Salah satu fenomena menarik terkait dengan generasi pekerja muda muncul di Korea Selatan. Banyak anak muda tampaknya lebih memilih menjadi pengangguran. Apa yang mendorong fenomena ini, dan bagaimana dengan anak muda Indonesia?
FROYONION.COM - Di era digital saat ini, kita sering mendengar tentang perubahan besar dalam cara anak muda melihat pekerjaan. Nggak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia, tren ini terus berkembang.
Baru-baru ini, Korea Selatan menyaksikan fenomena menarik di antara anak muda mereka. Generasi yang sebelumnya didorong untuk mencari pekerjaan dengan giat sekarang tampaknya lebih memilih untuk menjadi pengangguran dengan sengaja.
Banyak dari mereka lebih memilih untuk menjadi "tukang tidur," yang merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan mereka yang tidur sepanjang hari dan menjalani gaya hidup yang santai.
Fenomena ini menjadi perhatian di berbagai media dan memunculkan pertanyaan tentang mengapa generasi muda Korea Selatan cenderung memilih gaya hidup ini.
BACA JUGA: MERAKI: MENEMUKAN MAKNA DAN KEBAHAGIAAN DALAM PEKERJAAN DAN KEHIDUPAN
Nggak bisa dipungkiri bahwa faktor tekanan dan harapan yang tinggi yang ditempatkan pada generasi muda di Korea Selatan memiliki peran besar dalam fenomena ini.
Mereka sering kali menghadapi tekanan dari keluarga dan masyarakat untuk mencapai kesuksesan dalam bentuk pekerjaan yang mapan.
Namun, dengan kompetisi yang ketat dan persaingan yang kuat, tidak semua orang dapat mencapainya. Ini menyebabkan banyak anak muda merasa putus asa dan lebih memilih untuk menghindari tekanan ini dengan menjadi pengangguran.
Sekarang, mari kita lihat apakah fenomena ini juga berlaku untuk anak muda Indonesia.
Di Indonesia, tekanan untuk mencapai kesuksesan dalam pekerjaan juga sangat tinggi. Banyak anak muda di sini merasa perlu untuk memenuhi ekspektasi keluarga dan masyarakat dalam hal pencapaian karir.
Namun, ada perbedaan signifikan dalam cara generasi muda di Indonesia dan Korea Selatan merespons tekanan ini. Salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan ini adalah budaya dan nilai-nilai yang berbeda di kedua negara.
Di Indonesia, keluarga dan lingkungan sosial memainkan peran yang sangat besar. Banyak anak muda di sini merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarga mereka dan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Oleh karena itu, banyak dari mereka lebih cenderung mencari pekerjaan atau mencari penghasilan stabil daripada memilih untuk menjadi pengangguran dengan sengaja.
Nggak hanya itu, akses terhadap peluang pekerjaan di Indonesia juga berbeda. Meskipun ada banyak anak muda yang beralih ke pekerjaan di dunia digital, banyak juga yang masih harus mencari pekerjaan konvensional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tingkat pengangguran yang tinggi di beberapa wilayah di Indonesia juga membuat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin ketat.
Namun, tidak dapat disangkal bahwa tren pekerjaan digital dan gaya hidup yang lebih santai juga semakin populer di kalangan anak muda Indonesia.
Banyak dari mereka memilih untuk menjadi freelancer, menjalankan bisnis online, atau menjadi konten kreator di platform seperti YouTube dan Instagram. Nah, ini membuka peluang untuk menghasilkan penghasilan sambil menjalani gaya hidup yang lebih bebas.
Di bawah ini merupakan pendapat generasi muda Indonesia menanggapi anak muda di Korea Selatan yang lebih memilih menjadi pengangguran dengan sengaja.
Seorang pekerja swasta asal Tangerang Selatan, Dian (24 tahun), bilang kalau fenomena ini cukup menarik. Menurutnya, tekanan yang besar yang ditempatkan pada anak muda di Korea Selatan, khususnya dalam mencari pekerjaan yang mapan, mungkin membuat sebagian dari mereka merasa lelah dan putus asa.
“Nih ya, gue bisa merelakan pekerjaan gue sekarang, tetapi gue juga merasa perlu untuk menghasilkan uang dan mendukung keluarga. Kalo gue lebih condong ke arah mencari pekerjaan tetap dan mengembangkan karir,” katanya saat ditanyai di salah satu tempat kopi di kawasan Gading Serpong, Minggu (3/9).
Meski begitu, Dian tetap menghargai kebebasan yang dimiliki oleh mereka yang memilih gaya hidup yang lebih santai. Pasalnya, setiap orang memiliki pandangan berbeda tentang suatu pekerjaan.
Berbeda dengan Dian, Dama (26 tahun) punya perbandingan anak muda Korea Selatan yang lebih memilih pengangguran dan anak muda di Indonesia yang fleksibel soal pekerjaan.
“Di sini (Indonesia) gue merasa tekanan buat mencari pekerjaan atau penghasilan lebih tinggi sangat tinggi. Keluarga dan masyarakat kita sering menghargai profesi yang konvensional dan mapan, kan? Makanya orang kita itu getol banget buat kerja,” ujarnya.
Lebih lanjut, beberapa faktor mungkin menjadi masalah di kalangan anak muda di Korea sampai mereka memilih pengangguran, bisa jadi karena persaingan di tempat kerja atau malu belum dapat pekerjaan yang stabil dan layak.
Dama cerita, kalau ia memiliki teman-teman yang memilih karir berbeda. Contohnya menjadi freelancer atau menjalankan bisnis online. Pekerjaan yang nggak bisa dipandang sebelah mata.
“Mereka bahagia dengan keputusan mereka. Gue rasa yang terpenting adalah mengejar apa yang membuat kita bahagia dan stabil secara finansial,” jelasnya.
Pendapat lain, disampaikan oleh Sasha (28 tahun) seorang karyawan dan juga pengusaha kerajinan tangan. Menurutnya banyak pelajaran yang bisa diambil anak muda di Indonesia dari fenomena pengangguran di Korea Selatan.
“Lebih ke pelajaran yang gue ambil ya. Yang paling utama kita nggak harus terjebak dalam konsep pekerjaan yang konvensional. Sekarang udah banyak kok anak muda di Indonesia yang coba berbagai jalur seperti menjadi pekerja lepas, gue juga nyambi jualan online,” jelasnya sambil menyeruput kopi panas yang sudah tersaji.
Kata Sasha, ini menunjukkan bahwa kita dapat menciptakan peluang sendiri. Jadi, akan sangat penting punya rencana dan menjalani hidup dengan penuh semangat, tetapi juga penting untuk menghormati pilihan individu mencari kebahagiaan dan keseimbangan dalam hidup.
Nah, fenomena pengangguran anak muda di Korea Selatan mencerminkan perubahan dalam cara generasi muda melihat pekerjaan dan tekanan yang mereka hadapi.
Meski ada beberapa kesamaan dengan situasi di Indonesia, perbedaan budaya, nilai-nilai, dan peluang pekerjaan membuat respons generasi muda di kedua negara berbeda. Kalau menurut kalian gimana? Komen dong! (*/)