Emang apa enaknya sih jadi stoic? Apalagi itu aliran kuno, emangnya masih relate sama masa kini?
FROYONION.COM - Mungkin ketika lo mendengar tentang filsafat kuno yang pertama kali muncul di pikiran lo adalah ajaran yang membosankan dan sulit diterima oleh logika apalagi untuk yang tidak suka mempelajari sejarah, tidak apa-apa karena itu persis saat gue pertama kali membaca buku tentang stoisisme. Emangnya stoisisme itu apa sih?
Jadi, stoisisme adalah aliran filsafat kuno yang membantu kita untuk mengontrol emosi negatif dan menjaga pikiran yang rasional serta memfokuskan diri dengan apa yang bisa kita kendalikan di masa sekarang (present).
Stoisisme didirikan pada awal abad ke-3 SM dan uniknya masih sangat relevan dengan kehidupan kita di era sekarang.
Stoisisme mengajarkan banyak hal yang dapat membantu kita menghadapi masalah dan emosi negatif yang terjadi di hidup kita apalagi buat lo yang mudah marah dan tersinggung, atau bahasa gampangnya stoisisme mengajarkan lo tetap tenang dan santai dalam situasi menyebalkan, emang bisa?
Tentu saja bisa kalau lo bisa menerapkan konsep-konsep stoisisme berikut.
Pada prinsip dikotomi kendali mengajarkan kita bahwa pada hidup ini terdapat hal yang bisa kita kendalikan dan tidak bisa kita kendalikan, apa saja itu?
Hal yang di luar kendali kita antara lain tindakan, opini, dan persepsi orang lain, kondisi saat kita lahir (ekonomi keluarga, warna kulit, kebangsaan, dll), segala sesuatu yang di luar pikiran kita seperti bencana alam atau peristiwa lainnya.
Lalu, adapun yang hal yang di bawah kendali kita seperti persepsi, tindakan, opini, kita sendiri, tujuan kita, dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri.
Dikotomi kendali adalah prinsip paling dasar dalam stoisisme sekaligus yang paling relevan pada kehidupan kita, mengapa demikian?
Gue yakin 90% dari kalian masih gampang overthinking, mudah marah dan tersinggung dengan opini maupun tindakan orang lain, atau membenci takdirnya sendiri seperti mengapa gue tidak dilahirkan sebagai warga negara A maupun B dan kenapa orang tua gue bukan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, bahkan tidak terima kepada orang lain yang mempunyai kekayaan dan popularitas yang lebih baik dari kita? Ngaku saja.
Bagi para filsuf stoa, menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kendalikan seperti perlakuan, opini orang lain, status merupakan hal yang tidak rasional, atau bahasa gampangnya lo bakal gampang kecewa kalau bergantung dengan apa yang bukan kendali lo.
Contohnya, lo mudah marah dan tersinggung dengan opini, persepsi buruk dari orang lain tentang lo, ketika mendapat kritik, nggak dapet komentar dan pengakuan yang baik, atau misal lo adalah seorang sales dan lo selalu marah serta ngedumel setiap calon konsumen batal membeli produk yang lo tawarkan. Ingat bahwa persepsi dan tindakan orang lain berada di luar kendali kita.
“Siapapun yang menginginkan hal-hal yang ada di luar kendalinya tidak pernah akan benar-benar merdeka dan bisa setia pada dirinya sendiri, tetapi akan terus terombang-ambing terseret pada hal-hal tersebut.” Ujar Epictetus.
Jadi, belajar fokus sama apa yang bisa kita kendalikan seperti tindakan, opini, dan tujuan diri kita sendiri ya, Civs. Karena menurut stoisisme, kebahagiaan sejati datang dari hal-hal yang bisa kita kendalikan.
BACA JUGA: STOIKISME: CEMAS HILANG, HIDUP TENANG
Kita semua pastinya pernah mengalami situasi yang tidak mengenakan seperti dimarahi atasan/dosen, ketinggalan transportasi, kejebak macet, dan banyak musibah lainnya. Lalu, merasa wajar saja bukan apabila respon kita adalah marah atau jengkel?
Menurut stoisisme, peristiwa-peristiwa yang terjadi di hidup kita adalah netral. Namun, persepsi dan anggapan kita lah yang menentukan hal tersebut baik atau buruk.
Dari makna dan persepsi inilah timbul emosi kita, jika kita memaknai dengan negatif maka kita akan merasa marah, kesal, mengeluh. Namun, apabila kita memaknai dengan positif, maka kita akan merasa lebih sabar, terinspirasi, dan tidak menyerah. Jadi, persepsi kita lah yang menentukan.
