In Depth

BUNKER PENINGGALAN JEPANG: SAKSI BISU PERJUANGAN DAN ADAPTASI DI NGANJUK

Saksi bisu sejarah dan adaptasi di desa Mojoduwur, Nganjuk, menggambarkan perubahan dan nilai warisan.

title

FROYONION.COMSetelah sekitar dua abad menerapkan kebijakan isolasi politik antara tahun 1639 hingga 1854, Jepang tiba-tiba muncul sebagai negara penjajah. Ini adalah usaha untuk menjauhkan budaya Barat dan melindungi tradisi Jepang dengan melarang warga bepergian ke luar negeri, merusak kapal-kapal, serta menolak kedatangan orang Barat.

Pada pertengahan abad ke-20, Indonesia masih terjerat dalam cengkeraman penjajahan, khususnya oleh Jepang antara 1942 dan 1945. Jepang merebut wilayah dari Kalimantan Timur dan mendirikan pertahanan, termasuk struktur bunker, untuk menguasai Nusantara. Penting untuk memahami perbedaan antara "bunker" dan "gua Jepang" – bunker adalah bangunan dari bahan semen, pasir, dan kerikil, sementara gua Jepang terbentuk dengan melubangi bukit secara horizontal (Muhammad, 2013: 1-2).

Di Jawa timur sendiri tepatnya di Desa Mojoduwur, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, terdapat dua bunker peninggalan Jepang yang masih kokoh berdiri hingga sekarang. Tempat ini berlokasi di lereng Gunung Wilis dan memiliki bentuk melengkung setengah lingkaran dengan satu pintu masuk. Dimensi bangunannya mencapai panjang sekitar 11 meter, tinggi luar 3 meter, tinggi dalam 2,5 meter, dan lebar sekitar 6,3 meter. Konstruksinya terbuat dari batu sungai dan bata merah. Bunker ini mengandung sejarah yang merujuk pada masa kelam Romusha, praktik kerja paksa yang diimposisi oleh penjajah Jepang kepada penduduk lokal.

Bunker ini sebagai saksi bisu praktik Romusha yang terjadi di daerah tersebut. Romusha merujuk pada pekerjaan paksa yang diterapkan oleh pihak Jepang terhadap penduduk setempat untuk membangun infrastruktur. Bunker ini juga menyimpan narasi tentang penahanan prajurit Pembela tanah Air (PETA) yang dipimpin oleh Supriyadi. Mereka pernah diinternir di bunker ini setelah tertangkap dalam usaha pemberontakan di wilayah Blitar.

BACA JUGA: KAPAL KUNO PUNJULHARJO, KAPAL TERTUA DI INDONESIA?

Menurut Aries Trio Effendi, seorang pengamat sejarah dan budaya Nganjuk bunker tersebut dibangun sekitar tahun 1942, bunker ini awalnya didirikan oleh pihak Jepang sebagai tempat perlindungan dan pertahanan melawan pasukan Sekutu. Meskipun saat ini kedua bunker tersebut telah dilupakan dan tersembunyi di balik semak belukar, jejak sejarahnya masih tampak nyata. Terdapat beberapa lubang ventilasi yang tetap terlihat di bagian atas pintu masuk, dan ada pula lubang-lubang kecil di sisi kanan dan kiri pintu yang dahulu digunakan untuk meletakkan moncong senjata, mengingatkan kita pada masa-masa bersejarah.

Berdasarkan fakta-fakta dari berbagai sumber dokumen, kesaksian mata, dan keterangan dari pelaku saat itu, terindikasi bahwa saat Jepang memasuki wilayah Nganjuk, tujuan mereka bukanlah untuk melindungi diri dari warga Indonesia, tetapi untuk perlindungan internal dari ancaman sesama Jepang. Tindakan ini diambil dalam konteks pertempuran antara Jepang dan Sekutu yang dipimpin oleh Amerika.

''Kalau kita lihat sumber-sumber dokumen maupun saksi mata ataupun pelaku yang jelas ketika Jepang memasuki wilayah Nganjuk mencari tempat atau wilayah-wilayah untuk perlindungan,’’ tutur Aries Trio Effendi, Pemerhati sejarah dan budaya Nganjuk, Jum'at (18/8/2023)

Sebelum Jepang memasuki wilayah Indonesia, pihak Indonesia telah menerima informasi yang akurat mengenai tindakan Jepang tersebut. Aries menjelaskan bahwa pada saat Jepang memasuki wilayah Nganjuk, mereka bergerak ke arah Selatan, kemudian tentara Jepang memiliki ciri khas yaitu mencari tempat perlindungan, seperti bunker-bunker, tebing-tebing, dan goa-goa.

‘’Jepang memiliki ciri khas dengan mencari tempat perlindungan yang efektif, seperti bunker-bunker, formasi alam seperti tebing-tebing, dan goa-goa. Mereka tidak hanya membangun bunker, tetapi juga mendirikan asrama batalyon militer," bebernya.

