Siapa yang dalam berkarier selalu mengejar promosi atau jabatan Civs? Ada sudut pandang lain nih, kalau ternyata kerja nggak selalu soal hal itu.
FROYONION.COM - Buat beberapa orang, mungkin tampil ambisius dan memukau bos atau atasan di kantor jadi salah satu cara yang paling efektif buat menapaki kesuksesan. Dalam berkarier, memang nggak salah juga sih kalau ada anggapan tentang kesuksesan berkutat pada kenaikan jabatan. Apalagi, kalau lo bisa mendapat jabatan tertentu dalam rentan waktu yang cepat.
Biasanya, circle lo mungkin bakal ngeliat lo sebagai seorang pemenang dalam karir. Misalnya, sukses menjadi manager sebelum usia 26 tahun atau mungkin beberapa ada yang bisa duduk di director level saat baru menginjak usia awal 30-an.
Tapi terkadang ada juga loh Civs orang-orang yang sudah berumur, tapi masih pada jabatannya di situ-situ saja. Karena memang mungkin jabatan bukan satu-satunya indikator atau matrix untuk mengukur tingkat kesuksesan seseorang dalam berkarier?
Lo percaya akan hal itu nggak?
Gue pun nemuin satu insight baru tentang karier dari Linkedin. Ditulis sama pengguna dengan username Janu Prasetya, dari profilnya sih disebutkan kalau doi adalah Marketing Manager di Pintarnya.
Anyway, ada satu case study yang dijabarkan doi tentang bagaimana cara raksasa teknologi Apple mengelola manajemen perusahaannya. Konon katanya, perusahaan itu mengajarkan kita kalau nggak semua orang dalam tim itu ingin promosi, jabatan, dalam konteks ini.
Dalam dunia pekerjaan itu, lazimnya lo bisa melihat ada dua tipe orang. Mereka adalah si Rockstar ataupun si Superstar. Konteks tipe tersebut juga ternyata dituliskan dalam buku Radical Candor dari Kim Scott.
BACA JUGA: JANGAN CUMA KERJA KERAS, MARI MULAI BEKERJA LEBIH CERDAS TAHUN INI
Simpelnya begini, ada orang yang jago dan passionate dengan pekerjaan yang dijalankan sekarang ini. Biasanya pegawai dalam tipe ini merasa nyaman dengan posisi ataupun jobdes yang dikerjakannya sehari-hari. Banyak juga alasan sebenarnya yang bikin pilihan itu jadi nyaman buat mereka.
Walhasil, mereka pun nggak mau menjadi leader ataupun mendapat kenaikan jabatan karena hal tersebut mungkin saja mengganggu kestabilan kerja mereka sekarang ini. Biasanya, yang ada di tipe ini adalah mereka yang bergelut pada dunia kreatif. Nah, contoh ini lazim disebut sebagai rockstar cuy.
Tipe kedua adalah superstar. Biasanya memang orang-orang dengan tipe ini adalah pegawai yang suka menghadapi tantangan baru. Mereka pun sudah memiliki goals yang di-set dalam membangun karier. Hasilnya bagaimana? Mereka mungkin akan bersikap lebih ambisius buat menapaki jenjang karier secara serius dalam pekerjaannya.
Pegawai tipe ini biasanya suka dengan tantangan baru dan ogah untuk stuck di satu tempat. Sebenarnya bukan cuma untuk kenaikan jabatan a.k.a promosi doang ya, bisa juga mereka ingin mencoba pada jalan karier lain dengan mutasi ataupun rotasi pekerjaan tapi tetap pada spesialisasinya. Orang-orang ini, menurut Janu, biasanya bekerja pada ranah project planner ataupun management.
Nah, coba deh lo ingat-ingat lagi kira-kira masuk tipe mana lo? Nyatanya, superstar dan rockstar ini sama-sama saling dibutuhkan dalam suatu perusahaan agar sistem bisa berjalan cuy.
Jangan ada anggapan kalau rockstar itu nggak punya ambisi dalam bekerja sehingga akhirnya merugikan tim. Justru mungkin saja mereka yang ada dalam tipe rockstar ini sangat berfokus pada pengembangan diri dan skills mereka sehingga nggak punya keinginan lagi untuk mengejar promosi.
Ibarat katanya, para rockstar ini merasa nyaman kalau pekerjaan yang digeluti sekarang ini dalam kantor bisa meningkatkan nilai diri mereka. Rockstar ini pun umumnya ahli dalam mencairkan suasana dan nggak pelit ilmu terhadap pegawai lainnya.