Gue ambil dari contoh peristiwa di atas, misal lo terjebak macet kemungkinan lo akan merasa jengkel dan kesal yang dapat kita sebut dengan interpretasi otomatis. Dalam stoisisme, emosi negatif berasal dari interpretasi otomatis ketika lo mengalami kejadian yang menjengkelkan. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Mengendalikan interpretasi kita dari interpretasi otomatis menjadi interpretasi rasional. Begini contohnya:
Ketika terjebak macet, interpretasi otomatis yang muncul ialah lo akan menganggap itu buang-buang waktu sehingga memunculkan emosi negatif seperti marah dan frustasi.
Namun, jika lo bisa mengubahnya menjadi interpretasi rasional, lo akan menganggap waktu macet bisa dimanfaatkan untuk membaca berita sehingga emosi positif yang muncul ialah lo merasa tenang dan terinspirasi untuk membaca.
Jadi, stoisisme mengajarkan untuk lebih sabar ketika menghadapi kejadian yang menjengkelkan dan belajar mengendalikan interpretasi lo sendiri.
Stoisisme menganjurkan di banyak situasi untuk cukup fokus mencari solusinya dan tidak perlu buang-buang energi untuk meributkan hal yang sudah terjadi karena seperti yang sudah gue sebut di awal artikel bahwa stoisisme menegaskan kepada masa kini (present).
10% masalah dalam hidup kita adalah masalah itu sendiri dan 90% adalah bagaimana reaksi kita sendiri, maka dari itu stoisisme mengajarkan untuk bereaksi dengan tenang. Kalau kata filsuf stoa, jangan memberikan banyak waktu dengan ngedumel kepada hal-hal remeh.
Sering kali gue melihat anak muda gampang emosi dan frustasi pada masalah sepele seperti musuhan karena di-unfollow sosmed, ditolak gebetan, perang di sosmed karena klub sepakbola favoritnya kalah dan dihujat atau artis idolanya dihina, baku hantam di jalan karena mobil keserempet, dan masih banyak lagi.
Ban bocor di tengah jalan? Cari bengkel.
Tugas/kerjaan banyak? Kerjain .
Masakan hangus? Buat baru.
Lihat komentar buruk? Block saja.
Tidak usah dibuat ribet.
Marcus Aurelius, seorang filsuf stoa mengatakan bahwa kemarahan itu jauh lebih merusak daripada perlakuan itu sendiri. Bagi filsuf lainnya, marah adalah “gila sementara”. Lo pasti pernah mendengar kalimat “Yang waras ngalah” ternyata kalimat tersebut bukan hanya sebatas kalimat asal. Karena kemarahan dimulai dari persepsi kita sendiri atas sebuah peristiwa yang tidak dianalisis terlebih dahulu sehingga keliru. Kalaupun persepsi kita sudah tepat tetap saja tidak berguna ngedumel terhadap hal yang di luar kendali kita. Ya, lagi-lagi kembali ke konsep dikotomi kendali.
Dari tadi cuman bahas buat ngehindarin kemarahan, terus cara mengatasi kemarahan itu sendiri gimana? Katanya stoisisme mengajarkan kita mengendalikan emosi negatif.
Menurut buku Filosofi Teras, langkah-langkah yang bisa kita ambil ketika mulai merasakan emosi negatif adalah dengan menerapkan teknik STAR (Stop, Think & Access, Respond)
Gampangnya gini, ketika lo mulai merasakan energi negatif yang membuat lo ingin marah-marah, secara sadar lo harus berhenti dulu setidaknya 10 detik agar tidak terlarut pada emosi tersebut (Stop).
Sesudah berhenti sejenak, lo bisa berpikir secara rasional dan menilai apakah perasaan tersebut bisa dibenarkan atau tidak dan apakah berasal dari hal yang di dalam kendali lo atau di luar kendali lo (Think & Access).
Setelah kita sudah berpikir rasional dan emosi sudah turun, barulah lo memikirkan respon apa yang akan lo berikan (Respond). Kalau bisa respon yang tetap baik dan rasional ya.
Sebenarnya masih banyak banget konsep stoisisme yang relevan dan membantu kita dalam mengendalikan diri terhadap masalah. Buat lo yang tertarik menjadi orang stoic, gue ada dua rekomendasi buku yaitu Filosofi Teras dan Meditations. Gimana tertarik belajar stoisisme nggak, Civs? Apalagi kalau lo adalah anak muda yang gampang frustasi