In Depth

BERANI PILIH KARIER YANG TAK SEJALUR JURUSAN KULIAH?

Apakah kerja di SCBD dengan gaji dua digit, dengan jam kerja 9 to 5 adalah satu-satunya karier yang harus kita pilih? Semestinya sih tidak ya. Ada seribu jalan menuju Roma. Salah satunya adalah menjadi aupair.

title

FROYONION.COM - Beberapa waktu lalu saya menonton Transformers: Rise of The Beasts dan mendapatkan kutipan menarik dari salah satu karakter. Dalam salah satu scene Elena (Dominique Fishback) bercerita mengenai ayahnya ke Noah (Anthony Ramos). Dia bilang kalau ayahnya adalah orang paling pintar di dunia yang dia kenal. Padahal, ayahnya hanya supir dan tidak pernah sekolah tinggi-tinggi. “Kalau kau membuka mata dan telingamu, dunia akan memberikanmu pelajaran berharga…” 

Di momen berbeda, seorang teman memberikan ide ke saya untuk ikut kelas publik untuk mata kuliah Kajian Gender di UI. Kalau ditotal, biaya yang dikeluarkan hampir Rp 4.000.000. “Kamu enggak mau ikut kelas-kelas begini?” saya bertanya begitu karena saya tahu dia sudah pernah mengambil magister untuk Kajian Amerika. Dalam pemikiran saya, mungkin dia cukup haus akan ilmu (?). Terus dia menjawab telak, “Ah, sayang, uang segitu mending ke Thailand atau ke mana, untuk melihat dunia luar…”

Saya jadi teringat dengan seorang murid di kelas menulis yang menjadi aupair (babysitter—red) di Eropa selama hampir 5 tahun. Kita sebut saja namanya I. Si I ini lulusan S1 Akuntansi di salah satu kampus di Kalimantan. 

Sempat bekerja kantoran, sampai akhirnya memutuskan untuk menjadi aupair. Sebagai aupair, I pernah bekerja di beberapa negara sampai terakhir dia bermukim di Luksemburg. 

Salah satu alasannya menjadi aupair adalah untuk melihat dunia dan belajar dari dunia. Guru yoga saya pernah mengatakan hal yang serupa. “Saya tidak perlu kuliah, dunia mengajarkan apa yang saya butuhkan..”

Eits, jangan langsung salah paham, dan mengasumsikan apa yang saya sampaikan ini adalah pembenaran untuk tidak melanjutkan kuliah ya. Hanya saja, selama ini orang-orang berpikir kalau satu-satunya cara untuk terbebas dari belenggu kemiskinan ataupun kemandirian finansial adalah melalui pendidikan.

Ya memang benar sih lewat pendidikan. Tapi, patut diketahui kalau belajar itu tidak selalu lewat jalur formal. Kita sering lupa, kalau eksistensi kita di dunia sebagai individu dan interaksi-interaksi yang dilakukan sehari-hari, dengan siapa kita berkomunikasi, bagaimana kita merespons dunia adalah pembelajaran berharga. Ini akan menentukan akan menjadi orang seperti apa kita kelak, nantinya. 

BACA JUGA: BERAPA DANA UNTUK KULIAH DI PTN TERBAIK DI INDONESIA?

Mengutip apa yang disampaikan Martin Suryajaya dalam channel YouTubenya yang dilansir dari Instagram @cantrikpustaka, pendidikan seharusnya tidak hanya untuk memperoleh skills. Lebih dari itu, pendidikan seharusnya berguna untuk masyarakat dan membawa kita pada cara pandang baru untuk merespons pada apa yang terjadi di sekitar.

Pertanyaannya sekarang adalah, sejauh mana pendidikan yang kita peroleh membawa pada pembaharuan, mulai dari pola pikir, sampai posisi kita sekarang ini? Apakah karier yang kita tempuh saat ini harus selinear dengan pendidikan kita? Apakah kerja di SCBD dengan gaji dua digit, dengan jam kerja 9 to 5 adalah satu-satunya karier yang harus kita pilih? Semestinya sih tidak ya. Ada seribu jalan menuju Roma. 

