In Depth

COPYCAT SUICIDE DAN PERAN PEMBERITAAN BERLEBIH SOAL BUNUH DIRI BERAKIBAT FATAL

Pernah nggak terlintas di pikiran, kalau kasus bunuh diri itu menular? Kenapa bisa demikian? Simak penjelasannya di sini.

title

FROYONION.COM – Salah satu kasus bunuh diri yang lagi viral saat ini adalah kasus bunuh diri beruntun yang terjadi di Semarang belakangan ini.

Pada 10 Oktober 2023, seorang mahasiswi Universitas Negeri Semarang (UNNES) berinisial NJW (20) yang bunuh diri melompat dari lantai empat Mall Paragon Semarang.

Kemudian disusul, mahasiswa berinisial EB (24) yang ditemukan tewas di kamar indekos di wilayah Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah. Korban ditemukan meninggal dunia di dalam kamar indekosnya pada Rabu 11 Oktober 2023 malam.

Kejadian nahas di atas terjadi secara beruntun hanya berjarak satu hari saja, jika menilik kasus di atas saya jadi bertanya-tanya apakah keduanya memiliki sinkronisasi? Adakah penjelasan logis yang bisa saya terima agar menjawab pertanyaan saya mengapa keduanya bisa melakukan aksi serupa dengan rentan waktu yang cukup dekat.

Setelah saya coba telusuri lebih dalam, ada satu fenomena yang mungkin bisa memuaskan rasa dahaga saya, khususnya peran media yang semakin membuat fenomena ini kian menjamur.

Fenomena tersebut adalah copycat suicide, atau sering disebut sebagai "efek Werther" dalam literatur ilmiah, adalah peristiwa di mana seseorang meniru meniru tindakan dan perilaku bunuh diri setelah mengetahui adanya kabar bunuh diri oleh orang lain.

BACA JUGA: TAK CUMA TIKTOK, SHOPEE JUGA TUTUP LAPAK JUALAN DARI LUAR NEGERI, KINI TAK BISA BELI BARANG IMPOR LAGI

Meskipun istilah "peniruan bunuh diri" (copycat suicide) biasanya mengacu pada kasus bunuh diri yang menyebar di antara kelompok teman, konsep ini tidak jauh berbeda dengan perilaku bunuh diri yang dipengaruhi oleh berbagai bentuk media.

“Umumnya, ini terjadi karena tayangan media yang sangat mencolok, dramatis, dan sensasional, yang terus disiarkan oleh media. Banyak bukti menunjukkan bahwa media berperan penting dalam mempengaruhi perilaku bunuh diri. Khususnya, remaja dan dewasa muda yang memiliki faktor risiko sering meniru metode bunuh diri yang sama, seperti melompat dari gedung tinggi yang saat ini menjadi tren. Ini dapat terjadi di pusat perbelanjaan, gedung apartemen tinggi yang bermunculan, menara tinggi, dan sebagainya,” ujar Nalini Muhdi, Psikiater, anggota The International Association for Suicide Prevention, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.

Pada kenyataannya, copycat suicide merupakan sebuah fenomena yang sangat serius dan memerlukan perhatian yang cermat, terutama dalam konteks pemberitaan media massa yang berlebihan.

EFEK COPYCAT SUICIDE OLEH MEDIA

Penelitian soal dampak pemberitaan antara laporan surat kabar tentang bunuh diri dan kasus bunuh diri yang sebenarnya sudah dilakukan sejak 1974 oleh Phillips dikutip dari Social Science & Medicine. Phillips meneliti frekuensi bunuh diri pada bulan-bulan ketika artikel bunuh diri muncul di halaman depan media AS antara tahun 1947 dan 1968.

Hasilnya pun cukup mengejutkan, dampak upaya bunuh diri meningkat seiring dengan banyaknya publisitas yang diberikan terhadap pemberitaan tersebut, terutama terlihat di kalangan generasi muda, dan paling kuat terjadi di wilayah geografis tempat cerita bunuh diri tersebut diterbitkan.

Tak jauh berbeda, menyadur dari Journal of Affective Disorders, 438 pasien yang mengalami depresi dan terpapar oleh laporan media, 38,8%, termasuk 24 (5,5%) dengan upaya bunuh diri, melaporkan bahwa pemberitaan media memiliki pengaruh terhadap perilaku bunuh diri selanjutnya.

Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hampir 4 dari setiap 10 pasien depresi yang terpapar berita media melaporkan adanya dampak pada perilaku mereka terkait bunuh diri.

Risiko pengaruh pemberitaan media ini paling tinggi terjadi pada pasien depresi yang saat ini dalam keadaan depresi berat dan kemudian terpapar berita media yang berkonotasi terhadap upaya bunuh diri.

Penelitian juga menemukan bahwa pasien depresi berat saat itu memiliki hampir 8 kali lipat risiko lebih tinggi untuk dipengaruhi oleh pemberitaan media dalam hal perilaku bunuh diri dibandingkan dengan pasien depresi yang tidak dalam keadaan berat.

BACA JUGA: HAPPY TO HOPE BOX JEMBATAN SUHAT, CARA UNIK CEGAH KASUS BUNUH DIRI DI KOTA MALANG

Pengaruh terhadap upaya bunuh diri selanjutnya paling tinggi terjadi pada pasien yang telah melakukan upaya bunuh diri dalam satu bulan sebelum pemberitaan media muncul. Peneliti menemukan bahwa pasien dengan upaya bunuh dalam waktu satu bulan sebelum pemberitaan media memiliki hampir 12 kali lipat risiko lebih tinggi untuk melakukan upaya bunuh diri selanjutnya setelah terpapar berita media.

