Pada Piala Dunia kali ini, banyak penggemar sepak bola protes dan menganggap Piala Dunia kali ini terlalu politis. Padahal, sudah sejak dulu sepak bola identik dipakai untuk menyuarakan aspirasi politik.
FROYONION.COM - Civs, kalian mungkin juga sadar kalau akhir-akhir ini banyak yang bilang di kolom komentar bahwa Piala Dunia kali ini terlalu banyak politiknya. Mulai dari aksi Timnas Jerman tutup mulut, pemain-pemain Iran yang tidak menyanyikan lagu kebangsaan, sampai penonton yang memasuki lapangan membawa bendera Palestina.
Melihat ini, banyak yang bilang bahwa seharusnya olahraga seharusnya dipisahkan dengan politik. Masuknya politik dinilai telah ‘menodai’ olahraga yang kita cintai dan seharusnya kita dapat menikmati sepakbola tanpa perlu pusing-pusing memikirkan hal yang serius.
Padahal, hal ini lumrah terjadi loh Civs. Sejak dulu, sepak bola memang identik dengan politik. Mungkin lo pada sudah keburu muak dengan politik karena selalu berakhir busuk. Sepak bola bahkan tidak luput dari praktek buruk politik seperti rasisme, kasus korupsi FIFA yang diangkat menjadi serial Netflix dan pembersihan nama diktator Argentina pada tahun 1978.
Namun, ada juga praktek-praktek baik seperti tim St. Pauli di Jerman yang punk banget menyuarakan anti-nazisme serta komersialisasi sepak bola, ada juga program anti-rasisme yang diusung oleh FIFA atau Marcus Rashford yang menuntut pemerintahnya agar tetap memberikan sarapan gratis demi membantu anak-anak imbas pandemi Covid-19.
Beberapa dari lo yang baca mungkin akan bilang “emangnya bisa pengaruh apa protes-protes di lapangan?”. Mungkin lo gak akan menyangka, tapi iya, memang sangat berpengaruh. Kalo nggak, mana mungkin Bolsonaro, seorang capres asal Brasil, repot-repot mengajak Neymar untuk menjadi pendukungnya. Dilaporkan, bahkan ada dugaan Neymar mendukung Bolsonaro demi melindungi dirinya dari kasus penghindaran pajak yang selama ini ia lakukan.
Namun, bukan berarti pengaruh politik dalam sepak bola selalu buruk. Bahkan cukup banyak juga praktek baiknya. Salah satu contohnya, pada tahun 2005, negara Pantai Gading (gak ada hubungannya sama Gading Marten) dilanda perang sipil. Tidak ada tanda-tanda perdamaian yang muncul. Di saat yang sama, timnas Pantai Gading sedang memperebutkan posisi kualifikasi Piala Dunia.
Kondisinya saat itu, Pantai Gading dapat lolos ke Piala Dunia jika mereka berhasil memenangkan pertandingan melawan Sudan dan Kamerun kalah atau seri melawan Mesir. Tahap pertama perjuangan mereka berhasil, mereka berhasil menang atas Sudan.
Drogba dan kawan-kawannya dengan gugup mendengarkan radio seusai pertandingan. Di menit-menit terakhir skor antara Mesir melawan Kamerun imbang 1-1. Namun, di menit keempat injury time, Kamerun mendapatkan hadiah tendangan penalti karena pelanggaran timnas Mesir.
Dewi fortuna tersenyum, tendangan penalti Kamerun menabrak tiang dengan keras. Timnas dan seluruh warga Pantai Gading bersorak sorai. Di saat itu, salah satu stasiun TV lokal masuk ke ruang ganti para pemain Pantai Gading. Drogba sang kapten, digandeng oleh teman-teman satu timnya kemudian bersuara.
"Saudara-saudariku di Pantai Gading," dia memulai. "Dari utara, selatan, tengah, dan barat, kami membuktikan hari ini bahwa semua warga Pantai Gading dapat hidup berdampingan dan bermain bersama dengan tujuan yang sama - lolos ke Piala Dunia."
Rekaman tersebut berulang-ulang disiarkan di seluruh Pantai Gading. Pidato tersebut berhasil membuat pemimpin pemberontak dan pemerintah untuk menyatakan gencatan senjata. Setiap warga di Pantai Gading baik yang mendukung pemberontakan maupun dari sisi pemerintah dapat merayakan kemenangan timnas mereka.
Tidak hanya itu, setahun kemudian Didier Drogba dan timnas bahkan mengadakan laga melawan timnas Madagaskar di wilayah kekuasaan para pemberontak di selatan Pantai Gading. Hal ini tentu saja berbahaya jika dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, timnas Pantai Gading bak pahlawan nasional kala itu. Pemersatu bangsa yang disimbolkan oleh Didier Drogba dari selatan dan Toure bersaudara dari utara.
Meski perdamaian hanya berselang lima tahun dan Pantai Gading kembali dilanda perang sipil, Drogba setidaknya berhasil membawa kedamaian di tanah airnya.
Hal seperti ini pun bukan hanya sekali terjadi. Sepakbola dapat menjadi force for good bukan hanya untuk senang-senang saja. Tapi juga mengubah nasib suatu kaum atau negara. Legenda sepak bola Brazil yakni Socrates bahkan menyatukan timnya dan membuat gerakan politik “Democracia Corinthiana” dan menjadi salah satu faktor besar rakyat Brazil dalam menggulingkan diktator. Tentunya masih banyak contoh-contoh lain yang akan terlalu panjang untuk ditulis.
Jadi yang mau gue katakan adalah kita gak akan bisa memisahkan sepakbola dan politik. Namun, kita dapat memilih dan mendukung mana stance politik yang cocok untuk kita. Yang tentunya membuat nasib seluruh warga di dunia menjadi lebih baik dan membuang praktek-praktek buruknya seperti korupsi, rasisme dan lainnya. (*/)