
Katanya, orang yang suka selingkuh memiliki penyakit tertentu. Fakta atau hoax? Yuk, simak penjelasannya di sini!
FROYONION.COM - Belakangan ini, kabar perselingkuhan berseliweran di media sosial. Di Twitter misalnya, ada-ada saja warganet yang mengeluh karena pasangannya selingkuh. Mulai dari anak muda yang belum menikah, hingga orang dewasa yang sudah berkeluarga.
Beberapa waktu lalu, hal ini ramai dibahas warganet usai Raffi Ahmad dituding berselingkuh dengan salah satu karyawannya, Mimi Bayuh. Suami Nagita Slavina itu sudah diterpa rumor perselingkuhan berkali-kali tapi ia selalu membantahnya.
Baru-baru ini, warganet tepuk jidat sekaligus geleng-geleng kepala karena Virgoun ternyata sudah berselingkuh sejak tahun 2021. Suami Inara Rusli itu bahkan sudah kumpul kebo dengan wanita simpanannya.
Di tengah maraknya kasus perselingkuhan yang juga menyeret nama selebriti Tanah Air, muncul statement yang menyebut bahwa gemar selingkuh adalah penyakit. Lalu, bagaimana sains menjawab pernyataan yang kontroversial ini? Apa iya orang yang suka selingkuh memang mengidap penyakit tertentu?
Nyatanya, orang yang pernah selingkuh memang berpotensi mengulangi perbuatannya. Pada tahun 2017, Kayla Knopp dan lima peneliti lainnya dari University of Denver mengadakan penelitian tentang perselingkuhan.
Penelitian ini melibatkan 484 partisipan dengan rata-rata usia 24,8 tahun, berasal dari berbagai ras dan etnis, belum menikah, tetapi memiliki hubungan romantis. Knopp dan kawan-kawan juga menggunakan data 1.294 warga Amerika Serikat berusia dewasa muda yang belum menikah tetapi memiliki hubungan romantis. Untuk memperoleh data, para partisipan diminta untuk mengikuti survei.
Hasil penelitian Knopp dan kelima rekannya menunjukkan empat hal. Pertama, orang yang pernah selingkuh tiga kali lebih mungkin untuk melakukan perselingkuhan lagi. Kedua, orang yang pernah diselingkuhi dua kali lebih mungkin untuk diselingkuhi lagi. Ketiga, orang yang curiga pasangannya selingkuh empat kali lebih mungkin untuk menaruh rasa curiga lagi. Keempat, baik pria maupun wanita sama-sama bisa selingkuh berkali-kali.
Selingkuh identik dengan kebohongan yang merugikan orang lain. Orang yang selingkuh mencari kesenangan untuk dirinya sendiri. Lalu, ia akan berusaha menutupi perbuatannya agar tidak ketahuan, dan caranya adalah dengan berbohong.
Menurut hasil penelitian Garrett dkk (2016) dari University College London dan Duke University, hal tersebut ada hubungannya dengan amigdala, yaitu bagian otak yang berfungsi mengatur emosi dan berperan dalam pengambilan keputusan.
Hasil penelitian Garrett dan ketiga rekannya menunjukkan bahwa semakin sering orang berbohong demi keuntungan pribadinya, semakin menurun aktivitas amigdala di otaknya. Amigdala menjadi kurang peka, respon otak terhadap tindakan yang tidak jujur menjadi tumpul, sehingga kebohongan semakin sering dilakukan.
Para peneliti menjelaskan bahwa ketika seseorang berbohong, amigdala akan menghasilkan perasaan negatif yang membatasi sejauh mana dirinya bisa berbohong. Namun, respon amigdala akan melemah ketika orang tersebut terus melakukan kebohongan. Oleh karena itu, ia akan berbohong berkali-kali tanpa rasa ragu.
Selain itu, ada yang namanya compulsive cheating disorder, sebuah istilah yang merujuk pada perselingkuhan kronis. Namun, gangguan (disorder) ini tidak diakui secara resmi dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).
Dengan kata lain, gemar selingkuh tidak diklasifikasikan sebagai gangguan atau penyakit mental. Namun, orang yang memiliki gangguan kepribadian tertentu seperti borderline personality disorder dan narsistik lebih berpotensi melakukan perselingkuhan.
Salah satu gejala borderline personality disorder adalah adanya rasa takut yang luar biasa akan pengabaian. Orang yang memiliki gangguan kepribadian ini merasa bahwa pasangannya tidak setia dan cenderung berasumsi bahwa ia akan disakiti oleh pasangannya. Oleh karena itu, ia akan menjalin hubungan dengan orang lain untuk mengatasi rasa ketidaknyamanannya.
Sementara itu, gangguan kepribadian narsistik ditandai dengan adanya perasaan ingin selalu dicintai dan dikagumi. Orang dengan gangguan kepribadian ini akan mencari orang lain untuk memenuhi hasratnya itu.
Ia merasa tidak puas dengan hubungan yang langgeng dan stabil, karena seiring berjalannya waktu, hubungan bisa terasa membosankan. Alhasil, orang ini akan selingkuh agar bisa kembali merasakan sensasi jatuh cinta.
Selain itu, ada pula yang namanya gen DRD4. Menurut temuan Garcia dkk (2010) dari Binghamton University, setiap orang terlahir dengan membawa gen ini. Namun, orang yang memiliki varian gen DRD4 tertentu lebih mungkin untuk tidak setia pada pasangannya.
Meskipun ada penelitian yang mengkaji hubungan antara perselingkuhan dengan faktor genetik dan faktor kepribadian, bukti ilmiahnya masih sangat terbatas. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mendukung temuan-temuan tersebut.
Orang-orang yang memiliki gen atau kepribadian tertentu mungkin memang berpotensi selingkuh, tapi bukan berarti bahwa mereka pasti akan melakukannya.
Para ahli menyatakan bahwa tidak semua orang yang gemar selingkuh memiliki gangguan kepribadian seperti yang dijelaskan di atas. Jadi, kita tidak bisa langsung memvonis orang yang selingkuh atau gemar selingkuh sebagai orang yang berpenyakit. Bisa jadi ia hanya kecanduan, dan kecanduan bukanlah sebuah penyakit melainkan kebiasaan yang sulit dihilangkan.
Orang yang selingkuh memiliki beragam alasan. Menurut hasil penelitian Selterman dkk (2017) dari University of Maryland, Indiana University, dan Stony Brook University, ada delapan alasan utama mengapa orang melakukan perselingkuhan, yaitu kurangnya rasa cinta, merasa bosan, merasa diabaikan, dipengaruhi situasi, ingin meningkatkan harga diri, marah, rendahnya komitmen, dan adanya hasrat seksual.
Hasil penelitian Selterman dan kawan-kawan juga menunjukkan bahwa alasan utama pria berselingkuh adalah karena adanya hasrat seksual, dipengaruhi situasi, dan merasa bosan, sementara alasan utama wanita berselingkuh adalah karena merasa diabaikan.
Jika melihat alasan-alasan tersebut, perselingkuhan tentu tidak akan terjadi jika seseorang mampu mengontrol dirinya dan menghargai pasangannya. Seperti kata B.J. Habibie, “Awalnya kupikir bahwa setia adalah tidak pernah tertarik pada orang lain selain pasanganku, tapi setia adalah saat kita merasa tertarik lalu pikiran alam bawah sadar kita ingat bahwa pasangan kita lebih baik dari siapa pun.” (*/)