Design

DESAINER HARUS TAHU! INILAH CARA MEMBUAT COVER ALBUM AGAR SESUAI DENGAN MUSIKNYA

Desain cover album tentu harus sesuai dengan musik dan lirik sehingga pendengar bisa mendapat pesan yang sama. Simak artikel ini untuk mengetahui cara membuat cover album yang tepat!

title

FROYONION.COM - “Gimana cara seorang desainer tau kalau desainnya sudah tepat?” Salah satu pertanyaan yang selalu muncul di kepala desainer saat selesai mengerjakan brief dari klien, termasuk dari musisi. 

Bukan hanya sebatas “desain sesuai dengan brief”. Namun, pasti banyak faktor atau formula supaya sebuah desain bisa mencapai tujuan dari brief yang disampaikan.

BACA JUGA: 4 REKOMENDASI FONT ARTSY DARI DESAINER GRAFIS FROYONION

Pertanyaan di atas terjawab lewat acara event Music Con di M Bloc Space pada akhir pekan kemarin, 13-14 Juli 2024. 

Event yang diadakan oleh Radar Music dan Antara Suara tersebut menghadirkan lebih dari 40 pembicara meliputi para musisi dan selekta.

DIHADIRI TOKOH SKENA MUSIK TANAH AIR

Niat awal menghadiri acara tersebut untuk berjejaring, sekaligus mencari pencerahan seputar industri musik tanah air. 

Dihadiri oleh Kevin Wiyarnanda dari Secret Signals, dengan moderator Tiara Dianita yang mengulik seperti apa industri publicist music di Indonesia sekarang.

Pramedya Nataprawira dan Tesla Manaf yang membeberkan fakta-fakta dari jalanan yang telah mereka lalui saat melakukan tur di dalam dan luar negeri, dipandu oleh Wahyu Acum dari Bangkutaman.

BACA JUGA: JENIS-JENIS POSTER: MEMAHAMI RAGAM EKSPRESI KOMUNIKASI VISUAL

Turut hadir Kukuh Rizal dari Sun Eater yang menceritakan projek terbarunya bernama Radar Music, sebuah media musik yang ia gadang akan bersuara melalui fans sebagai suara utamanya. 

Ditambah Teguh Wicaksono dari Archipelago Festival yang melempar gosip-gosip skena dan menabrakannya dengan data yang telah ia kumpulkan lewat Sensus Musik Kita.

Namun, semua itu tergeser mudah, saat Grafis Masa Kini yang datang dengan presentasi khusus bersama 4 orang visual artist di dalamnya.

Keempat visual artist tersebut telah menghidupkan narasi dan identitas lewat visual seperti artwork, merch, konsep stage, hingga on ground activity festival musik besar di Indonesia. 

PERAN GRAFIS MASA KINI

Grafis Masa Kini adalah sebuah media yang mencoba memberikan sorot lampu pada para visual artist di seluruh Indonesia.

Ia telah menjadi salah satu media yang memberikan jawaban atas pertanyaan di kalimat pertama artikel terkait cara membuat desain cover album yang tepat. 

Bersama Sahid Permana sebagai Creative Director dari Sun Eater, Izzy sebagai 3D Artist yang telah memiliki banyak projek internasional, serta Mahdi Albart & Raihan Kiagoos perwakilan kreatif dari Synchronize Festival.

Topik yang mereka bahas tidak hanya seputar kepekaan desainer pada karyanya, namun juga bagaimana mereka dapat menciptakan visual dari sebuah musik yang beragam, hingga berbagi tips untuk para visual artist muda supaya dapat berkarya bersama idola.

Lalu, bagaimana cara desainer yakin dan berani mengirim karya mereka kepada musisi yang bekerja sama dengan mereka? 

Apakah faktor-faktor yang udah mereka anggap sebagai template di tiap projek cukup untuk dijadikan standar?

Beruntung hadir momen yang bisa dianggap surreal akhirnya muncul. Salah satu penonton yang duduk tepat di sebelah saya bertanya persis seperti apa yang juga saya pikirkan. Beginilah jawaban mereka:

Jawaban Mahdi Albart:

“Kalau gue sih mungkin, dari dua bentuk medium yang gue direct pasti punya pesan masing-masing, kalo merespon visual untuk sebuah musik kita harus tau dulu musik ini mau nyampein apa, akhirnya dari pesan tadi terbentuklah konteks dan si seniman punya hal yang bisa dia lakuin dengan mass com, jadi hasil visual itu gak lepas dari konteksnya,” jawab Mahdi Albart.

