Demi bisa kuliah di kampus idaman, sejumlah orang menghalalkan berbagai cara. Tapi tunggu dulu, apa tujuan kita kuliah sebenarnya? Mari berkaca dari pengalaman kontributor satu ini.
FROYONION.COM - Saya nggak pernah membayangkan sebelumnya kalau akan kuliah lagi. Saya adalah orang yang tidak suka birokrasi. Buat saya, institusi pendidikan itu memenjarakan. Sejak duduk di bangku sekolah sampai strata satu, saya punya banyak pengalaman tidak mengenakkan mengenai pendidikan.
Mulai dari hal sepele, seperti memaksakan definisi keilmuan yang harus sama persis supaya dianggap benar. Misalnya, pengertian Pancasila atau lain-lainnya yang memang harus literally sesuai dengan apa yang dibilang sama gurunya. Buat saya itu sangat menyebalkan, dan saya terjebak di situasi demikian selama bertahun-tahun.
Ketika di bangku SMA, saya pernah disetrap di ruangan kepala sekolah karena menolak untuk ikut asuransi yang dibuat sekolah. Waktu itu, dari satu sekolah hanya saya dan seorang teman sekelas yang menolak keikutsertaan asuransi tersebut. Kami berdua disetrap. Belakangan, ayah dari teman sekelas tersebut datang, dan teman itu tidak sampai selesai menjalani hukuman. Sedangkan saya, karena ayah saya sudah meninggal tidak ada yang datang ke sekolah untuk menyelamatkan saya.
Pendidikan buat saya hanyalah formalitas. Dan pendidikan tidak jaminan mendapatkan pekerjaan. Dari pengalaman saya kuliah strata satu, sebagai mahasiswa kita perlu pergaulan di luar kampus untuk membuka peluang kerja.
Kalau aktivitas di kampus hanya interaksi dengan dosen, teman-teman kampus, dan manusia-manusia lain di lingkup akademis, peluang untuk mendapatkan pekerjaan sebagai tujuan berkuliah tidak akan didapatkan.
Perkembangan zaman yang menggerus era cetak yang bertransformasi menjadi digital membuat makna pendidikan menjadi tertinggal—terutama buat pendidikan yang masih menggunakan metode yang itu-itu saja.
Sekarang ini, untuk bisa kerja dan mendapat finansial, nggak semata bermodalkan sarjana. Kalau kamu digital savvy, percaya diri untuk joget-joget di TikTok, punya followers ratusan ribu di Instagram, punya konten YouTube yang ditonton sejuta umat, kamu bisa kok beli rumah di BSD atau cicil mobil Ayla.
Beberapa selebgram atau seleb TikTok justru banyak yang DO atau hanya lulusan SMA saja, tapi punya penghasilan berdigit-digit. Nggak perlu kuliah mahal-mahal yang kata orang menelan omong kosong. Terus, kalau saya ngomong begitu, ada yang berkomentar, kalau pendidikan bukan hanya soal materi tetapi mental.
Yakin, mental benar-benar diasah lewat pendidikan? Bukannya malah seperti kerbau dicucuk hidungnya?
Tahun 2021 saya tanpa sengaja mengambil strata dua dengan tujuan untuk membuat tulisan-tulisan seks saya lebih “berisi”. Biar nggak cuma jadi “catatan” atau “curhatan”. Awalnya saya hanya mau jadi mahasiswa pendengar, karena kuliah itu terlalu “mengikat”. Tapi, karena sebagai mahasiswa pendengar ada batasan kelas yang diambil, sementara saya mau ambil beberapa, akhirnya saya menjerumuskan diri dalam ikatan pendidikan.
Ternyata meski tidak seutuhnya masih konvensional seperti ketika saya kuliah di tahun 2004 – 2008, ternyata belenggu konvensional itu masih belum sepenuhnya lepas. Masih ada hal-hal yang “mengikat” institusi pendidikan dan menjadikan pembaharuan dan pembebasan mahasiswa berekspresi sebagai slogan saja.
Sistem pendidikan—setidaknya yang dengannya saya berinteraksi—tidak memiliki perubahan yang signifikan. Pun juga, menurut saya yang “sangat pop” ini, jurnal-jurnal yang dipublikasikan itu hanya semacam masturbasi akademisi saja. Apakah penelitian-penelitian yang dipublikasikan di jurnal itu memang menyentuh akar rumput—kalau istilah aktivisnya hihihi—beneran atau hanya menjadi formalitas persyaratan pendidikan belaka?
Penulisan akademisi berbeda dengan penulisan pop yang biasa saya lakukan. Ada aturannya, ada hal-hal yang tidak boleh dilanggar, dan harus selalu ada fondasi yang menguatkan untuk setiap pernyataan yang termuat dalam tulisan akademisi. Jadi, kalau dalam pemikiran saya sih, ini tidak ubahnya tempelan-tempelan dari pendapat para ahli untuk menguatkan pendapat penulisnya sendiri. Sebut saya sinis, tapi seperti itu yang saya rasakan.
Bahasa-bahasa berat yang digunakan dalam penulisan ilmiah nan akademis juga buat saya seperti memberikan pembatasan untuk mahasiswa bertanya dan mengeluarkan pendapat.
Saya dihadapkan pada beberapa situasi takut bertanya kepada pendidik karena nanti dianggap pertanyaan saya bodoh dan tidak kritis. Lha, bukannya memang seharusnya itu ya tujuan kuliah, kalaulah memang nggak berhasil meningkatkan taraf hidup, setidaknya mental dan pemikiran bisa lebih kritis. Kalau hanya membuat mahasiswa memiliki pemikiran yang seia sekata dengan gurunya, apa homogenitas menjadi tujuan pasti pendidikan?
Saya punya ponakan namanya Tasha. Sekarang ini usianya 13 tahun. Dulu-dulu saya suka sebal melihat dia asyik dengan YouTube atau nonton Tiktok. Akhir-akhir ini malah dia suka chat dengan AI (Artificial Intelligence) Character untuk membuat fanfic.
Sekarang ini saya tidak lagi sebal ketika Tasha asyik dengan handphone-nya. Dia juga suka membaca dari sana. Manga dan belakangan novel grafis berbahasa Inggris. Lewat YouTube dan game online, bahasa Inggrisnya bagus—dan kadang suka saya gangguin kalau aksennya Amerika sekali.
Saya mendadak menyadari, zaman sekarang ini, pendidikan tidak semata datang dari institusi formal saja. Ada banyak peluang di luar non-formal. Jangan menyerahkan diri pada pilihan-pilihan formal kebanyakan. “Tash, pendidikan itu nggak terlalu penting, yang penting kamu temukan apa yang kamu suka, pelajari, dan geluti itu,” begitu pesan saya pada keponakan—dan bisa jadi ke diri saya sendiri yang di ambang keputusan apakah tetap menyelesaikan strata dua atau tidak. (*/)