Sebelum ada Sumpah Pemuda dan Soekarno Hatta, tokoh sejarah satu ini sudah mulai membangkitkan nasionalisme lewat jurnalistik. Tulisan ini khusus buat lo anak muda yang meski sudah hidup nyaman tapi nggak ingin lupa akar sejarah, Civs.
FROYONION.COM - Rintik hujan menyertai langkah Refinaya J ketika melewati barisan nisan di TPU Blender, Bogor, Jawa Barat. Setelah nyaris setengah jam mengelilingi pemakaman, mahasiswi Universitas Mulawarman itu akhirnya tiba di depan sebuah kuburan berpagar. Meskipun demikian, ia ragu. Tidak ada tanda seorang pahlawan terkubur di situ.
TPU Blender konon adalah tempat peristirahatan terakhir Tirto Adhi Soerjo. Pahlawan sekaligus insan pers bumiputera pertama Indonesia itu adalah figur asli Minke yang menjadi tokoh sentral serial Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Di antaranya Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Mayoritas mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Politik seperti saya dan Refinaya kerap akrab dengan serial itu. Pun tidak mahfum, minimal pernah menonton film yang diperankan oleh Iqbal Ramadhan dan Mawar de Jongh. Film bertajuk Bumi Manusia itu dirilis pada 2019. Capaiannya tidak bisa diremehkan. Film itu sudah ditonton satu juta orang dan meraup untung Rp52,7 miliar.
Keraguan kami berdua baru terjawab saat seorang penjaga mengizinkan masuk ke dalam pusara. Berkeramik hitam, nisan Tirto bertulis “RM Djokomono Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora, 1875 dan wafat di Jakarta, 7 Desember 1918. Dimakamkan kembali 30 Desember 1973. Pahlawan Nasional, Perintis Pers Indonesia, penerima Bintang Maha Putra Adipradana”.
BACA JUGA: MEMELIHARA KISAH TOKOH ISMAIL MARZUKI, INDONESIA KAYA HADIRKAN FILM SERIAL ‘PAYUNG FANTASI
Dilansir dari Tirto.id, media siber yang bernama sama dengan tokoh itu. RM Tirto Adhi Soerjo adalah keturunan keluarga bangsawan terkemuka. Kakeknya, R.M.T. Tirtonoto, merupakan Bupati Bojonegoro dan pernah menerima penghargaan sipil bintang tertinggi dari Kerajaan Belanda.
Sedangkan dari pihak neneknya, Tirto mewarisi darah Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa dari Surakarta. Sepupunya, R.M.A. Brotodiningrat, adalah Bupati Madiun. Adapun kakaknya, Raden Mas Tirto Adhi Koesoemo, bekerja sebagai Jaksa Kepala di Rembang.
Meskipun lahir dengan ‘sendok emas di mulut’, jalan hidup Tirto justru berduri dan berbatu. Ia tidak mau bekerja dengan pemerintah kolonial di Inlandsch Bestuur atau pangreh praja. Di masa mudanya, Tirto bahkan pernah berkuliah STOVIA (kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Namun, ia memilih keluar (drop out) sebelum lulus karena jatuh cinta dengan menulis.
Kecintaan ini pula yang mengantarkannya menjadi orang bumiputera pertama yang memiliki surat kabar di Hindia Belanda. Nama surat kabarnya Medan Priaji. Perusahaan itu berbadan hukum perseroan terbatas dan membawahi satu koran lain yakni Soeloeh Keadilan. Berita pertamanya terbit pada 1 Januari 1907, dibantu oleh RAA Prawiradiredja (Bupati Cianjur) dan Sultan Oesman Sjah (penguasa Kesultanan Bacan, Maluku), dan saudagar HM Arsad. Meskipun menggunakan kata “priyayi”, koran itu justru berpihak pada rakyat jelata.
BACA JUGA: SEJARAH KELAM PERLOMBAAN PANJAT PINANG DI INDONESIA
Sebagai penggagas dan administrator mingguan, ia juga menjadi orang pertama Indonesia yang mendorong rasa kesadaran berbangsa. Tirto dikenal memiliki pena yang tajam. Ia sering membela kaum tertindas dan memperkenalkan yang kini disebut jurnalisme advokasi.
