Kita ga pernah tau siapa di balik ava anime atau K-Pop, bisa jadi mereka lulusan S3 Harvard atau Oxford. Jadi, ga usah sotoy kalau kalah debat sama mereka.
Nggak bisa dipungkiri kalau sosial media merupakan sebuah tempat yang seringkali menciptakan ruang diskusi terhadap suatu fenomena yang lagi happening banget di Indonesia dan bahkan dunia.
Selayaknya sebuah diskusi, pastinya terdapat argumen yang pro maupun kontra terhadap suatu fenomena yang sedang dibahas. Sehingga, seringkali sebuah perdebatan ga bisa kita hindari. Karena pada dasarnya, sosial media memberikan ruang diskusi bagi semua orang dimana semua orang dapat berpendapat secara bebas.
Perang argumen jelas menjadi hal yang paling sering terjadi di sebuah ruang diskusi. Tentunya, argumen yang lo berikan harus sesuai dengan fakta dan dapat dipertanggung jawabkan. Seharusnya, sampai di situ argumen lo setidaknya bisa dianggep relevan oleh orang-orang yang ada di sebuah ruang diskusi di sebuah platform sosial media.
Tapi, ada sebuah peraturan yang mungkin lo pada udah cukup awam dalam ruang diskusi online, terutama di sosial media. Peraturan tersebut adalah, kalau misalnya display picture akun sosial media lo adalah karakter anime atau Idol K-Pop, maka secara otomatis pendapat lo bakal dianggap irelevan dan invalid
Yup, sebuah peraturan sederhana yang kayanya sudah menjadi kesepakatan bersama para pengguna sosial media. Peraturan yang absurd, tapi hampir diiyakan oleh hampir pengguna sosial media.
Fenomena kaya gini sering banget gua liat di berbagai platform sosial media, seperti Instagram, Twitter, Facebook, dan bahkan Youtube. Di mana ketika banyak orang yang tidak menggunakan muka aslinya sebagai display picture mereka berpendapat, argumen mereka selalu dianggep ga valid hanya karena display picturenya tokoh anime atau Idol K-Pop.
Tiap kali ada argumen yang dilontarkan oleh ava K-Pop dan ava anime selalu dibalas dengan “Yaelah ngarepin apa si dari ava K-Pop atau ava anime” atau bahkan balesan yang diterima justru ga ada hubungannya sama pendapat yang dikeluarin oleh mereka kaya “Yah dpnya aja ga muka sendiri, malu ya?”
Dari adanya hal tersebut, seakan-akan seseorang yang menggunakan dsiplay picture K-Pop dan anime ga punya kapabilitas untuk mengutarakan pendapat dan argumennya terhadap suatu fenomena. Padahal, kalau kita pikir-pikir sebenarnya ga ada hubungannya antara argumen yang kita keluarkan dan display picture yang kita gunakan. Apa yang membuat kita relevan dalam ruang diskusi ya tentunya pendapat atau argumen yang kita keluarkan.
Dan yang lebih parah lagi, sering banget ketika para pengguna display picture Idol K-Pop dan tokoh anime “memenangkan” perdebatan online. Pihak yang kalah sering banget menyerang hal yang di luar subtansi perdebatan. Seperti,
“Idolain kok plastik”
“Idolain kok karakter fiksi”
“Kok dpnya ga make muka asli, jelek yaa?”
Balesan-balesan di atas ini sebenarnya di luar subtansi perdebatan. Tapi, justru digunakan sebagai kartu ace untuk memenangkan perdebatan. Sebuah perdebatan yang harusnya menyerang argumen lawan justru malah nyerang identitas lawan dan bahkan sampe membawa hal fisik. Hal yang ga keren sama sekali
Dari sini, gua mencoba mencari apa alasan kenapa para pengguna display picture dan K-Pop menjadi salah satu kelompok yang termarjinalkan di dunia maya. Dan setelah ditelusuri, semuanya kembali lagi ke stigma masyarakat terhadap orang yang suka anime dan para K-Poper.
Masyarakat Indonesia masih sering menganggap orang-orang yang menyukai anime dan K-Pop sebagai orang yang aneh, halu, dan terkhusus untuk K-Popers yang sering kali dianggap sebagai pemuja plastik. Dari adanya stigma ini, secara tidak langsung berdampak terhadap apapun yang dilakukan oleh mereka di sosial media.
Selain itu, banyak dari masyarakat Indonesia memandang orang yang menggunakan display picture anime dan Idol K-Pop adalah anak-anak atau bocil, sehingga pendapat mereka merupakan pendapat yang tidak perlu didengar.
Kita juga sering banget melihat berbagai respon seperti,
“Anak kecil tau apa?”
“Udah diem aja cil”
“udah sekolah aja dulu yang bener”
Kita sering banget ngeliat respon seperti di atas apabila ada seseorang yang notabene nya berusia jauh di bawah seseorang memberikan pendapatnya terhadap suatu fenomena. Padahal, umur seringkali bukan menjadi acuan bagi seseorang untuk berpendapat. Terlebih, kita juga sebenarnya sering banget ngeliat orang yang ngakunya “dewasa” tapi pendapatnya masih kaya balita abru bisa gugu gaga.
Adanya stigma terhadap pengguna display picture anime dan Idol K-Pop sebagai anak-anak atau bocil makin mempersulit mereka untuk mendapatkan ruang diskusi yang terbuka dan juga netral. Stigma-stigma inilah yang akhirnya membuat sebuah peraturan yang mengharuskan seseorang untuk menggunakan muka aslinya untuk berpendapat.
Pada akhirnya, apa yang membuat kita rasioanal dan relevan dalam sebuah ruang diskusi online adalah argumen dan pendapat yang kita berikan. Display picture seharunya bukan menjadi acuan apakah pendapat tersebut relevan dan rasional.
Terlebih, sebenarnya dibalik banyak berbagai pendapat dan aktivisme para pengguna display picture anime dan Idol K-Pop di sosial media banyak orang-orang yang berprestasi dan jelas mempunyai kapabilitas untuk membicarakan isu yang sedang dibicarakan. Karena, pada dasarnya kita gapernah tau siapa di balik ava anime dan K-Pop.
Justru kebalikannya, banyak yang menggunakan foto asli sebagai display picture tapi argumen yang dikeluarkan benar-benar absurd dan ga jelas. Dari sini harusnya kita bisa paham bahwa, display picture bukan acuan untuk menilai argumen seseorang.
Banyak orang yang menggunakan display picture anime dan Idol K-Pop karena didasari atas hobi dan kesukaan mereka terhadap suatu hal.
Sama seperti kita menggunakaan foto artis, mobil favorite, atau lokasi yang menjadi kesukaan kita. Jadi, marilah menjadi orang yang lebih objektif dalam berdiskusi di sosial media, adu argumen dengan argumen. Bukan malah komenin display picture orang. (*/)