Ruang kreatif menjamur di sejumlah kota besar di negara kita. Bagaimana tren ruang kreatif di Indonesia muncul? Dan bagaimana perkembangannya sampai sekarang? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.
Ruang kreatif (creative space) dalam beberapa tahun terakhir ini seolah makin banyak ditemui di kota-kota di Indonesia. Tak cuma yang besar tapi juga kota kecil.
Uniknya dalam perkembangannya creative space ini bisa dikemas sedemikian rupa sehingga bisa menjadi sebuah ikon yang tiada duanya bagi sebuah kota/ daerah.
Menurut salah satu pendiri MBloc Jakarta, Jacob Gatot Sura, tak cuma bangunan tinggi dan megah bak Monas yang sekarang bisa jadi ikon. Ruang kreatif bahkan bisa dijadikan sebagai sebuah ikon baru sebuah kota jika kita bisa menerapkan strategi yang tepat.
Pembangunan ruang kreatif di sebuah kota bisa lho digunakan sebagai alat untuk membangkitkan ekonomi lokal yang lesu. Kisah sukses Museum Bilbao di kota Bilbao yang menggairahkan ekonomi setempat pasca melemahnya industri baja di sana patut diambil sebagai hikmah, kata Jacob.
Georgetown di Penang, Malaysia juga salah satu kisah sukses yang mengemas kembali bangunan-bangunan kuno di seantero kota sebagai ruang-ruang kreatif untuk aktivitas leisure economy berupa kafe, restoran, galeri, hotel, dan sejenisnya.
“Akhirnya Penang yang dulunya bertumpu pada industri elektronik menjadi bertumpu ke pariwisata setelah pemerintahnya merombak banyak bangunan lama di sana,” tutur pria yang sudah menjalani profesi arsitek sejak 1990-an dan terlibat dalam sejumlah proyek perkantoran, apartemen, dan ritel.
Indonesia juga tak kalah. Kisah sukses ikon ruang kreatif di dalam negeri pun juga ada lho. Lihat aja Pasar Papringan yang digelar 2 pekan sekali dan berlokasi di desa Ngadipiro, Kab. Temanggung, Jateng.
Digagas oleh Singgih Kartono, pasar ini digagas tahun 2017 dengan memberdayakan masyarakat setempat untuk menggiatkan sebuah lahan hutan bambu (bahasa Jawa: pring) sebagai aset bersama padahal sebelumnya cuma jadi tempat buang sampah!
“Kehadiran Pasar Papringan ini juga dirancang sebagai solusi untuk menciptakan lapangan kerja bagi anak muda Temanggung yang kebanyakan merantau ke luar kota untuk cari nafkah. Mereka menjual makanan tradisional Temanggung yang dihidupkan kembali oleh warga desa setempat,” jelas Jacob.
Di Bali, Jacob ikut menggagas pembangunan Uma Seminyak, sebuah ruang kreatif (creative space) yang dirancang menampung beragam aktivitas ekspresi bagi kaum muda-mudi lokal.
“Ada diskusi, pop-up bazaar, kelas-kelas makers, yang semuanya bersifat kreatif dan melibatkan komunitas kreatif. Cepat atau lambat Uma Seminyak juga bisa menjadi creative icon di Bali,” ujarnya dalam sebuah pemaparan bertajuk “ICON: Creative Space as City Icon”.
BACA JUGA: “MENURUT LO MANA YANG LEBIH KREATIF, COWOK ATAU CEWEK?”
Masih tentang creative space, tahun 2017 British Council Indonesia pernah merilis sebuah laporan dengan judul “Enabling Spaces: Mapping Creative Hubs in Indonesia” yang mengupas soal lokasi dan perkembangan tren creative hubs di negara kita yang rupanya udah mulai muncul sejak peralihan abad ke-21 (tahun 2000-an).
Kalau mau didefinisikan supaya jelas, istilah “creative hub” ini merujuk ke sebuah tempat baik yang bersifat fisik kayak bangunan atau juga nonfisik alias virtual/ maya yang mewadahi orang-orang kreatif, jelas British Council.
Di kota gudeg bahkan tercatat udah dibuka tempat-tempat yang bisa dianggap sebagai bibitnya creative hub yakni Cemeti Art Space (1995) atau Kedai Kebun Forum (1997). Di ibukota lahir ruangrupa tahun 2000. Sementara itu kota kembang Bandung udah punya ruang kreatif bersama dengan nama Bandung Center for New Media Arts.
Awalnya tempat-tempat ini muncul karena adanya kebutuhan untuk menyediakan ruang untuk memamerkan dan mempertunjukkan karya-karya seni lokal di perkumpulan seniman setempat di masing-masing kota sehingga belum bisa disebut “creative hubs”.
Tahun 2005 sampai 2010 tren ini makin meluas di kota-kota besar di Jawa yakni Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta yang memang dikenal punya komunitas seni sendiri, demikian dikutip dari laporan British Council tersebut.
Para anak muda aktivis urban/ perkotaan makin tertarik sama tempat-tempat artsy yang punya budaya yang mandiri dan unik kayak gini setelah ruang-ruang kreatif tadi memadukan beragam aktivitas budaya populer ke dalamnya. Di sini kita mulai bisa temukan pameran seni kontemporer, musik indie, pemutaran film-film non-blockbuster, fashion yang unik dan juga diskusi akademik. (*/)
BACA JUGA: “TIPS KREATIF ALA KELOMPOK SIRKUS CIRQUE DU SOLEIL”