In Depth

DILEMA ANAK DAERAH: MO GAUL PAKE “LO GUE” TAPI NGERASA ANEH

Dilema penggunaan bahasa gaul bagi anak daerah, kalo pake dikira sok gaul kalo ga pake dikira katro. Saat merantau hal sulit apa yang kalian rasakan untuk beradaptasi di tempat baru? Apakah kalian merasa kehilangan identitas bahasa daerah kalian?

title

FROYONION.COM - Kalo aku sebagai orang Jawa yang baru saja pindah ke Jakarta adaptasi tersulit awalku adalah bahasa, bukan berarti aku ga bisa bahasa Indonesia ya. Tapi bisa berhari-hari ga ngomong bahasa Jawa itu rasanya seperti ada yang kurang. Sebab sebagai orang yang selama 25 tahun hidup di lingkungan yang Jawa - Jawa aja, saat tiba waktunya harus keluar “kandang” itu  menjadi sebuah challenge tersendiri.

Dikarenakan sebelumnya dari bangun tidur hingga tidur lagi semua kegiatan hidup  mungkin hampir 70% dilakukan dalam bahasa Jawa. Bahkan dalam mimpi pun percakapannya bakal pake bahasa Jawa, kalo mimpi kalian pake bahasa apa? Maka apabila 70% itu diganti dengan bahasa selain Jawa maka akan sangat terasa perbedaannya dan tentu membutuhkan proses untuk menyesuaikan diri dengan hal baru tersebut.

Sebelumnya aku juga pernah merantau ke Semarang untuk kuliah tapi memang jarak kota asalku dengan Semarang tidak begitu jauh. Saat kuliah sebenarnya aku juga memang mempunyai kesempatan untuk banyak bertemu beberapa teman dari Jabodetabek ataupun luar Jawa. Tapi ya karena masih di Jawa-Jawa juga maka ga ada perubahan yang berarti. Kalau aku awalnya diajak ngobrol pake bahasa Indonesia lama-kelamaan akan berubah menjadi bahasa Jawa secara alamiah. Atau saat temenku sok-sokan jawab dengan bahasa Indonesia campur Jawa dikit yang dia tau, aku pasti bakal langsung ke-trigger pake bahasa Jawa, ya semudah itu. Untuk ke temen yang udah dirasa deket sendiri aku biasanya bakal ngomong pake bahasa Jawa dan mereka jawabnya tetep pake bahasa Indonesia untuk percakapan sehari-hari. Mereka juga pernah bilang sendiri kok bahwa itu membantu mereka mengerti bahasa Jawa walaupun ga bisa kalau disuruh ngomong/jawab pake bahasa Jawa tapi paling ga mereka ngerti kalo ada orang ngomong pake bahasa Jawa. Namun memang harus agak sabar untuk ngomong bahasa Jawa dengan orang non-Jawa karena mereka masih agak lama mencerna jadi sering kali diminta untuk mengulangi kembali kalimat yang telah kita ucapkan sebelumnya dengan lebih lambat penuturannya. Mungkin ini juga alesannya orang Jawa bisa menjadi salah satu makhluk tersabar ya, anane mung sabar lan narimo.

Akan tetapi ada juga beberapa temen aku orang Jawa yang akan menyesuaikan bahasa mereka saat ngomong dengan orang non-Jawa. Hingga ke bahasa gaul-gaulnya lah ya dari pake lo/gue sampe pake 3 kata pokok mereka A3 (Any*ng, Anj*r, Anj*m). Apakah itu terdengar aneh atau ga, aku ga bisa merasakannya ya karena bukan native language , kalo kalian yang emang native laguange gimana ngerasanya? Kalau kita orang Jawa terutama di daerah Semarang-an ya, karena beda daerah kebiasaan umpatannya akan berbeda-beda untuk umpatan biasanya akan menggunakan AJL (As*, J*ncuk, L*gok). Walaupun kata-kata tersebut juga tidak selalu berarti umpatan karena penggunaannya hampir sama dengan A3 tergantung konteks kalimatnya.

