In Depth

ELDEST DAUGHTER SYNDROME, REALITAS HIDUP ANAK PEREMPUAN PERTAMA

Solusi bertahan hidup dari ekspektasi dan beban keluarga ala anak perempuan pertama.

title

FROYONION.COM - Kata penyanyi Kunto Aji dalam lagunya yang berjudul Sulung, “Yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri”. Namun, lirik lagu tersebut nyatanya tidak berlaku untuk para anak perempuan pertama dalam keluarga. 

Sebagai seorang anak yang hidupnya dikelilingi oleh ekspektasi, sepertinya lirik lagu tersebut akan berubah menjadi: “Yang sebaiknya kau jaga adalah beban semua orang”. Terdengarnya miris, tetapi memang dalam kenyataannya kebanyakan dari anak perempuan pertama diharuskan memikul beban dan ekspektasi keluarganya.

BACA JUGA: TERKADANG TELAT NIKAH LEBIH BAIK, DARIPADA DEPRESI DIKIT KELUARGA JADI KORBAN

Di beberapa kasus, anak perempuan pertama cenderung dilabeli sebagai perempuan yang keras kepala, egois dan galak. Ini dikarenakan eksistensinya yang terkadang menjadi ancaman bagi beberapa orang. 

Padahal mereka menjadi orang yang keras dan galak tak jarang menjadi coping mechanism seorang anak perempuan pertama. Fakta-fakta di atas menjelaskan sedikit mengenai eldest daughter syndrome atau sindrom anak perempuan pertama yang ramai diperbincangkan netizen di platform media sosial.

Jadi apa itu sebenarnya eldest daughter syndrome dan kenapa sindrom ini bisa mempengaruhi kepribadian seseorang yang lahir sebagai anak pertama khususnya perempuan? Mari kita bahas!

STIGMA DAN PERAN ANAK PEREMPUAN PERTAMA

“Jangan pacarin anak cewek sulung deh, ribet soalnya nanti diatur-atur”. Begitu mungkin pemikiran sebagian orang soal karakter anak perempuan pertama. 

Tak jarang, keberadaan anak perempuan pertama dinilai terlalu signifikan atau mendominasi suatu tempat. Karakter yang biasanya identik dengan anak perempuan pertama antara lain pemarah, keras kepala, ambisius sampai mandiri atau independen. Itulah kenapa, masyarakat menganggap anak perempuan pertama cenderung mendominasi sesuatu. 

Hal tersebut bukan suatu kebetulan atau tanpa bukti. Peran dalam keluarga dan pola asuh yang diberikan oleh orang tua sangat mempengaruhi pembentukan karakter anak perempuan pertama yang akhirnya dinamakan eldest daughter syndrome.

Dilansir dari betterhelp.com, psikiater Alfred Adler berpendapat bahwa birth order atau urutan kelahiran dapat menentukan karakter seseorang. “Hal ini karena pola pengasuhan orang tua cenderung serupa pada anak yang lebih besar. Ya kalau anak pertama biasanya diasuh lebih keras dan disiplin,” ungkap Adler. 

Bukan hanya pola asuh orang tua yang cenderung sama sesuai dengan urutan kelahiran anak, ternyata struggle yang dihadapi anak perempuan pertama biasanya mirip. Contohnya, beban-beban yang harus dihadapi untuk memenuhi ekspektasi keluarga yang tinggi. Struggle tersebut agaknya menjadi makanan sehari-hari anak perempuan pertama “pengidap” eldest daughter syndrome ini.

Di lain sisi, seorang psikoterapis bernama N. Morris juga berpendapat bahwa anak perempuan pertama justru tumbuh bersama orang tua mereka. Menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah dan banyak orang tua baru yang seringkali harus menyesuaikan diri dalam mengasuh anak, terutama anak pertama mereka, demikian dilansir dari girlsbeyond.com.

EKSPEKTASI TINGGI, DUKUNGAN RENDAH

Fenomena eldest daughter syndrome ini sempat menjadi buah bibir di beberapa platform media sosial khususnya TikTok. Konten-konten TikTok dengan hashtag #eldestdaughtersyndrome telah mencapai 299 juta video. Beberapa kreator juga menjelaskan bahwa eldest daughter syndrome ini bukanlah penyakit mental melainkan realita yang dihadapi banyak anak perempuan pertama. Dan biasanya realita yang dihadapi tidak mudah karena adanya ekspektasi tinggi dari keluarga. 