Aries juga menambahkan terkait perubahan fungsi bunker dari saat pertama kali dibangun hingga setelah terjadinya pemberontakan yang dipimpin oleh Supriyadi dan tentara PETA. Fungsi awal dan perubahan yang terjadi menggambarkan peran kunci bunker dalam peristiwa bersejarah yang terjadi di wilayah tersebut.

Pada awalnya, bunker-bunker ini didirikan oleh tentara Jepang sebagai tempat perlindungan dan pertahanan terhadap ancaman pasukan Sekutu, terutama Amerika, selama masa penjajahan Jepang di Indonesia. Namun, setelah pemberontakan yang dipimpin oleh Supriyadi dan penangkapan banyak anggota Tentara PETA, peran serta fungsi bunker berubah secara signifikan.

Setelah terjadi pemberontakan, para anggota Tentara PETA yang ditangkap diadili di Jakarta. Beberapa di antaranya dijatuhi hukuman mati, sementara yang lain dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau beberapa tahun. Sebagai akibatnya, bunker-bunker ini kemudian digunakan sebagai fasilitas penahanan bagi para tahanan, terutama mereka yang dihukum penjara. Perubahan fungsi ini mencerminkan adaptasi terhadap situasi yang berubah dan kebutuhan pada saat tersebut, di mana bunker-bunker tersebut berubah menjadi tempat pembatasan dan hukuman bagi mereka yang terlibat dalam pemberontakan.

‘’Fungsi awal dan selanjutnya ini berbeda karena setelah pemberontakan supriyadi dan banyak tentara PETA yang ditangkap kemudian diadili di Jakarta ada yang hukuman mati, seumur hidup dan beberapa tahun mereka di penjara di bunker itu,’’ tambahnya.

Selanjutnya, Menurut Sarmin, seorang warga Desa Mojoduwur, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, tempat bersejarah tersebut kini telah mengalami perubahan dalam penggunaannya dan daya tariknya bagi berbagai kelompok masyarakat. Saat ini, anak muda sering mengunjungi tempat tersebut untuk berfoto-foto dan menjelajahi tempat bersejarah ini. Hal ini menunjukkan minat generasi muda terhadap sejarah dan nilai-nilai warisan budaya. Mereka melihat nilai estetika dan keunikan dalam struktur fisik bunker dan menggunakannya sebagai latar belakang foto, menciptakan koneksi antara masa lalu dan masa kini.

''Sekarang tempat ini sering dikunjungi anak muda dibuat foto-foto dan tempat mencari pusaka untuk orang-orang yang percaya mistis,’’ ujarnya.

Sarmin juga menjelaskan bahwa bunker tersebut dulunya memiliki pintu besi, tetapi sekarang pintu tersebut hilang karena diambil oleh orang-orang. Hal ini menunjukkan tantangan dalam menjaga keutuhan dan perlindungan tempat bersejarah dari tindakan pencurian atau pengrusakan. Pintu besi tersebut juga memiliki nilai sejarah dan keaslian yang signifikan, sehingga kehilangannya dapat mengurangi sisi autentisitas tempat tersebut.

''Dulu pintunya ada besinya sekarang hilang diambilin orang, dan dibawah ini isinya batu bata,'' pungkasnya.

Kesimpulan, dalam sejarah yang penuh dengan perubahan dan adaptasi, dua bunker peninggalan Jepang di Desa Mojoduwur, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa bersejarah yang terjadi di wilayah tersebut. Awalnya didirikan sebagai tempat perlindungan dan pertahanan terhadap ancaman pasukan Sekutu, khususnya Amerika, selama masa penjajahan Jepang di Indonesia, bunker-bunker ini kemudian mengalami perubahan fungsi saat terjadi pemberontakan oleh Supriyadi dan anggota Tentara PETA.

Setelah pemberontakan, bunker-bunker ini berubah menjadi tempat penahanan bagi para tahanan, yang merupakan anggota Tentara PETA yang ditangkap. Fungsi mereka menjadi simbol dari perubahan situasi dan kebutuhan pada masa tersebut, mencerminkan peran kunci dalam perjuangan melawan penjajahan. Meskipun perlahan terlupakan dan terlindungi oleh semak belukar, jejak sejarah masih terlihat melalui lubang ventilasi dan lubang-lubang kecil untuk senjata, mengingatkan kita pada era bersejarah yang memicu pembangunan bunker ini.

Generasi muda di wilayah tersebut menunjukkan minat terhadap tempat bersejarah ini dengan mengunjunginya untuk berfoto dan mencari pengalaman mistis. Namun, perubahan juga terlihat dalam bentuk perubahan fungsi bunker dari pertahanan menjadi tempat penahanan. Bahkan, pintu besi yang dulunya ada sekarang telah hilang, menjadi tanda tantangan dalam menjaga keaslian dan integritas tempat bersejarah dari ancaman pencurian atau kerusakan. Meski begitu, bunker ini tetap berdiri sebagai saksi diam dari masa lalu, menghubungkan kita dengan sejarah perjuangan dan pengorbanan yang pernah terjadi dalam kompleksitas rentang waktu yang luas. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Abdillah Qomaru Zaman

Lulusan Ilmu Politik, freelance penulis dan pelatih silat.