Nah dengan latar belakang singkat yang telah aku ceritain sebelumnya, bisa bayangin kan ya gimana rasanya menjadi diriku untuk menempuh hidup di tempat baru ini. Satu bulan awal di sini aku sudah merasa aneh karena jarang banget bisa ngomong Jawa seperti ada yang kurang. Karena bahasa daerah udah termasuk kebiasaan jadi untuk mengubah atau mengurangi hal tersebut menjadi hal yang lumayan sulit dan butuh waktu pastinya untuk menjadi terbiasa.

Untuk di kantorku sekarang juga sebenarnya aku mempunyai beberapa teman dari Jawa. Ketika awal kenal dan ngobrol-ngobrol kita memakai bahasa Indonesia seperti biasa melalui zoom meeting karena masih WFH maka kami selalu on di zoom untuk komunikasi. Namun setelah temanku menanyakan asalku dari mana dan ternyata dia juga dari Jawa, maka setelah itu percakapan kami otomatis berubah yang awalnya menggunakan bahasa Indonesia menjadi bahasa Jawa, yang lalu diprotes oleh teman-teman yang lain karena mereka ga ngerti kami ngomong apa. 

Hal tersebut mengingatkanku dengan materi sosiolinguistik yang aku pelajari waktu kuliah tentang alih kode. Menurut Myres dan Scotton (Piantari dkk. 2011: 13) alih kode adalah peralihan penggunaan kode satu ke kode bahasa yang lainnya, sedangkan campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, termasuk di dalamnya pemakaian kata, frasa, klausa, idiom, dan sapaan (Kridalaksana, 2008: 40). Jadi percakapanku sebelumnya adalah alih kode yang dilakukan dari bahasa Indonesia yang beralih ke bahasa Jawa hal tersebut alami terjadi dan akan membuat  kita  merasa lebih akrab walaupun baru kenal. Pasti secara tidak sadar kalian juga sering melakukannya kan apabila bertemu kenalan satu daerah kan?

Hal lain yang juga menjadi concern ku saat awal di sini adalah sesimpel dalam pemakaian “aku/ kamu” daripada “lo/gue” dalam kehidupan sehari-hari. Karena aku ngerasa aneh kalau ngomong pake “lo/gue”, tapi juga takut dikira aneh sama orang lain apalagi yang belum tau asalku dari mana kek kenapa formal banget? Namun kalian mungkin juga akan merasa aneh dengan logat anak daerah baru saat ngomong lo/gue. Apalagi paling males kalau dikira kita ada rasa dan bisa bikin baper. Aku masih ga ngerti konsep aku/kamu bisa bikin baper orang sih. Jadi kalau kalian punya temen daerah jangan bingung ya, karena bagi kami aku/kamu itu bukan sesuatu hal yang istimewa kami can’t relate lah istilahnya. Untuk kalian yang biasanya pake lo/gue jadi segan pake itu saat ngomong ke aku karena akunya pake aku/kamu, padahal sebenarnya ga masalah sama sekali karena temen-temen kuliah ku yang anak Jabodetabek juga pake lo/gue ke aku dan aku ya gapapa banget. Tapi gimana sih sebenernya kalo menurut pandangan kalian senidiri sebagai orang Jakarta tentang hal ini?

Namun, bukan berarti aku anti atau men-judge orang yang menyesuaikan bahasanya dengan bahasa Jakarta sehari-hari ya karena setiap orang akan mempunyai pemikirannya masing-masing. Buatku sendiri bahasa itu seperti baju, dan baju itu seperti identitas. Kalau aku merasa cocok dengan baju tersebut maka akan aku pakai. Tapi apabila merasa tidak cocok maka tidak akan aku pakai yang terpenting tetap berpakaian ya Civs! (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Tria

Pendatang yang suka bahasa tapi kerja menghitung duit orang.