In Depth

CUMA MODAL KAYA DAN TERKENAL BISAKAH KITA NYALEG?

Kalau kita punya modal terkenal jadi artis di kampung dan punya banyak duit, kira-kira bisa nggak ya jadi caleg?

title

FROYONION.COM - Sistem demokrasi telah menjadi pilar utama bagi banyak negara dalam proses pemilihan pemimpin dan wakil rakyat. Namun, seringkali ada perdebatan tentang bagaimana sistem ini berjalan dan siapa saja yang berpeluang menjadi calon anggota legislatif (caleg).

Konsep demokrasi memang memberikan kesempatan bagi setiap warga negara untuk mencalonkan diri sebagai caleg, tetapi kualitas dan kelayakan seorang calon juga menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan.

Sejauh dari yang kita lihat sekarang-sekarang ini ada beberapa orang yang memanfaatkan modal sosial yang mereka miliki sebagai salah satu pintu untuk terjun ke dunia politik.

Banyak kita lihat bukan beberapa artis yang kemudian merambah ke dunia politik. Contohnya saja, Aldi Taher, Sunari alias Narji Cagur, Deni Cagur, Choky Sitohang, Ramzi, Uya Kuya, Ely Sugigi, Melly Goeslaw, Ahmad Dhani, Venna Melinda, dan masih banyak lagi.

BACA JUGA: LEBIH DEKAT DENGAN CI MEHONG SOSOK PEBISNIS YANG VIRAL DAN MALAH TERJUN KE DUNIA POLITIK PRAKTIS

Fenomena caleg artis ini dapat disebabkan oleh pola kaderisasi parpol yang belum ideal. Parpol cenderung mengabaikan pendidikan politik, kaderisasi, serta seleksi kepemimpinan secara berkala, terbuka, dan demokratis. Akibatnya, mereka seringkali tidak mempertimbangkan kapabilitas politik, latar belakang, rekam jejak, dan kontribusi nyata dari caleg, terutama dari kalangan pesohor.

Lantas apakah apakah hal ini salah? Tentu saja tidak. Nggak ada salahnya kok sebagai manusia, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik adalah sebuah hak asasi yang dijamin oleh undang-undang di banyak negara.

Namun yang salah adalah memanfaatkan ketenaran para artis ini demi mendongkrak jumlah kursi di parlemen, tanpa melihat kapabilitasnya.

Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum filsuf Yunani kuno, Socrates, telah menyuarakan perhatian tentang demokrasi.

Dia mengkritik pandangan bahwa demokrasi yang hanya mengandalkan suara terbanyak tanpa mempertimbangkan kualifikasi dan kemampuan calon dapat berpotensi memilih pemimpin yang tidak kompeten.

Socrates berpendapat bahwa seorang pemimpin harus berpendidikan, memiliki kompetensi, dan pengalaman yang memadai untuk memimpin dengan baik.

Sayangnya, pandangan Socrates ini nyatanya hanya masuk ke kuping kiri keluar ke kuping kanan saja. Pandangan ini pada praktiknya tidak diterima dan diterapkan sepenuhnya oleh masyarakat di berbagai negara, termasuk di era modern saat ini.

BACA JUGA: KENAPA KITA TIDAK BISA LEPAS DARI POLITIK?

Seiring dengan perkembangan zaman, demokrasi kita seringkali terpengaruh oleh berbagai faktor, termasuk modal popularitas dan ekonomi. Pemilihan pemimpin dan caleg seringkali dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, yang dapat mengabaikan kualifikasi dan kemampuan calon.

Modal sosial, seperti popularitas dan dukungan dari masyarakat, telah menjadi kunci dalam banyak proses politik di zaman sekarang.

Dalam dunia yang didominasi oleh media sosial dan teknologi informasi, orang yang sudah terkenal atau memiliki basis penggemar yang luas lebih mudah untuk mendapatkan dukungan dan perhatian dari publik. Begitu pula dengan modal ekonomi, kekayaan dapat digunakan untuk membiayai kampanye politik yang intensif dan meningkatkan visibilitas seorang calon.

Sayangnya, peran modal sosial dan ekonomi ini sering mengarah pada persepsi bahwa syarat menjadi caleg hanyalah bermodal popularitas dan kekayaan.

Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas calon dan menyisihkan calon-calon berkualitas yang mungkin kurang terkenal atau tidak memiliki kekayaan yang melimpah.

