Esensi

EUFORIA BELI BARANG DI TOKO KELONTONG VS TOKO MODERN

Toko kelontong! Apakah masih relate di kalangan Gen Z?Yuk kita bandingkan dengan toko modern.

title

FROYONION.COM - Tak dapat dipungkiri Toko Kelontong masih menjadi primadona masyarakat kita dari mulai kelas atas hingga bawah semuanya pasti pernah merasakan euforianya. Saya sebagai brojolan dari kedua orangtua yang dibesarkan dari jualan kelontongan sangat ingin menyampaikan pada pembaca sekalian bahwasanya, belanja di toko kelontong itu masih worth it kok meskipun kita udah hidup di jaman yang serba klak-klik barangnya ujug-ujug udah sampe depan rumah. 

Toko Kelontong adalah sebuah toko yang menjual berbagai macam keperluan rumah tangga yang dimulai dari kebutuhan sandang, pangan dilanjut papan. Untuk sandangnya biasa dijumpai meliputi  sandal, kaos kaki, pakaian dalam dan sebagainya. Sedangkan, untuk pangan di toko kelontong itu super lengkap loh ada beras, gula, air mineral, minuman manis, obat-obatan, jajanan untuk anak-anakmu yang keburu pengen itu dan berbagai macam jenis pangan lainnya. Untuk papan ini biasanya sangat terbatas di toko kelontong pada umumnya itupun hanya bahan dasarnya tok, untuk membuat rumah misalnya paling-paling ada semen, cat, kuas, kalsium karbonat pun juga terdapat di toko kelontong yang standar. 

Toko Kelontong adalah sebuah revolusi dari toko sembako karena jika hanya menjual sembako alias sembilan bahan pokok saja maka secara hitung-hitungan kasar ya kurang, akan lebih “menyaruk” atau profitable lagi jika kita menjual sandang, pangan dan papan pokoknya yang sering kalian butuhkan saat menjalani kehidupan di sela desas-desus tanda kiamat yang sering terjadi sepanjang abad. Eh BTW konon katanya, toko kelontong Madura masih buka setengah hari loh menjelang Kiamat. 

Menurut sejarah, Toko kelontong mulai memasuki Indonesia sudah sejak masa kolonial Belanda di abad-19. Sebab aturan dari pemerintah untuk mendorong laju produksi barang-barang pokok masyarakat sehingga membuat permintaan membludak dan muncullah para pedagang-pedagang kelontong yang menjual dagangannya secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, kebanyakan pedagang berasal dari orang Tionghoa. Uniknya sebutan kelontong ini muncul juga dari orang Tionghoa itu sendiri yang membuat alat bunyi-bunyian untuk menarik pembeli. Alat itu berbentuk seperti rebana dengan tali pendek di kedua sisi dan biji bulat di ujungnya. Rebana ini digerakkan ke kanan dan kiri pada tangkainya untuk memberitahu kepada masyarakat yang ada di dalam rumah bahwa pedagang itu sedang melewati rumahnya. Dari bunyi itu, banyak orang yang akhirnya membuat penamaan dengan kata ‘kelontong’. Kalau kalian tau “Klontong Sapi” ya begitulah nyebutnya. 

Untuk Toko Modern sendiri adalah bentuk revolusinya lagi dari sebuah Toko Sembako dan revolusinya lagi dari Toko Kelontong. Yah kalian tau sendiri Indoapril sama Alfaalfi, intinya sih lebih modern dan digandrungi sobat Gen Z. 

Sekarang kita masuk list pembahasan terkait euforia belanja di toko kelontong vs toko modern yok. 

Warung Kelontong Dan Dramanya

Riuh gemrusuk konsumen toko kelontong bokap itu selalu saja terdengar sayup-sayup dari dalam kamarku entah itu, dialog basa-basi antar tetangga, obrolan cabe yang harganya ndak masuk akal dan obrolan-obrolan panas terkait skandal didesa juga turut hadir mengisi kesunyian kamarku yang cuman berlapiskan triplek. 

Beda kalau di toko modern, orangnya lebih cenderung individualis. Kalo beli ya beli udah abis itu yaa pergi. Mungkin karena faktor kamera cctv dimana-mana dan banyak cahaya membuat toko modern lebih menimbulkan kesan sungkan bagi kastemer didesa-desa untuk mengadakan forum gosip atau membahas tentang childfree dan harga yang sudah banyak tercantum di rak display membuat kita semakin lebih to the point lagi perihal metode berbelanja sehingga menimbulkan kesan acuh tak acuh antar kastemer dengan kasir. 