Kemudian, meskipun bukti ilmiah telah menunjukkan hubungan yang kuat antara copycat suicide dan pemberitaan tentang bunuh diri, namun bukti nyata dalam bentuk visual mengenai tindakan bunuh diri ternyata memiliki dampak yang lebih besar.

Sebuah studi yang diterbitkan di Journal of the American Academy of Child & Adolescent dikutip Froyonion.com dari Halodoc, menyebutkan bahwa dalam beberapa bulan setelah pemutaran perdana musim pertama serial Netflix yang berjudul "13 Reasons Why," yang mengisahkan kisah seorang gadis berusia 17 tahun yang melakukan bunuh diri, terjadi peningkatan sebanyak 28,9 persen dalam peristiwa bunuh diri di kalangan anak-anak usia 10 hingga 17 tahun. Peningkatan dalam kasus bunuh diri ini tampaknya mempengaruhi terutama anak laki-laki dalam kelompok usia tersebut.

Hasil ini menyoroti pentingnya berita media yang bijak dan beretika terkait dengan kasus bunuh diri, terutama ketika berbicara tentang individu yang sedang mengalami depresi.

Pemberitaan yang kurang bijak dapat meningkatkan risiko tindakan bunuh diri lebih lanjut pada individu yang sudah rentan.

Oleh karena itu, perlunya pedoman pemberitaan media yang etis dan bertanggung jawab dalam melaporkan kasus-kasus bunuh diri.

Penelitian ini telah memberikan bukti yang lebih meyakinkan yang menunjukkan pengaruh negatif pemberitaan media tentang bunuh diri selebriti terhadap perilaku bunuh diri selanjutnya di antara pasien depresi.

PEMBERITAAN MEDIA YANG MENYEBABKAN MENJAMURNYA COPYCAT SUICIDE

Media massa memiliki peran yang sangat penting dalam fenomena copycat suicide. Pemberitaan yang berlebihan dan tidak bijak tentang kasus bunuh diri dapat meningkatkan risiko peniruan. Berikut adalah beberapa ‘praktek’ di mana media massa dapat memengaruhi fenomena ini:

Headline Berita Sensasionalisme, ketika media massa memberikan liputan sensasional tentang bunuh diri, hal ini dapat menciptakan konteks yang memperindah tindakan tersebut. Ini dapat memicu perasaan takut, cinta, atau perhatian yang salah kepada pelaku bunuh diri.

Detail yang Tidak Perlu, memberikan detail yang sangat rinci tentang cara pelaku bunuh diri melakukan tindakan tersebut dapat menginspirasi orang lain untuk menirunya.

Contohnya saja, soal berita yang saat ini sedang viral, yaitu kasus bunuh diri seorang mahasiswi Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang jatuh dari lantai 4 Mal Paragon Semarang.

Detail yang dimaksud di sini ketika seorang pembuat berita kemudian membuat detail yang berlebih seperti, “Mahasiswa Unnes bunuh diri dari lantai 4 Mal Paragon Semarang, seorang saksi menemukan kepala korban pecah hingga organ tubuhnya berserakan”.

BACA JUGA: KENAPA BANYAK SENIMAN YANG BUNUH DIRI?

Misalnya seperti itu, hal ini tentu bukan hal yang bijak. Detail-detail dan penggunaan diksi mengerikan seperti itu ada baiknya tidak digunakan.

Ketidakseimbangan Informasi, media massa yang hanya memberikan informasi tentang tindakan bunuh diri tanpa memberikan informasi mengenai bantuan dan sumber daya yang tersedia untuk masalah kesehatan mental dapat memperburuk situasi.

Media massa adalah sarana penting bagi masyarakat untuk mengakses berita, terutama dalam hal pemberitaan yang dapat memicu peniruan oleh masyarakat, maka dari itu media seharusnya melaporkan dengan lebih bertanggung jawab, akurat, dan sensitif terhadap etika jurnalistik agar kasu-kasu semacam ini tidak terjadi lagi.

Yang tak kalah penting, media sebaiknya tidak menyederhanakan penyebab bunuh diri. Terlalu sering, berita mencoba mengaitkan bunuh diri dengan satu faktor tunggal, seperti masalah ekonomi atau hubungan pasangan.

Ini dapat memberikan pembenaran kepada individu yang sedang mengalami masalah serupa untuk meniru tindakan tersebut.

Terutama jika ada "model" yang bisa mereka ikuti atau jika ada kasus bunuh diri selebriti yang memperoleh perhatian global.

Oleh karena itu, penyederhanaan penyebab bunuh diri sebaiknya dihindari, karena seringkali penyebabnya jauh lebih kompleks.

Beberapa negara saat ini sedang berusaha menjalin kerjasama antara media massa dan lembaga-lembaga terkait untuk mengembangkan pedoman pemberitaan tentang bunuh diri. Upaya ini telah terbukti berhasil dalam mencegah peniruan perilaku bunuh diri, yang merupakan hasil yang menggembirakan. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Anandita Marwa Aulia

Hanya gadis yang suka menulis