-ujungnya pisah, ujung-ujungnya sendiri lagi. Asghsakjash (saking speechless-nya jadi gini)”
Kalau udah puas, baru deh jiwa-jiwa bijak perlu dimunculin lagi “Ya udahlah cukup sedihnya. Setiap orang yang dateng kan selalu punya perannya sendiri-sendiri. Kalau dia pergi, berarti peran dan waktunya dia di hidup gue udah berhenti. Bersyukur aja deh karena pernah ketemu, brengsek brengsek kaya gitu juga pernah jadi salah satu alasan senyum gue dulu. Mungkin sekarang kudu lebih hati-hati buat kasih hati. Dan percaya aja kalau setelah ini, Tuhan mau kasih sosok pengganti yang jauh lebih baik lagi. Mungkin habis ini bakal ketemu sama Sultan Dubai yang ganteng, sholeh, setia, dan kaya kali ya.”
Setiap manusia nggak pernah bisa ngelak dari setiap masalah yang datang. Enggak ada salahnya untuk menikmati perasaan yang berantakan. Setiap manusia kan selalu punya kontrol penuh atas perasaan dan pikiran untuk menghadapi masalah itu. Yang terpenting, perlu ada tindakan yang positif aja setelahnya. Bukannya munafik atau labil, tapi itulah fungsi dari flexible thinking, Civs. Biar lo tetap berhak menerima kejujuran dari apa yang lo rasakan. Terus lo juga berhak untuk hidup lebih tenang dan bahagia setelahnya. Jadi, enggak apa-apa buat kenapa-kenapa, tapi juga perlu mikirin gimana biar perasaan nggak gitu-gitu aja.