Karena media, bahasa Jawa Ngapak kerap diidentikkan dengan orang udik yang norak dan kurang intelektual. Padahal ada cerita di balik bahasa Ngapak yang jauh dari kesan itu.
FROYONION.COM - Banyak orang beranggapan bahwa orang ngapak cara bicaranya itu lucu dan layak untuk ditertawakan, sebab ketika orang berbicara dengan dialek khasnya tersebut ada beberapa penekanan dan itu sangat berbeda dengan cara bicara masyarakat Jawa Tengah lainnya terlebih daerah Solo dan sekitarnya. Pandangan aneh yang melekat di masyarakat kepada cara bicara dan bahasa ngapak ini masih tumbuh dengan subur, terutama bagi orang-orang di ibukota.
Stereotipe yang menempel pada orang yang bicara dengan dialek ngapak itu aneh dan bahkan dicap kampungan disebabkan adanya produksi secara terus berulang dan masif di stasiun televisi swasta nasional, melalui siaran FTV maupun sinetron (yang tidak terlalu estetik hehe), di mana selalu menempatkan tokoh yang berperan sebagai orang kampung harus berlogat medok, entah itu dialek Jawa, Sunda atau bahkan Ngapak sekalipun. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang merekonstruksi pola pikir masyarakat luas bahwa orang-orang yang berbicara dengan logat Jawa, Sunda serta Ngapak adalah orang kampung yang norak dan tidak intelektual.
Padahal, apa yang terjadi sebenarnya adalah berbanding terbalik dengan stempel masyarakat kita secara umum. Bagaimana tidak, bahwa sebenarnya bahasa Ngapak adalah bahasa Jawa tertua atau bahasa Jawa generasi pertama yang digunakan oleh orang Jawa Dwipa (suku Jawa tertua) dan orang-orang yang masih mempertahankan penggunaan bahasa Ngapak adalah adalah orang yang sadar akan asal tempatnya. Bahasa Ngapak masih digunakan di daerah eks karesidenan Pekalongan dan Banyumas.
Bahasa Ngapak merupakan wujud pembangkangan terhadap Mataram yang sengaja menciptakan sekat dalam tatanan sosial dari segi berbahasa. Hal tersebut terbukti dari pihak keraton atau kerajaan yang mewajibkan menggunakan bahasa Jawa Halus atau lebih dikenal dengan Krama Alus, jika ditelusuri bahasa Jawa Krama Alus ini adalah bahasa Jawa generasi kelima yang memang diciptakan untuk lingkungan keraton, agar ada perbedaan jika berbicara dengan orang keraton atau kerajaan. Berbeda dengan apa yang terjadi di masyarakat eks karesidenan Banyumas dan Pekalongan, mereka menolak penggunaan strata bahasa dan lebih mempertahankan bahasa ngapak yang telah mereka gunakan sejak nenek moyang mereka ada. Masyarakat yang masih mempertahankan bahasa ngapak adalah orang-orang yang memang tinggal di sepanjang jalur Pantura (Pantai Utara Jawa) tempat mereka tak pernah setuju dengan adanya strata bahasa yang selalu diagungkan oleh masyarakat sekitar keraton seperti Solo dan Jogja.
Bahasa Ngapak adalah bahasa perlawanan yang nyata adanya sebab masyarakat Ngapak di eks karesidenan Banyumas dan Pekalongan yang meliputi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen, Tegal, Brebes, Pemalang, Batang dan Pekalongan tetap kekeh menggunakan bahasa dan dialek atau logat asli mereka tanpa tertarik untuk menggunakan bahasa jawa halus atau dialek masyarakat sekitar keraton. Menolak adanya ketimpangan dalam berbahasa dan memandang semua sama atau setara (egaliter).
Masyarakat Ngapak juga dikenal sebagai masyarakat yang berbicara kasar, padahal yang sebenarnya terjadi adalah masyarakat Ngapak hanya berbicara apa adanya alias blak-blakan tanpa ditutupi, semisal jika satu orang tidak suka dengan orang lain maka orang itu langsung menyampaikannya ke pihak yang yang bersangkutan, bukan malah membicarakannya di belakang sampai menyebarkan kebencian ke orang lain.
Tetapi, apa yang terjadi saat ini, masyarakat kita mengalami kesalahan berpikir atau miskonsepsi, karena cara berbicara yang lebih menekan dan berbeda dengan masyarakat Jawa Tengah lainnya maupun dengan masyarakat Jogja, orang-orang ngapak ini malah dijadikan bahan lelucon hingga ejekan yang jatuhnya diskriminasi terhadap suatu kelompok tertentu, padahal jika dikaitkan pada trend saat ini begitu banyak yang berbicara soal “pluralisme” tapi dalam prakteknya masih banyak juga yang mencela masyarakat Ngapak.
Bagi orang Ngapak yang tidak memiliki selera humor yang tinggi, mungkin ketika menjumpai cemoohan atas gaya bicara mereka oleh orang-orang dari luar Ngapak akan merasa sangat tersinggung, dan sangat sering terjadi ketika orang ngapak pergi merantau ke luar kota di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur tetapi di luar kawasan eks karesidenan Banyumas dan Pekalongan, maka orang-orang Ngapak akan mulai belajar berdiaspora atau sering disebut beradaptasi dengan cara mengurangi logat bawaannya yang begitu kental.
Ada banyak hal yang seharusnya dipahami ketika kita melihat berbagai macam corak kebudayaan bangsa ini, tak terkecuali dengan bahasa ngapak yang masih eksis sampai saat ini. Budaya yang memiliki makna dan sejarah yang kuat ini mesti perlu dilestarikan, dirawat dan ditularkan bukan malah dicemooh begitu saja tanpa tahu cerita di balik kebudayaan itu sendiri. Pluralisme yang selalu digaungkan oleh generasi milenial saat ini pun perlu dipertanyakan kembali, apakah mereka benar-benar memahami arti pluralisme dan toleransi atau hanya sebatas pakaian dan gaya hidup agar dicap sebagai intelektual.
Salah satunya adalah bagaimana kita merawat bahasa ngapak sebagai bahasa masyarakat di daerah eks karesidenan Banyumas dan Pekalongan, terlebih itu adalah tanggung jawab moril dan sosial bagi masyarakat yang lahir dan hidup di sana, serta bagi masyarakat di luarnya agar tetap bertoleransi. Sebab, pada sejarahnya bahasa ngapak adalah bahasa yang luhur, bahasa yang digunakan oleh masyarakat jawa kuno pada generasi awal yaitu Jawa Dwipa, serta sebagai wujud protes dari adanya politisasi kraton dalam menguasai wilayah-wilayah di sekitarnya selain dengan cara budaya dan militerisme tetapi dengan bahasa juga yang menimbulkan adanya ketimpangan kelas sosial di masyarakat, hal tersebut ditabrak dengan adanya penggunaan bahasa ngapak yang semua dipandang sama, tidak memandang usia dan jabatan lawan bicara agar lebih setara. (*/)