Selain bergerilya di jalur media, Tirto menjadi salah satu tokoh utama dan pertama dalam arus pergerakan bangsa Indonesia. Pada 1906, setelah keluar dari Boedi Oetomo, Tirto menggagas pendirian Sarekat Dagang Islam (SDI), yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam.
Keinginan Tirto begitu kuat memajukan bangsa. Karena menjadi yang pertama nyaris bergerak di segala lini masa, Pramoedya Ananta Toer, yang menulis hasil riset tentang beliau, bahkan menjulukinya “Sang Pemula”.
Gelar Bapak Pers Nasional pun disematkan Pram kepada Tirto, dan dikukuhkan pemerintah RI pada 1973. Sementara pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Pahlawan Nasional.
Saking besarnya pengaruh Tirto, penerbit buku-buku Pramoedya, Hasyim Rachman, mendeskripsikannya dengan kalimat di bawah ini.
“Baca nisannya. Meninggal tahun 1918. Soekarno sendiri masih remaja waktu itu. Bayangkan orang ini sudah memperjuangkan kemerdekaan, Soekarno masih remaja, 1918. Orang ini sama besarnya dengan Soekarno, mungkin lebih besar,” ucapnya saat berkunjung ke makam Tirto pada 1992, dikutip dari tulisan Max Lane di Progress.
BACA JUGA: ‘RASKIN DINING EXPERIENCE’ DIKECAM, INILAH SEJARAH KELAM BERAS MISKIN YANG HARUS LO PAHAMI
Sepak terjang Tirto luar biasa. Namun, bukan tanpa konsekuensi. Karena sering nge-spill kelakuan pejabat kolonial, ia dilaporkan dan disanksi pengasingan pada pengujung 1912. Pembuangan itu menjadi pukulan terakhir baginya.
Pengaruh Tirto melemah sepulang dari pengasingan. Harta dan asetnya ludes disita pemerintah Hindia Belanda. Teman-temannya menjauh. Depresi menggerogoti pikirannya. Ia nyaris kehilangan ingatan. Penderitaan fisik dan batin meluluhlantakkan jiwanya.
Gerak-geriknya terus dipantau oleh pemerintah Belanda. Barangkali tuturan tokoh Jacques Pangemanan, seorang agen polisi Belanda dalam bab terakhir buku Rumah Kaca, mendeskripsikan situasi Tirto dengan tepat.
“Bahwa kepulangannya ke Jawa tidak pernah diketahui pers adalah berkat pengekanganku yang cukup ketat. Ia tidak boleh menarik perhatian umum lagi. Sungguh satu ironi, seorang pelopor pers tidak mendapatkan tempat pada salah satu bagian terpenting hidupnya,” ucap Jacques.
“Ia pergi dalam kesepian. Ia seorang pemimpin yang dilupakan pengikutnya, ia yang sudah dilupakan sejak hidupnya. Mungkin bisa terjadi dan hanya terjadi di Hindia, di mana tulang belulang pun dengan cepatnya dihancurkan oleh kelembaban,” sambungnya.
Tirto dijemput ajal karena disentri pada 7 Desember 1918. Ia dikubur di Mangga Dua. Pram kemudian mengisahkan, hanya ada dua orang kenalan yang mengantarnya ke peristirahatan terakhir. Seorang dokter, Raden Goenawan, dan satu orang pengagumnya, yang menonton dari jauh. Tidak ada yang membacakan jasa-jasanya. Tidak ada keluarga. Tidak ada sahabat.
Rabu, 7 Desember 2022, 104 tahun setelah kepergian Tirto. Penjaga makam yang tidak ingin disebutkan namanya itu berkisah. Kebetulan, hari itu hanya saya dan Refinaya yang berziarah ke makam Tirto Adhi Soerjo. Kalaupun ada peziarah, ucapnya, sanak keluarga, wartawan dan sejarawan.
“Warga sekitar saja jarang, apalagi pejabat,” ucapnya.
Sang pemula mungkin dilupakan oleh zaman, tapi sepak terjangnya kekal. Di Kota Hujan, ia beristirahat dalam keabadian. (*)