Balik lagi ke Toko Kelontong yang nyatanya masih banyak menuntut kita untuk saling berinteraksi entah tanya harga, tanya basa-basi. Ya karena apa? “karena ditoko kelontong itu kebanyakan masih menggunakan cara tradisional”. Misal harganya aja masih belum sempet ketulis di barang, nota yang belum disobekin dengan tinta yang belum sempat kering semuanya membuat prosesi akad jual beli itu begitu menguras waktu dan keringat. Maka dari itu timbulah kumpulan para emak-emak yang suka gosip tadi yang membuang sebagian waktunya di toko kelontong. 

Ada loh, yang pergi ke Toko Kelontong itu untuk cuman sekedar gosip doang dengan kerabatnya. 

Lebih Murah di Toko Kelontong

Gatau kenapa kebanyakan setiap toko kelontong selalu mendapat predikat sebagai toko yang paling murah jika dibandingkan toko-toko modern sekelasnya. Ya, mungkin ini sebabnya kenapa Tran*mart pada berguguran kali yaa. 

Untuk perihal teknisnya toko kelontong memang terkadang tampak sederhana. Bermodal lampu neon sebiji dan kipas angin tempel putar kanan-kiri sudah cukup bisa menerangi dan mendinginkan seluruh jagat ruangan toko. Beda lagi dengan toko modern, butuh berapa neon itu untuk menerangi seluruh ruangannya. Belum lagi AC dan fasilitas kelistrikan lain yang menimbulkan biaya operasional toko membengkak. 

Sistem komputerisasi di toko modern juga menimbulkan biaya agak lebih mahal karena harus ada biaya untuk programmer belum lagi printilan kertas yang serba di print otomatis dengan tinta berliter-liter. 

Semua hal itu terpangkas di sistem tradisional toko kelontong cukup pake pulpen dan nota dari kertas sobekan dus rokok bekas. Belum lagi banyak pegawainya yang udah hafal dengan mayoritas harga barang disana, hahaha impresive sekali bukan.  Mungkin itulah yang membuat toko kelontong jauh lebih murah dibanding toko-toko modern sekelasnya. 

Asal Muasal Kalcer Paylater

Pernah kepikiran gasih, para fintech-fintech itu sebenarnya terinspirasi dari sistem toko kelontong yang menyediakan fitur paylater. 

Acapkali sebagian besar toko kelontong menyediakan fitur bon atau paylater tak terkecuali di toko bokap sendiri dengan range konsumen para tetangga dan mereka(konsumen) yang sudah lumayan dekat dengan pemilik toko. Mereka selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan untuk mendapatkan ego(barang) mereka, entah atas dasar apa terkadang alasannya terlalu dilebih-lebihkan untuk mendapatkan fasilitas paylater yang tidak berbunga ini. 

Ada cerita di toko bokap itu, seringkali ada orang lupa atau kadang kurang uangnya. Mau ga mau harus paylater kan, biasanya dikembaliin duitnya ya hari itu juga ada juga yang berhari-hari baru dikembaliin. 

Ada yang lebih lucu lagi, ini udah paylater bertahun-tahun. Eh pas ditagih alesannya uangnya masih kepake. YA DAN BANYAKKK. 

Terlepas dari semua problematika diatas mungkin dari toko kelontonglah sistem paylater yang lebih modern dan konsen lahir. 

Pada akhirnya setiap toko baik kelontong maupun modern mempunyai lebih kurang dan ciri khas masing-masing tergantung kenyamananmu belanja dimana kalau nyaman di kelontongan tradisional ya monggo. Tapi ya itu sumuk, engap, lama. Tapi kalau mau di modern yang monggo, tapi yo mahal. Nek kemahalen yo tinggal baliko ke kelontongan.

Kalau kata Gusdur “Gitu Aja Kok Repot”. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Roni Jonok

Pengangguran yang kebanyakan freelance, kalau lagi edgy bertransformasi jadi freelance yang kebanyakan nganggur. Bisa fotografi, videografi dan desainer grafis tingkat dasar sesekali nulis kalo lagi butuh duit.