Namun, sebagai masyarakat yang bijaksana, kita perlu menyadari bahwa kualifikasi, keahlian, pengalaman, dan komitmen untuk melayani masyarakat dengan baik adalah hal yang lebih penting daripada sekadar popularitas atau kekayaan.

BACA JUGA: CARA BERTAHAN DARI KEHIDUPAN KAMPUS YANG PENUH UNSUR POLITIK

Sebagai pemilih, kita memiliki tanggung jawab untuk mencari informasi tentang calon-calon tersebut, mengevaluasi program dan visi mereka, serta melihat track record mereka dalam pelayanan masyarakat sebelum memberikan suara pada pemilihan.

Sebagai warga negara, siapa pun sebenarnya berhak mencalonkan diri sebagai caleg. Namun, menjadi caleg bukan hanya soal popularitas dan kekayaan semata.

Seorang caleg harus memiliki kompetensi, integritas, dan tekad untuk melayani masyarakat dengan baik. Masyarakat perlu mendukung calon-calon yang berfokus pada pelayanan dan memiliki kualitas kepemimpinan yang sesuai dengan tuntutan tugas sebagai seorang legislator.

Jika ada artis atau tokoh terkenal yang berpikir untuk mencalonkan diri sebagai caleg, mereka perlu menunjukkan kualifikasi dan komitmen mereka dalam melayani masyarakat.

Jangan hanya berpikir tentang popularitas dan kekayaan semata, tetapi tetapkan tujuan untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan negara.

Demokrasi yang sehat adalah hasil dari partisipasi aktif dan cerdas dari seluruh warga negara. Kita perlu memastikan bahwa calon-calon yang terpilih adalah mereka yang memiliki kemampuan dan tekad untuk menjalankan tugas sebagai pemimpin dan wakil rakyat dengan baik. Saat kita memilih calon anggota legislatif, marilah kita lakukan dengan bijaksana dan berdasarkan pertimbangan kualitas, bukan hanya modal kaya dan terkenal semata.

MASYARAKAT SUDAH TIDAK BODOH LAGI

Menurut Peneliti senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar, partai politik (parpol) yang mencalonkan artis atau pesohor sebagai calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilu bukanlah hal baru, melainkan sudah berlangsung sejak lama. Tujuan dari parpol mengusung artis sebagai caleg umumnya adalah untuk memanfaatkan popularitas mereka guna mendulang suara bagi partai. Namun, popularitas artis tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat keterpilihan (elektabilitas).

Data menunjukkan bahwa persentase kursi yang diperoleh oleh caleg artis yang berhasil menjadi anggota parlemen mengalami tren penurunan dari waktu ke waktu. Pada tahun 2009, persentase kursi yang diperoleh oleh selebritas mencapai 3,2 persen, namun angka tersebut menurun menjadi 2,8 persen pada 2014, dan kemudian lebih lanjut menurun menjadi 2,4 persen pada 2019.

BACA JUGA: APA IYA SEPAK BOLA HARUS DIPISAHKAN DENGAN POLITIK?

Dari data tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya di negeri Wakanda ini masih banyak kok masyarakat yang sadar dan tidak termakan dengan kader yang hanya bermodal kaya dan terkenal saja. Tapi mereka juga mempertimbangkan banyak hal.

Masyarakat kini justru semakin melek dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti kapabilitas politik, latar belakang, rekam jejak, dan kontribusi nyata saat memilih caleg, termasuk dari kalangan artis. Namun, parpol yang merekrut artis seringkali lebih fokus pada popularitas mereka sebagai alat untuk mengumpulkan suara, tanpa memperhatikan rekam jejak dan moral politik mereka.

Dalam membangun sebuah sistem politik yang sehat, penting bagi parpol untuk melakukan pendidikan politik yang lebih baik, meningkatkan kaderisasi, dan melakukan seleksi kepemimpinan secara terbuka dan demokratis.

Hal ini akan membantu memastikan bahwa calon-calon yang mencalonkan diri memiliki kompetensi dan integritas untuk mewakili kepentingan masyarakat dengan baik di parlemen. Selain itu, sebagai pemilih, kita juga harus lebih kritis dalam memilih caleg, dengan mempertimbangkan kualitas dan kontribusi nyata dari para calon, bukan hanya popularitas semata. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Anandita Marwa Aulia

Hanya gadis yang suka menulis