“Kalau mau di breakdown lagi, musik sebenarnya sama kaya visual, komposisi dari berbagai elemen, tapi intinya sih ada di pesan itu tadi,” tambahnya.

Jawaban Izzy:

“Dalam proses ngawinin musik apapun itu jenisnya dengan materi visual, gimana caranya nge-bridge dua gap medium yang berbeda secara fundamental satu didengar pake kuping, yang dilihat pake mata, menurut gue musik atau suara itu tangible juga, ada frekuensi dan warna, titik temu di tengah dua medium yang beda itu bisa disebut juga semiotika,” jawab Izzy.

“Dalam artian musik yang cenderung keras di kepala orang pada umumnya dibentuk oleh konsumsi media populer, seperti kita liat film zombie yang gore di opening sequence titlenya muncul lagu metal keras banget, atau Dune kita akan kebayang seperti apa musik di dalamnya,” lanjutnya.

“Itu hal-hal yang hadir dari media populer yang sudah ada sebelumnya lalu dimajuin forward satu step one at a time dan menurut gue yang kita lakuin di sini dalam hal bikin materi visual untuk musik apapun itu, berangkat dari apa yang ada media populer and then kita gali, modifikasi, dan kita push forward satu step lagi,” ucap Izzy.

Jawaban Raihan Kiagoos:

“Secara teknis, proses yang dialami banyak banget brainstorm dengan orang banyak, di sini kita mencoba nyatuin suara, balik lagi di (Synchronize Festival) tahun 2023 itu hadir dari sebuah eksperimen, makanya keputusan khususnya warna adalah hasil keputusan bersama,”  jawab Raihan Kiagoos.

“Challengenya apakah akan berhasil warna pastel ini di sebuah festival, tahun 2023 kita coba dan cukup berhasil sebenarnya, balik lagi semua dari artist dan Synchronize hingga designer punya kebutuhan, punya hasrat visual masing-masing, yang penting adalah kita semua bisa seneng-seneng bareng dalam satu project itu. Jadi kita come up dengan sesuatu yang semuanya tuh seneng,” tambahnya.

Jawaban Sahid Permana:

“Jawaban gue lebih pragmatis, pada akhirnya kebutuhan visual, kebutuhan musik, segala macem, kembali ke objektifnya. Jadi kaya apakah visual ini gue set to purpose, apakah kebutuhannya sesuai, kaya yang tadi gue bilang good music will find it’s way, jadi kaya musik bagus bakal nemu tempatnya sendiri, tapi dengan visual, it’s will guide the path,” Sahid Permana.

“Intinya, gue gak bilang visual harus bagus, karena visual bagus belum tentu tepat, kadang musiknya ternyata emang bukan dibikin buat visual yang bagus, kalo misalnya visualnya tepat juga, ternyata emang harus dibuat jelek, acak-acakan tapi itu set to purpose ya mungkin emang itu jalannya. Ya at least, design-nya form, follow, function lah.”

“Dan yang Raihan bilang bener, yang penting have fun, karena proses di brainstorm, gue kerja sama Izzy menyenangkan banget di konser Hindia kemarin, hasilnya bisa begitu,” tutupnya.

Kembali lagi ke pertanyaan awal, gimana cara seorang desainer tau kalau desainnya sudah tepat? 

Dalam konteks desain yang digodok dari sebuah musik dan dibuat jadi pemanisnya, yang terpenting adalah pada pesannya.

Visual minimal bisa mewakilkan musik tersebut dalam serapan indra penglihatan dan tetap selaras saat dinikmati oleh telinga. Semua itu dapat dihadirkan dari observasi dan melihat lansekap lebih luas dari penyanyi dan musik yang ia bawakan. Semestinya saat itu semua sudah terkumpul, ketepatan desain untuk sang musik sudah bisa dibilang cukup sampai selebihnya lagi.

Sisanya tinggal objektif dari sang musisi yang diwakilkan dan penerimaan fans akan hasilnya. Perihal bumbu lain seperti kesenangan dan kebutuhan brief klien, itu sudah pasti menjadi kebutuhan dalam menciptakan desain, tinggal bagaimana kita bisa merespon itu dengan lebih nyaman saja. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Maha

Temukan di konter pulsa terdekat.