In Depth

APAKAH BRAND INDONESIA HARUS BERSIKAP TERHADAP KONFLIK ISRAEL-PALESTINA?

Konflik antara Israel dengan Palestina membuat masyarakat mendorong pemilik brand untuk bersikap atas isu tersebut. Lalu apakah brand harus menentukan keberpihakannya?

title

FROYONION.COM - Sejumlah brand multinasional yang beroperasi di Indonesia mendapat boikot lantaran tidak memihak kepada korban atas isu kemanusiaan yang terjadi di Timur Tengah. Konflik antara negara Israel dengan Palestina kini masih menjadi sorotan. 

Dalam hal ini, konsumen sejatinya memang memiliki hak untuk melakukan pemboikotan. Lalu apakah sebuah brand di Indonesia harus mengungkap keberpihakan mereka atas isu global tersebut supaya tidak diboikot?

Froyonion.com berbincang dengan Bima Marzuki, CEO dan founder Media Buffet, Branding Communication Agency. Bima menjelaskan poin-poin penting bagi brand maupun konsumen untuk bijak dalam menyikapi isu tersebut.

KONSEKUENSI BRAND ATAS SETIAP PILIHAN

Bersikap pro ataupun kontra terhadap suatu isu, sebuah brand tetaplah mendapat konsekuensi. Bahkan tidak bersikap (netral) pun dalam hal ini juga bisa menjadi pedang bermata dua.

Terkait konsekuensi tersebut, Bima mengatakan bahwa brand harus bisa mengukur apa yang akan terjadi atas pilihannya. Pilihan yang menjadi keputusan brand harusnya mempertimbangkan respons audiens.

“Yang perlu diperhitungkan adalah seberapa loyal audiens dan stakeholders pada sebuah brand. Keputusan apapun yang dipilih tentu membuat orang berpikir kembali apakah ingin tetap menjadi konsumen yang loyal atau tidak,” terang Bima.

BACA JUGA: RIDWAN MIFRO: WNI YANG BERKARIR DI NEGARA KONFLIK

Dengan memiliki konsumen yang loyal, pilihan apapun yang dipilih mungkin tidak banyak berdampak. Namun, beda halnya bagi mereka yang belum loyal. Maka dari itu sebuah brand besar biasanya didorong untuk bersikap.

Sementara brand baru atau yang belum memiliki basis audiens loyal, masih dibolehkan untuk tidak berpihak supaya menjaga pertumbuhan audiens yang sedang dibangun. Resiko terburuk adalah konsumen pindah haluan alias berpindah ke kompetitor.

YANG PERLU DIBAHAS BRAND SEBELUM BERSIKAP

Beberapa hal yang harus dianalisis adalah respons audiens dan sikap pemerintah. Di negara yang mayoritas beragama Islam, tentu audiens atau masyarakat luas akan mendukung kebebasan Palestina.

Maka dari itu, berpihak kepada Palestina dalam segi kemanusiaan maupun sikap masyarakat Indonesia dalam hal ini sudahlah benar. Untuk mencari aman, brand mungkin akan berpikir untuk tidak memihak pada kubu manapun. 

Namun, brand juga perlu menjaga konsistensi bila sebelumnya kerap aktif dalam menyuarakan sebuah isu, maka ia juga harus bersikap pada isu yang saat ini sedang terjadi. Tidak bersikap malah membuat audiens menilai bahwa ia adalah brand yang tidak konsisten atau hanya riding the wave.

BACA JUGA: GAGAL BERINOVASI, 4 BRAND SEJUTA UMAT INI NGGAK TERDENGAR LAGI

Kalau kalian bekerja di cabang perusahaan multinasional yang berpihak pada Israel, dalam hal ini, tentu kalian perlu membahas kondisi demografis Indonesia dengan perusahaan pusat. 

“Walau kalian bekerja di cabang perusahaan multinasional, bukan berarti kalian harus memihak sesuai dengan yang diarahkan oleh pusat. Brand dalam hal ini bisa mengandalkan masyarakat lokal untuk melakukan penetrasi ke market,” ujar Bima. 

Banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa perusahaan cabang pun turut mempekerjakan ratusan masyarakat Indonesia, dan melakukan boikot bisa jadi adalah keputusan yang keliru—walaupun boikot pun sejatinya adalah hak konsumen.

APAKAH PEMBOIKOTAN ADALAH KEPUTUSAN BIJAK?

Lewat wawancara online dengan Froyonion.com, Bima menjelaskan bahwa konsumen berhak untuk merasa senang ataupun kecewa terhadap sebuah brand. Namun, perlu dipahami juga bahwa struktur korporasi global saat ini tidak melulu bermuara ke pusat.

Banyak perusahaan yang kini menerapkan sistem franchise yang mengharuskan pengelola untuk memasok produk secara mandiri. Dalam hal ini, pemboikotan bisa jadi tidak tepat sasaran. Bisa jadi hanya berdampak kecil bagi pusat, dan berdampak besar secara lokal. 

Informasi berkembang begitu cepat di era digital. Bima menuturkan bahwa hal ini kerap membuat brand jadi mengutamakan awareness dibanding keloyalan konsumen. Padahal brand juga harus membentuk persepsi audiens.

Hal di atas perlu diputuskan secara hati-hati—tidak hanya viral. Brand harus memahami bahwa konsumen memilih untuk membeli pun karena product value. Keberpihakan sebuah brand kepada Palestina dalam isu global yang sedang terjadi pun turut menjadi value di mata konsumen. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Fadhil

Content writer Froyonion, suka pameran seni dan museum, sesekali naik gunung