Seperti yang dilakukan I, ada banyak pelajaran yang bisa dia peroleh dari memilih jalan yang tidak selinier dengan pendidikannya.

1. Penguasaan bahasa asing

“Kalau dulu bahasa Inggrisku terbata-bata, sekarang sangat jauh lebih lancar…” 

I mengakui setelah beberapa tahun tinggal di Eropa, bahasa Inggrisnya jauh lebih baik. Kalau dulu terbata-bata banget, sekarang seperti air terjun yang mengalir deras. 

Bagaimana tidak lancar? Bahasa Inggris adalah modal yang diperlukan untuk tinggal di benua biru. Pun sebenarnya beberapa negara di Eropa lebih mengutamakan bahasa lokal mereka. Misalnya, ketika di Paris, I dituntut untuk bisa bahasa Perancis. 

2. Culture shock yang memperkaya pengalaman hidup

I cerita, tahun-tahun pertama di Eropa dia mengalami culture shock. Bahkan sampai sekarang dia masih terus belajar membiasakan diri dengan perbedaan yang ada. Oh ya, culture shock yang dialami I tidak semata pada budaya Eropa. Mengingat Luksemburg adalah negara yang banyak imigrannya, pastinya ada banyak budaya yang harus ditoleransi. 

3. Traveling yang banyak

Menjadi aupair membuat I punya banyak kesempatan untuk berpelesir. Hampir semua negara di Eropa pernah dijelajahinya. Mulai dari perjalanan darat dengan mobil sampai dengan pesawat. Kalau dipikir-pikir, pengalaman ini kemungkinan tidak bisa diperoleh I kalau dia memilih bekerja kantoran di Indonesia.

4. Pekerjaan yang nggak mainstream

“Jadi pembantu dong….”

I cerita, tak jarang orang menyamakan pekerjaan yang dilakukan I tak lebih dari pembantu rumah tangga. Padahal, kenyataannya, apa yang dilakukan I lebih dari sekadar membantu pekerjaan rumah tangga. I lebih ke menjalankan tugas mengasuh anak. 

Dan walaupun mengasuh anak, I mendapatkan tunjangan kesehatan, dikursuskan skill tertentu oleh yang mempekerjakannya, mendapatkan hari libur yang wajar, pekerjaan fleksibel dengan gaji yang lumayan banget. 

FYIupdate terakhir dari I, I berencana menulis mengenai pengalamannya sebagai aupair. Dalam waktu dekat akan melangsungkan pernikahan dengan tunangannya. Ada kemungkinan mereka akan buka usaha dan menetap di Bali.

Tidak hanya Io, sebenarnya ada banyak contoh pengalaman orang Indonesia yang tinggal di luar negeri dan menjalankan profesi yang tidak biasa. Mulai dari supir bus anak sekolah atau menjadi pekerja di restoran cepat saji.

Seorang teman dari eks teman kantor saya, memilih tinggal di Australia dan menjadi pelayan restoran cepat saji. Tingkat pendidikannya tidak main-main, sudah sampai S3 dan S3-nya ini dari universitas negeri. 

Ketika pandemi datang, dia mengalami penurunan pendapatan. Sampai akhirnya memutuskan untuk mencari peluang di Australia dan berhasil. Dia bisa mengirim dua digit dari kerjanya di Australia—yang mungkin disambinya dengan kerja-kerja yang lain. 

Hidup terlalu singkat untuk kita menjalani kehidupan yang itu-itu saja. Hidup terlalu sederhana kalau hanya melakukan apa yang sudah dilakukan orang lain. Sayang sekali kalau hidupmu, kesenanganmu diputuskan oleh pendapat kebanyakan orang. (*/) (Photo credit: Monstera)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Ester Pandiangan

Penulis buku "Maaf, Orgasme Bukan Hanya Urusan Kelamin (2022)". Tertarik dengan isu-isu seputar seksualitas.