Salah satu karakter dari film NKCTHI (Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini) bernama Angkasa, yang merupakan gambaran dari ekspektasi tinggi yang harus dihadapi seorang anak perempuan pertama dalam keluarga. Dalam penggambaran karakternya, Angkasa digambarkan menjadi seorang anak perempuan pertama yang harus mengurus adik-adiknya dan sekaligus harus mengejar apa yang menjadi mimpinya. Dua hal yang tidak mudah tersebut membentuk Angkasa menjadi anak perempuan pertama yang harus mengesampingkan perasaan pribadinya demi memenuhi ekspektasi keluarga. Selain itu, dukungan yang rendah dari keluarga maupun saudara kandung juga mempengaruhi perubahan karakter maupun kehidupan Angkasa.

Menurut Michelle Elman, seorang life coach and boundaries expert, beberapa orang tua menganggap bahwa anak perempuan pertama bertugas untuk menjadi orang tua kedua bagi adik-adiknya. Bukan hanya memiliki peran ganda tetapi anak perempuan pertama juga dipastikan cenderung tumbuh menjadi seorang caregiver. Elman juga mengungkapkan bahwa ekspektasi masyarakat terhadap perempuan menjadi salah satu faktor utama seorang anak perempuan pertama mengemban beban dan peran ganda dalam keluarga meskipun dengan dukungan yang rendah.

BERTAHAN HIDUP ALA ANAK PEREMPUAN PERTAMA

Ekspektasi dan peran ganda keluarga memang tidak bisa dihindari. Sebaliknya, kedua hal tersebut menjadi “makanan pokok” seorang anak perempuan pertama. Tak jarang, ekspektasi yang diberikan juga berpengaruh terhadap kesehatan mental. Mulai dari perubahan cara berpikir, karakter dalam mengatasi permasalahan sampai perubahan pandangan dalam sebuah hubungan, khususnya hubungan asmara.

Anak perempuan pertama cenderung mengesampingkan kehidupan personalnya demi memenuhi tanggung jawabnya dalam keluarga sebagai seorang caregiver

Dari sini muncullah sebuah pertanyaan: “Jadi anak perempuan pertama tidak bisa memiliki mentalitas yang baik dan hidup dengan baik?”

Jawabannya sangat mungkin, hanya saja memang mereka ini memerlukan keberanian dan proses yang cukup memakan tenaga.

Ada dua cara yang ampuh untuk sekadar bertahan hidup dari beban-beban sebagai anak perempuan pertama. Yang pertama adalah selalu cari tempat yang berisi orang-orang yang nggak punya ekspektasi besar terhadap anak perempuan pertama. Mungkin bisa mencoba join komunitas-komunitas anak muda yang positif. Biasanya komunitas yang positif memiliki beberapa kegiatan yang membantu cara pandang dalam menyikapi ekspektasi keluarga. Menyibukkan diri juga menjadi solusi seseorang bisa sementara melupakan beban-beban dari tanggung jawab yang harus dilakukan. Ujung-ujungnya, cara ini memang membantu kesehatan mental anak perempuan pertama.

Cara yang kedua adalah mengetahui prioritas yang harus dikejar. Sebenarnya, mengejar mimpi-mimpi pribadi itu bukanlah sebuah hal yang egois. Beberapa orang menganggapnya sebagai keegoisan, jika anak perempuan tertua memilih mengejar karir dan meninggalkan tanggung jawab dalam mengurus orang tua maupun adik-adiknya. Standar yang ditetapkan untuk perempuan dalam Masyarakat khususnya sebagai anak pertama itu terkesan ganda. Maka dari itu, sangat penting untuk mengetahui prioritas dan nilai diri dalam menjalankan kehidupan sebagai anak perempuan pertama. 

Pada akhirnya, menjadi anak perempuan pertama itu bukanlah hal yang mudah tetapi bukan juga hal yang nggak bisa dihadapi. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Patricia Martha

Mahasiswa sastra dengan isi kepala penuh, anak jurnalisme ulung, pejuang tingkat akhir