Nah, dengan keberadaan rockstar dalam tim pasti membuat peningkatan skill anggota lainnya bisa terjadi. Yang tadinya bad jadi good, yang good mungkin bisa menjadi great, dan yang great akhirnya menjadi perfect. Begitu mungkin kira-kira bagaimana rockstar bekerja dan beradaptasi dalam suatu lingkungan pekerjaan.
Kalau lo merasa nyaman dengan menjadi rockstar, menurut gue sih ya just go ahead. Itu bukan kesalahan kok, terkadang gue juga merasa kalau promosi ataupun jabatan dalam berkarier nggak harus jadi tujuan utama dalam bekerja.
BACA JUGA: JENJANG KARIER PENULIS DIGITAL & CARA MEMULAI JADI PENULIS
Contoh lain mungkin, dalam industri gue sebelumnya di dunia media dan sebagai wartawan ternyata banyak rekan-rekan gue yang nggak butuh promosi jabatan menjadi editor ataupun redaktur pelaksana. Kenapa? Mereka wartawan yang terbiasa bekerja dari lapangan ternyata cenderung sulit untuk bekerja dalam kantor.
Mengedit berita atau mengikuti rapat-rapat lainnya yang mungkin berkaitan dengan redaksi ataupun bisnis media tersebut bisa menjadi sangat membosankan buat kami yang terbiasa di lapangan. Walhasil, nggak jarang teman-teman gue yang memang seharusnya sudah naik jabatan pun memilih untuk tetap bekerja di lapangan. Mereka yang usianya sudah 40 hingga 50 tahun pun masih banyak bisa lo temukan meliput isu-isu terkini sebagai wartawan.
Apakah cara bekerja itu salah? Tentu saja nggak cuy, mungkin lo harus ubah sedikit sudut pandang benar dan salah itu ketika merintis karier. Ambil nilai plus yang bisa lo lakukan ketika berada pada suatu jabatan (dan enggak dipromosikan).
Kalau balik ke kasus gue tadi yang merasa lebih nyaman sebagai wartawan lapangan, mungkin nilai plusnya adalah gue bisa terus menjalin relasi dengan narasumber. Artinya, ruang gerak gue akan lebih luas dan lebar untuk mendapatkan koneksi dan jejaring ketika berada di lapangan. Hal itu mungkin nggak bisa lagi gue lakukan ketika sudah menjadi awak redaksi yang bertugas di kantor.
Nggak cukup sebenarnya cuma dengan mengidentifikasi apakah tim yang lo punya di kantor itu berisi rockstar ataupun superstar. Penempatan tugas pun harus dilakukan dengan tepat dan terukur sehingga sistem dalam menjalankan suatu pekerjaan bisa berlangsung.
Nah, dalam tulisan Janu yang gue kutip. Disebutkan kalau salah satu fungsi penting untuk menjalankan tugas itu adalah manajer. Bukan cuma buat memetakan tim doang ternyata cuy, manajer ini harus jadi orang yang peka dan sadar kalau tipe-tipe ini bisa saja berubah kapanpun tergantung pada situasi.
Bisa saja mereka yang tipe rockstar akhirnya menjadi ambisius dan mengejar promosi jabatan karena butuh tambahan pemasukan atau hal lainnya. Atau mungkin mereka yang ada di tipe superstar sudah merasa nyaman dengan apa yang mereka lakukan sehingga tidak lagi membutuhkan perubahan extreme dalam kariernya.
Balik lagi ke studi kasus di Apple, mereka yang ada pada fungsi manajer itu harus lebih banyak mendengar dan memahami para pegawainya. Penting agar mereka pada level ini nggak banyak menceramahi pegawai dengan memberitahu apa yang harus dilakukan.
Selain itu, manajer harus lebih banyak mendebat dibanding mengarahkan. Tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dibandingkan dengan apa yang dipilih oleh pegawai. Mereka pun harus mendorong orang untuk memilih bukan menjadi pemilih. Serta lebih banyak membujuk dibanding memberi perintah.
Yang terpenting adalah, manajer harus lebih banyak belajar dibanding mengetahui. Meskipun, menurut gue sebenarnya hal ini sih harus dipunyai semua orang ya. (*/)
BACA JUGA: BERKARIER DI INDUSTRI MEDIA KREATIF? INI YANG HARUS LO SIAPKAN!